Dukun “Tiban” dan Pendidikan Kesehatan Masyarakat

DEMAM dukun tiban Ponari belum juga reda, masyarakat Jombang dan masyarakat Jawa Timur secara umum dikejutkan lagi dengan munculnya dukun tiban Dewi di Dusun Pakel, Desa Brodot, Kecamatan Bandarkedungmulyo, Jombang. Terlepas apakah Dewi mengikuti jejak sukses Ponari, tetapi dua peristiwa dukun tiban di Jombang perlu kita renungkan dengan seksama dalam kaitannya dengan pendidikan kesehatan masyarakat.

Sampai sejauh mana masyarakat memahami arti kesehatan dirinya dan lingkungannya? Ini menjadi pertanyaan besar bagi kita semua baik pemerintah maupun masyarakat. Pemaknaan kesehatan bagi masyarakat tentu tidak lepas dari pendidikan yang mereka terima, baik yang diterima lewat sekolah, lewat institusi kesehatan (dinas kesehatan, puskesmas) maupun lewat lembaga keagamaan. Bila melihat fenomena dukun tiban Ponari kemudian diikuti Dewi, dapat dikatakan pendidikan kesehatan masyarakat kita mengalami kegagalan.

Apalagi bila diperhatikan yang datang berobat ke Ponari bukan hanya orangtua yang tidak mengecap pendidikan modern, tetapi juga generasi muda yang dapat dipastikan pernah mengalami pendidikan modern walau mungkin hanya lulus SD. Sekolah yang semestinya menjadi agen transformasi/perubahan nilai dalam masyarakat menuju kemajuan dalam kasus Ponari tidak terwujud. Tujuan pendidikan yang mendorong manusia untuk berpikir rasional gagal bila dihadapkan dengan fenomena Ponari. Artinya anak bersekolah atau tidak bersekolah sama saja tidak ada perubahan nilai. Hal ini menunjukan kepada kita bahwa sekolah belum mampu mendidik muridnya menjadi manusia yang kritis, rasional, dan takwa.

Kesehatan itu bukan sekadar penyembuhan dari penyakit saja, kesehatan itu membutuhkan proses yang panjang dari diagnosis, perawatan, dan penyembuhan yang bertahap. Penyakit itu bisa bermacam- macam penyebabnya dan harus disembuhkan melalui cara dan penyembuhan yang berbeda-beda. Realitas tersebut sama sekali tidak berarti bagi masyarakat yang datang berobat ke dukun tiban Ponari. Hal ini menandakan bahwa institusi kesehatan (dinas kesehatan, puskesmas) gagal mendidik masyarakat memahami makna kesehatan.

Masyarakat rupanya lebih percaya dan lebih mudah memahami cara penyembuhan ala dukun tiban Ponari daripada cara penyembuhan oleh tenaga medis. Melihat kenyataan ini, mau tidak mau memang kita harus mendorong institusi kesehatan untuk tidak hanya menyembuhkan penyakit, tetapi juga melakukan pendidikan kesehatan masyarakat. Puskesmas harus didorong untuk benar-benar menjadi pusat kesehatan masyarakat bukan hanya tempat untuk menyembuhkan penyakit.

Bukankah masalah kesehatan bukan hanya masalah kesembuhan, tetapi gaya hidup sehat, pandangan tentang arti hidup sehat. Tren menjadikan puskesmas sebagai rumah sakit kecil yang menyediakan pelayanan rawat inap, dokter spesialis, laboratorium klinik harus dihentikan atau paling tidak diimbangi dengan menjadikan puskesmas sebagai tempat sumber informasi kesehatan secara utuh dan tempat mencari tahu tentang hal ihwal kesehatan.

Berdasarkan pemikiran di atas, puskesmas perlu melengkapi diri dengan perpustakaan yang dapat bisa diakses masyarakat. Perpustakaan ini menyediakan literatur, film, dan VCD tentang hal ihwal kesehatan. Selain menyediakan perpustakaan, bersama dengan posyandu, institusi kesehatan negara (dinas kesehatan, puskesmas) dapat melakukan pendidikan kepada masyarakat untuk hidup sehat.

Langkah proaktif ini perlu dilakukan sebab kondisi masyarakat kita belum sepenuhnya sadar untuk mencari informasi kesehatan. Bila pemikiran tersebut dapat direalisasikan, banyak masalah kesehatan masyarakat yang bisa diselesaikan, termasuk masalah kesehatan reproduksi remaja, narkoba, dan HIV/AIDS.

Fenomena dukun tiban Ponari juga menunjukkan bahwa masyarakat kita senang pada hal-hal yang instan dan spektakuler, termasuk dalam hal kesehatan, mereka menginginkan penyembuhan yang instan dan spektakuler. Bagaimana masyarakat bisa berperilaku instan seperti itu? Karena setiap hari melihat tontonan televisi yang menyodorkan penyelesaian masalah ternasuk masalah kesehatan secara instan baik lewat tayangan sinetron maupun iklan. Efek tayangan iklan televisi yang menggambarkan sekali minum obat ini atau itu langsung sembuh secara tidak sadar telah terinalisasi dalam diri penontonnya sebab dilihat secara terus menerus dan dalam waktu yang lama. Dalam hal ini televisi juga dituntut untuk memberikan pendidikan kesehatan masyarakat secara sehat dan cerdas mengingat kelebihan televisi yang dapat menjangkau banyak orang.

Lalu bila masyarakat senang yang spektakuler siapa yang harus bertanggung jawab? Dalam hal ini lembaga keagamaan turut ambil bagian dalam kegagalan pendidikan kesehatan masyarakat. Para mubalig, dai, pendeta, dan pastor hendaknya mengajak umatnya untuk memahami bahwa pertolongan Tuhan tidak harus selalu memakai cara-cara yang spektakuler, dengan cara yang penuh mukjizat luar biasa.

Apabila masyarakat cerdas, fenomena berbondong-bondong datang ke dukun tiban akan berhenti dengan sendirinya.

Edy Sumartono Pendeta GKI Tulungagung

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/23/16311359/dukun.tiban.dan.pendidikan.kesehatan.masyarakat.

Sumber: Kompas, Senin, 23 Februari 2009 | 16:31 WIB

Dukun “Tiban” dan Pendidikan Kesehatan Masyarakat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top