Keberpihakan Revisi UU Perikanan

Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan revisi Undang Undang (UU) No 31 tentang Perikanan tanggal 30 September 2009 silam.

Pel­bagai pihak menilai revisi ini masih meninggalkan soal-soal yang menggantung. Namun, setidaknya revisi ini mengandung unsur perubahan yang penting bagi pembangunan perikanan dan keberpihakan pada nelayan tradisional.

Pelbagai soal yang masih menggantung dan tidak jelas dalam revisi UU Perikanan adalah, pertama, soal defenisi dalam ketentuan umum (Pasal 1) di mana Ayat (1)-nya men­definisikan perikanan sebagai sistem bisnis perikanan dan dipertegas dalam Pasal 25. Ini mengandung kekaburan. Apa­kah semua aktivitas perikanan bersifat bisnis? Bagaimana pengelolaan perikanan tradisional yang mengedepankan nilai-nilai adat/kearifan lokal yang pasti jauh dari bisnis? Apakah ayat ini akan menjustifikasi gagasan klaster per­ikanan melalui Permen No 5 Tahun 2008 lalu direvisi jadi Permen No 12 Tahun 2009? Amat sulit menjawabnya.

Pada Ayat (2) didefinisikan sumber daya ikan sebagai potensi semua jenis ikan. Lalu, sumber daya kerang-kerangan, rumput laut, mutiara hingga teripang sudah masuk jenis ikan yang nyatanya bukan ikan. Ayat 9 mengandung defenisi yang kurang tepat, yakni menggolongkan kapal dan perahu sebagai kapal perikanan. Semestinya dibe­da­kan kapal dan perahu, yakni kapal ikan, perahu motor, dan perahu tanpa motor, sebab pengertian kapal dan perahu secara teknis operasional hingga fisik amat berbeda.
Ayat 11 masih mempertahankan istilah nelayan kecil bukan menggantinya dengan nelayan tradisional. UU No 27 Tahun 2007 menyebut istilah masyarakat perikanan tradisional (Pasal 1 Ayat 35). Mengapa sebuah institusi negara memproduksi dua UU yang mengandung terminologi berbeda buat hal serupa?

Alat Tangkap yang Merusak

Kedua, ketidaktegasan soal jenis alat tangkap yang dilarang (Pasal 9). Aturan menggantung ini berpotensi menjustifikasi dan melegalkan jenis alat tangkap yang merusak, misalnya pukat harimau (trawl). Apalagi mengaturnya kemudian dengan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan. Mengapa hasil revisi ini tak menyebutkan saja pukat harimau sebagai alat tangkap yang dilarang? Bila tegas, pemerintah semestinya tak perlu mengeluarkan Permen No 6 Tahun 2008 yang melegalkan pukat harimau secara terbatas di perairan bagian utara Kalimantan Timur tahun 2008 silam. Ketentuan pasal ini berkaitan erat dengan Pasal 85 menyangkut denda. Bila jenis alat yang dilarang tak jelas, amat mungkin nelayan tradisional juga dikenai aturan ini akibat menggunakan alat tangkap yang masuk kategori dilarang. Secara politik aturan ini mengandung ”hegemoni makna”, sebab interpretasinya bergantung pada siapa yang membuatnya hingga menjalankannya.

Ketiga, belum memasukan kewajiban bagi kapal ikan asing yang beroperasi di perairan Indonesia untuk melaporkan ”nama perusahaan dan pemilik” dari negara asalnya (Pasal 35 A). Mestinya aturan ini diberlakukan, agar memudahkan aparat penegak hukum menyeretnya bila melanggar hukum dalam aktivitas penangkapan ikan (misalnya menggunakan pukat harimau). Bila tidak, sama saja membiarkan kapal asing mengeruk sumber daya ikan perairan kita. Pun, bila tertangkap hanya mampu menyeret nakhoda dan anak buah kapal (ABK), tanpa pernah berhasil menyeret pemilik sesungguhnya.

Keempat, ketidakjelasan soal insentif (Pasal 76 C). Ayat 4 menyebutkan pemberian penghargaan bagi aparat yang berhasil menjalankan tugas dengan baik. Tapi, Ayat 6 justru menyebutkan insentif. Apakah penghargaan identik dengan insentif? Bagaimana bentuk insentif itu? Semes­ti­nya aturan ini memerlukan kejelasan hingga tak menimbulkan multi-interpretasi dan kecugiaan.

Keberpihakan

Kendati revisi UU No 31 ini masih menyisakan berbagai soal, akan tetapi sudah me­ngan­dung perubahan-perubah­an signifikan, yakni pertama, keberpihakan pemerintah dan DPR yang mengutamakan kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri ketimbang ekspor (Pasal 25 B). Aturan ini amat penting sebab ikan me­ru­pakan sumber protein (Ome­ga-3) bagi rakyat yang murah dan bebas dari penga­ruh pestisida.

Kedua, keberpihakan pemerintah dan DPR yang lebih mengutamakan sumber daya ikan dalam negeri dan menggunakan tenaga kerja domestik (pasal 25 C). Secara politik pasal ini mengandung makna agar industri perikanan nasional tak mengimpor bahan baku, melainkan mengoptimalkan sumber daya per­ikan­an dalam negeri. Apalagi Ayat 2 dari Pasal 25C ini menyebutkan soal ”industri per­ikan­an nelayan” dan koperasi perikanan. Mudah-mudahan ini bisa mewujudkan ekonomi rakyat di sektor perikanan.

Ketiga, aturan yang membebaskan nelayan kecil dan pembudi daya kecil dari kewajiban memiliki Surat Izin Pe­nangkapan Ikan (SIPI) (Pasal 27) dan Surat Izin Kapal Pe­nangkapan Ikan (SIKPI) (Pasal 28). Juga, membebaskan mereka dari pungutan perikanan (Pa­sal 48). Kendati tak menyebutkan nelayan kecil sebagai nelayan tradisional atau pembudi daya ikan kecil sebagai pembudi daya tradisional, ayat ini jelas berpihak pada mereka.

Keempat, ketegasan tindakan bagi kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia dengan cara membakar atau menenggelamkannya bila bukti permulaannya mencukupi (Pasal 69). Semes­tinya aturan tegas semacam ini juga berlaku bagi alat tangkap yang dilarang dengan menyebutkan jenis alatnya.

Kelima, pentingnya me­nyempurnakan data perikanan dengan membentuk pusat data dan informasi perikanan di pusat hingga daerah (Pasal 46). Soal data perikanan ini pen­ting karena berguna bagi pe­nyusunan kebijakan nasional dan daerah. Bila datanya tak akurat dan terbaru, kebijakan yang dibuat hasilnya bak meng­garami air laut. Hemat penulis, ke­tentuan ini amat bermanfaat bagi pengambil kebijakan, akademisi, pelaku usaha perikanan, gerakan masyarakat sipil, dan politisi sehingga mengurangi distorsi kebijakan perikanan. Misal­nya, kesulitan yang kerap di­hadapi tatkala meneliti soal perikanan adalah tak tersedia­nya data yang akurat dan terbaru.

Ke depan, bila akan ada revisi lagi perlu mempertimbangkan soal-soal yang belum tuntas sehingga UU Perikanan mampu menjamin keberlanjutan sumber daya perikanan, dan kesejahteraan masyarakat pesisir (nelayan, petani ikan, hingga nelayan buruh) serta pasokan bahan baku industri perikanan nasional yang terancam gulung tikar.

OLEH: MUHAMAD KARIM

Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim. Tinggal di Bogor

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/keberpihakan-revisi-uu-perikanan/

Keberpihakan Revisi UU Perikanan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top