Mengawinkan Diskursus Feminisme dengan Post-Modernisme

oleh : Edi Purwanto

Paradigma yang dibangun oleh berbagai tokoh Feminis tidak akan lepas dari kritikan. Para tokoh feminisme cenderung melihat dengan sebelah mata terhadap teori-teori yang mereka bangun. keberadaan feminisme Marxis, feminisme sosial, feminisme liberal maupun feminisme radikal tidak luput dari berbagai masalah. Mereka tidak sadar akan keterjebakan mereka pada kesadaran enlightenment.

Membongkar Teori Feminis
Wacana Feminisme muncul dalam rangka menandingi diskursus yang di dominasi oleh nalar laki-laki. Gerakan feminisme bertujuan untuk membongkar ketertindasan perempuan dalam wilayah sosial, politik, budaya serta pengetahuan. Tawaran analisis apapun yang direproduksi oleh feminisme sampai saat ini hampir mengalami kekebalan kritik. Hal ini disebabkan oleh epistema yang sudah mengakar dalam benak kita tentang kebenaran gerakan feminisme.

Feminisme sebagai diskursus yang muncul di permukaan tentunya tidak lepas dari kekacauan. Narasi-narasi yang di bangun sebagai landasan epistemologi feminisme lebih banyak terjebak dalam wilayah binary oposition. Posisi yang menempatkan perempuan sebagai We dan laki-laki sebagai Others telah membuat gerakan feminisme jatuh pada eksistensialis dan idiologis.

Dalam rangka itulah buku Postfeminisme ini muncul. Buku ini mencoba mengurai kekacauan feminisme di wilayah epistemologi. Buku ini hadir dengan memberikan analisis kritis terhadap teori-teori feminisme. Dengan kejelian dan kehati-hatian penulis berusaha mengawinkan antara Feminisme dengan Postmodernisme.

Usaha melihat kesadaran antagonistik sebagai politik pewacanaan feminisme, mengantar kajian buku ini untuk meakukan safari teoritik terhadap sejumlah teks dasar feminisme, yang diproyeksikan oleh penulis akan dapat menghasilkan pelacakan yang lebih tajam berkaitan dengan keterjerembaban feminisme pada nalar binary oposition.

Partriarkisme
Membahas feminisme tentunya tidak akan bisa lepas dari bahasan tentang patriarkisme. Hampir semua teks feminisme dirumuskan untuk mencanggihkan konseptualisasi patriarkisme sebagai payung bagi praksis penindasan perempuan, tema ini juga mewakili semua derivasi teoritik feminisme berkaitan dengan strategi liberasi atas ketertindasan perempuan.

Penulis mencontohkan tokoh feminis Juliet Michel (1974), yang mendefinisikan patriarkisme sebagai interpretasi antara pola produksi masyarakat dengan semua rumusan bio-sosial perempuan yang diambil dari idiologi laki-laki.(hal. 10) Michel mempercayai bahwa perempuan dikendalikan oleh tiga unnsur utama. Pertama adalah ekonomi, yaitu unsur yang bersumber dari pola produksi masyarakat. Kedua adalah bio-sosial, yakni unsur yang bersumber pada rumusan-rumusan sosial tentang hubungan laki-laki dan perempuan secara biologis. Ketiga adalah unsur idiologis yakni yang bersumber pada rumusan-rumusan sosial tentang bagaimana laki-laki dan perempuan harus berhubungan dalam struktur sosial.

Penulis beranggapan bahwa akan sangat mustahil jika mengasumsikan bahwa ketertindasan perempuan hanya bisa dilakukan dengan cara mengubah satu unsur saja. Apabila unsur bio-sosial dan idiologi tidak ada transformasi, maka ketertindasan perempuan tetap akan bergeming dimuka bumi ini. Inilah yang menjelaskan mengapa dalam struktur masyarakat sosialis perempuan tetap tertindas sebagaimana pada struktur masyarakat kapitalis.(hal. 38)

Ketertindasan Perempuan
Selain patriarkisme, tema penindasan perempuan juga menjadi sorotan dalam buku ini. Bermula dari penindasan inilah resolusi kerangka teoritik dibangun oleh feminisme. Analisis tentang ketertindasan perempuan menghasilkan resolusi yang berbeda, sehingga membuat analisis para feminisme menjadi jamak dan kompleks. Analisis yang jamak dan kompleks ini tentunya tidak menyisakan ruang yang lebar untuk menemukan kesepakan epistemologis dalam menyusun kesadaran resolusi. Justru dengan kecanggihan teori yang dibangun, teori feminisme menuju fungsi idiologis. Perjuangan idiologis yang mereka tanamkan berubah menjadi spirit perlawanan terhadap apa saja yang mereka identifikasi sebagai dominasi laki-laki.

Penulis mencontohkan Jill Jhonston dan Charrolate Bunch (1970), yang mendefinisikan ketertindasan perempuan pada semua definisi dan rumusan seks yang direproduksi melalui institusi heteroseksual. Menurut mereka ketertindasan perempuan hanya dapat dihindari hanya dengan menolak seluruh institusi heteroseksual dan segala definisinya. Bunch memberikan tawaran dengan cara lesbianisme. (hal 74)

Dengan lesbian menurut Bunch tidak akan ada penindasan. Padahal dalam lesbianisme juga masih terbawa sifat male and gaze. Dengan demikian maka resolusi yang ditawarkan Bunch tidak berhasil mengatasi ketertindasan perempuan.

Liberasi Bukan Solusi
Sebagaimana dua tema sebelumnya, tema strategi liberasi ini merupakan tema yang jamak dan kompleks dalam kitab feminisme. Setiap strategi liberasi juga akan memperoleh gambaran yang berbeda. Penulis memberikan penghampiran pada Sulaimith Fireston (1970), yang menghampiri problem ketertindasan perempuan sebagai problem pola reproduksi.

Rumusan liberasi yang ditawarkan oleh Firestone dalam The Dialektik of Seks 1970 diawali dengan merefisi materialisme-historis Karl Mark yang dianggapnya melupakan signifikansi pola reproduksi dalam perguliran sejarah. Ia menyuguhkan strategi liberasi dengan jalan revolusi biologi, yang membongkar dominasi reproduksi dengan jalan membuka akses yang sama bagi perempuan atas teknologi reproduksi.

Firestone sepakat dengan Mark yang mengandaikan sebuah revolusi biologis. Hal ini sama dengan yang diandaikan Mark, bahwa akan ada titik equality antara derajat laki-laki dan perempuan. Padahal kalau kita menyusuri sejarah kita tidak pernah menemukan kesejajaran anatara laki-laki dan perempuan. Mimpi yang diharapkan Firestone sama dengan Mark, bahwa akan ada keseimbangan antara kaum proletar dan borjuis. (hal 114) Hal yang demikian juga tidak pernah ada dalam perguliran sejarah.degan demikian Firestone sekaligus mengalami 2 keterjebakan epistemologis. Dengan demikian Firestone gagal memperjuangkan ketertindasan perempuan.

Post-Feminisme Sebuah Tawaran
Hampir semua tokoh feminis menjelaskan bahwa apapun latar epistemologis yang dikembangkan dan dicanggihkan untuk kepentingan feminis, maka akan cenderung terikat dalam satu modus argumen yang berpangkal pada landasan-landasan binary oposition. Seperti halnya juga mengawinkan feminisme dengan Post-Modern. Feminisme juga tetap akan membawa kemingkinan untuk tetap berselingkuh dengan kesadaran enlightenment yang cenderung berhadap-hadapan dan oposisional.

Tawaran mengawinkan post-moderen dengan Feminisme akan cenderung membangkrutkan landasan epistemologi dan idiologi feminisme. Dengan demikan akan melahirkan semacam pembasmian teoritik theoritical-gnocide. Teori feminisme sengaja dihadirkan untuk mengganggu dan menggugat vixsasi teori feminisme. (hal. 147)

Post-feminisme dihadirkan juga untuk menggugat feminisme yang cenderung berputar-putar di wilayah pembentukan identitas subyek yang disandarkan pada kesadaran enlightenment. Juga Feminisme yang cenderung pada wilayah perebutan relasi kuasa dari tubuh dan sistem seks/jender di ruang diskursif. Terminologi Post-feminisme penting digunakan dalam rangka pengambilan jarak terhadap nalar binary oposition.

Kiranya tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan para aktivis gerakan perempuan. Tulisan mencoba memfokuskan kajianya di wilayah kekacauan epistemologis feminisme. Dengan membaca buku ini kita diajak berfikir kembali tentang teori feminisme yang tidak akan pernah mengalami final. Oleh karena itu tepat kiranya jika buku ini digunakan sebagai pintu masuk untuk memperdalam kritik terhadap teori-teori feminis yang sudah mengakar dalam benak kita. Dalam analisa saya penulis masih terjebak dalam eksistensialisme partriarkis dan sexsis. Sehingga membuat hampir dari seluruh tulisan dalam buku ini memberikan posisi yang aman pada nalar laki-laki.

Judul Buku : Sindrom Iri Penis Kritik Sketsa Nalar Feminisme
Tebal : 163 + ix
Tahun penerbitan : Desember 2005
Penerbit : Pinggir Indonesia Surabaya
Penulis : Akhol Firdaus M. Si.
Perensi : Edi Purwanto *

* Edi Purwanto adalah Peneliti di Puspek Averroes Malang.

Mengawinkan Diskursus Feminisme dengan Post-Modernisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top