Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural

Oleh: Parsudi Suparlan

Pendahuluan

Dalam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan
tunjukkan bahwa cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru
harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap
keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari
cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya
dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang
bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam
masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat,
dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan
Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan
Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari
puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat
majemuk” (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang
bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan
kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural
adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual
maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000).
Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga
masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah
kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya
seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya
masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti
sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini
sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa
Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan
bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945,
yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak
kebudayaan di daerah”.

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang
multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: (1) Konsep
multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa
Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat
nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya;
(2) Kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai makna
multikulturalisme dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan (3)
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.

Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa
Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada
umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah
sebuah konsep asing. Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang
lebih banyak oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme
di media massa daripada yang sudah ada selama ini. Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang
menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai
multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai
permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi,
keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak
budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan
moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di
negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2
masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan,
yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya
yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai
minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri.
Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan
minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir
tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya
perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit
Hitam dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil,
dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif
melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang
tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar
ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai
posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat
Suparlan 1999).

Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam
perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit
Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan
orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari
berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas
sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan
yang di-edit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh para cendekiawan
dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti
rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep
multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di
sekolah-sekolah di tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan
berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan
menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap
tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa ‘we
are all multiculturalists now’ dia menyatakan apa yang sebenarnya
terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut
adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan
multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi
yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi
tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah
dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan
seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk
dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam
kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme
diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep
yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini
harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian
ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan
pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain
adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos,
kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa,
kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya
komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985,
Suparlan 2002)..

Pemahaman Tentang Multikulturalisme

Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian
kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya
tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang
ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya.
Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat
atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka
konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi
kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut
dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan
manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan
pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional
melalui pranata-pranata sosial.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam
berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan
manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan
bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam
masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan,
yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan
sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya
mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di
dalam kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya
adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada
corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada
kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi.
Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan
mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan
operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam
pengelolaaan manajemen yang dikaji. Kajian seperti ini juga akan
dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang
ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen
yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran.(out-put). Apakah
memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah
tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal
(yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang
betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya
disembunyikan dari pengamatan umum)?

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan
manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi,
lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Negeri kita kaya
raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya
manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa
Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan
tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah
satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika
dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika
yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang
dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan
mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai
budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam
pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau
pranata; tetapi juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik
mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai
dengan konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.

Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai ‘Pedoman
yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan
pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap
prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung dan menjamin
dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai
dengan hak dan kewajibannya. Sehingga peranannya dalam sesuatu
struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses masukan menjadi
keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987). Dalam ruang
lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya
etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan
birokrasi, dan sebagainya. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita
bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau tidak ada dalam
berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-sumberdaya yang
lebih khusus, misalnya pembahasan mengenai “Akbar Tanjung dan Etika
Politik” sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Alfian M (2002)

Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat
Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks. Apakah kita para
ahli antropologi sudah siap untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan
Antropologi yang ada di Indonesia ini juga sudah siap untuk itu?
Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya
bila kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan
tersebut. Pertama, apakah secara konseptual dan teoretikal kita cukup
mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang
menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari
32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat
semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural?
Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita persiapkanlah diri kits melalui
berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah
khazanah ilmu pengetahuan kita dan mempertajam konsep-konsep dan
metodologi yang relevan dalam kajian mengenai ungkapan-ungkapan
masyarakat majemuk dan multikultural. Kalau merasa diperlukan,
sebaiknya pimpinan dan dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi
dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan
dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita
reformasi. Pembicaraan para pimpinan jurusan ini sebaiknya terfokus
pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta
metodologi yang sesuai dengan itu.

Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu?
Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak butterfly
collecting sebagaimana yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan
penelitian mahasiswa untuk skripsi dan dosen, sebaiknya ditinjau
kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa
ini dan sesuai dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju
masyarakat yang multikultural. Penelitian etnografi yang bercorak
penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan
penelitian etnografi yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu
mengungkap apa yang tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat
diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah
kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga kegiatan-kegiatan
penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari
respeonden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam
kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini. Karena, kajian
seperti ini hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai
kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan
menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan
melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif
dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada
angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan
metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit
oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif
inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau
gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu juga
diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang
di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme
yang menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.

Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian
multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan
oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan
ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu
pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai
bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat,
mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan
multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan
keahlian akademik masing-masing. Sehingga secara bersama-sama tetapi
melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya
untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan
secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.

Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi,
atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan
lainnya yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas
dalam sebuah kota untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi,
seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat
dijadikan landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya
yang lebih luas ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka konsep-konsep
dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai
multikulturalisme, masyarakat multikultural, dan perubahan serta
proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan
itu semua akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional
di lapangan.

Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah
multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan
antropologi sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan informasi
mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan
organisasi pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme. Hal yang
sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh
masyarakat atau partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau
organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan
diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini
adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan bahkan dapat memelopori
terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna
multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan
itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide
tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak
memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan untuk turut
melakukan reformasi.

Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan

Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan
dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir
bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat
dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model
multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara
bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model
maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang
berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika
yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia
pada tingkat nasional dan lokal.

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada
terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka
tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau
pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam
masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata
sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam
kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos,
etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakkan hukum bagi
keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik
dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada
tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya.

Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan
pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral
dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari
pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen. Pedoman
etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.

Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila
pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai
tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak
inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai
fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para
pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang
ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan
dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan
pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat
dibatasi atau ditiadakan.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I.
mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam
pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA.
Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan
pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau
menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah
bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah
diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang
baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide
tentang diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di
seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya kembali di masa yang
akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami
baru-baru ini (lihat Suparlan 2002)

Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah
multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasin
akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan
sebagai sebuah tema utama dalam antropologi Indonesia yang akan
merupakan sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat
Indonesia. Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.

Daftar Kepustakaan

Alfian M., M. Alfian, 2002, “Akbar Tanjung dan Etika Politik”. Harian
Media Indonesia, 19 Maret 2002.

Bertens, K., 2991, Etika. Jakarta: Gramedia.

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincolns (eds), 2000, Handbook of
Qualitative Research. Second Edition. London: Sage.

Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A
Multicultural Approach. Oxford: Blackwell

Glazer, Nathan, 1997, We Are All Multiculturalists Now. Cambridge,
Mass.:Harvard University Press.

Guba, Egon G.(ed.), The Paradigm Dialog. London: Sage.

Jary, David dan Julia Jary, 1991, “Multiculturalism”. Hal.319.
Dictionary of Sociology. New York: Harper.

Magnis-Suseno, 1987, Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.

Nieto, Sonia, 1992, Affirming Diversity: The Sociopolitical Context
of Multicultural Education. New York: Longman.

Reed, Ishmed (ed.), Multi America: Essays on Culture Wars and Peace.
Pinguin.

Rex, John, 1985, “The Concept of Multicultural Society”. Occassional
Paper in Ethnic Relations, No. 3. Centre for Research in Ethnic
Relations (CRER).

Suparlan, Parsudi, 1999, “Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme
ke Multikulturalisme”. Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-42.

_________ , 2001a, “Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman
Sukubangsa atau Kebudayaan? makalah disampaikan dalam Seminar

“Menuju Indonesia Baru”. Perhimpunan Indonesia Baru –
Asosiasi Antropologi Indonesia. Yogyakarta, 16 Agustus 2001.

_________ , 2001b, “Indonesia Baru Dalam Perspektif
Multikulturalisme”. Harian Media Indonesia, 10 Desember 2001.

_________ , 2002a, “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti
dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia, no. 6,

hal. 1-12.

_________ , 2002b, Konflik Antar-Sukubangsa dan Upaya
Mengatasinya. Temu Tokoh. “Dengan Keberagaman Etnis Kita Perkokoh
Persatuan dan

Kesatuan Bangsa dalam Rangka Menuju Integrasi Bangsa”. Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian

dan Pengembangan Budaya – Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional (BKNST) Pontianak. Singkawang, 12-14 Juni 2002.

Watson, C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open
University Press.

Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia,
Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002

sumber: http://adimarhaen.multiply.com/journal/item/33/Menuju_Masyarakat_Indonesia_yang_Multikultural

Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top