Pendidikan Nasional Indonesia

Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan lima komitmen yang harus dipegang dalam membangun koalisi. Sungguh merisaukan, pendidikan nasional tidak termasuk dalam komitmen tersebut. Lebih merisaukan lagi bila diingat, di antara ke tiga puluhan parpol peserta pemilu legislatif hanya satu (Gerindra) yang menampilkan pendidikan secara eksplisit dalam program kerjanya. Namun, ternyata tidak digubris oleh rakyat pemilih.

Bila rakyat biasa tidak menaruh perhatian secukupnya pada pendidikan, dapat dipahami. Walaupun pendidikan adalah masalah setiap orang, memang tidak semua mengerti pendidikan. Namun, tidak bisa dimaafkan kalau parpol yang sampai tidak concern pada pendidikan. Bukankah parpol-parpol pada berebutan kekuasaan demi mendapat hak memerintah, hak mengatur hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Sedangkan pendidikan, menurut natur kerjanya, yang membangun masa depan negara dan bangsa, melalui kemampuan berpikir dan berbuat dari para warga yang dibinanya.

Efektivitas pendidikan nasional tidak hanya menyangkut masalah kecukupan anggaran, persekolahan gratis, BHP, sekolah bertaraf internasional (SBI), otonomi sekolah, sertifikasi guru, dan ujian nasional. Jauh lebih penting dan menentukan daripada semua praksis pembelajaran itu, pendidikan nasional memerlukan satu konsep relevan, berarti futuristis. Dengan begitu, bukan hendak melupakan saja masa lalu.

Kita adalah makhluk memori dan imajinasi, sebagian dari kekinian kita adalah juga masa lalu dan masa depan. Kita tidak pernah seluruhnya dalam masa kini, kecuali selaku anak-anak, karena mungkin, pembawaan kita adalah selalu bertransendensi. Kita dapat hidup dalam memori masa lalu, masa lalu kita sendiri, atau masa lalu orang lain melalui memori historis. Kita bisa mengimajinasikan diri sendiri sebagai orang lain, tidak hanya bagai dalam mimpi melek (waking dream), tetapi juga dalam arti lebih substansial. Kita pun mampu memproyeksikan diri ke masa depan. Apa “yang belum” benar-benar merupakan bagian dari diri kita sebagaimana “yang tidak lagi”. “Kekinian” kita terdiri atas hal-hal tersebut plus lain-lain lagi.

Konsep pendidikan perlu berpembawaan futuristis, karena dengan mengambil pelajaran dari masa lalu, setiap gerak pembangunan diarahkan ke masa depan dan setiap orang akan menjalani sisa hidupnya pada masa depan. Maka pendidikan, melalui konsepnya, harus terpanggil menyiapkan masa depan itu.

Manusia Terdidik

Perbuatan transendental ini bukan hal yang baru bagi bangsa kita. Founding fathers dari Republik Indonesia telah melakukan hal ini semasa masih di alam penjajahan dahulu berkat kearifannya selaku manusia terdidik (educated man). Dengan mewujudkan pendidikan yang berkonsep futuristis berarti sebagian dari mereka telah menjalani periode ketika apa yang belum terjadi menjadi lebih riil bagi kehidupan batin dan keyakinan mental daripada apa yang segera ada di tangan.

Jangan lupa bahwa generasi sekarang yang sudah hidup di alam kemerdekaan dan banyak sedikit telah menikmatinya, adalah berkat pendidikan yang diusahakan oleh para pendekar kemerdekaan tersebut. Beberapa orang dari mereka yang belajar di Belanda, sepulang dari sana sejak awal tahun 20-an, abad yang lalu, membangun sekolah berhaluan nasional di kampung halaman masing-masing. Dilihat dari sudut pandang, sa at itu, sekolah-sekolah tersebut melaksanakan konsep pendidikan yang berpembawaan futuristis. Sebaliknya, pihak pemerintahan penjajah mencapnya sebagai “sekolah-sekolah liar” (wilde scholen).

Willem Iskander membuka sekolah guru di Tano Bato, Mandailing. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta, Mohammad Sjafei membangun Indonesische Nijverheid School (INS) di Kayutanam, Minangkabau. Drs Mohammad Hatta mengusahakan gerakan politis “Pendidikan Nasional Indonesia” (PNI) yang kemudian dibantu oleh Sutan Sjahrir. Bagi kedua tokoh pergerakan ini, rupanya partai dipikirkan tidak hanya berfungsi sebagai kendaraan politik, tetapi sekaligus sebagai sarana pendidikan bagi para kader untuk berpolitik dan berdemokrasi secara correct. Suatu pikiran yang kiranya kurang, bahkan sama sekali, tidak diemban oleh tokoh-tokoh politikus, dewasa ini.

Beberapa pendekar kemerdekaan lainnya, selain tergolong cendekiawan, adalah juga pendidik dengan cara masing-masing, seperti Dr Soetomo, Dr Wahidin Soedirohoesodo, Dr Douwes Dekker, Dr Danoedirdjo Setjaboedi, dan Ki Mangoensarkoro.

Apakah tidak merisaukan, dewasa ini, mengetahui menipisnya tanggung jawab warga terhadap kehidupan publik, tidak hanya di kalangan mereka yang pernah sulit mendapatkan pendidikan formal, tetapi juga di kalangan mereka yang pernah memperoleh dukungan beasiswa, jadi dana publik, hingga ke studi tingkat doktorat dan di kalangan keluarga berada yang menanggung sendiri seluruh biaya pendidikannya.

Apakah tidak mengkhawatirkan menyaksikan betapa tidak sedikit warga terpelajar yang memperlakukan Tanah Air hanya sebatas artian fisik dan formal, tetapi tidak dalam artian mental. Tanah Air dalam artian fisik adalah tempat berpijak, medan pencarian nafkah dan sumber kehidupan serta taman penguburan jasad yang tidak bernyawa. Tanah Air dalam artian formal, adalah otoritas yang memberikan identitas dan legalitas perbuatan bagi warga. Tanah Air dalam artian mental adalah entitas luhur yang kepastian kelangsungan eksistensinya diharapkan menjadi pemikiran pribadi warga, masalah yang dihadapinya seharusnya menjadi keprihatinan personal dan ada kesediaan pribadi menanggung tanpa pamrih tuntutan solusi masalah tersebut di bidang apa pun.

Mencemaskan

Sungguh mencemaskan melihat betapa otoritas tertinggi di bidang pendidikan, setelah menjadi “Departemen Pendidikan Nasional”, justru memfasilitasi pembentukan “Sekolah Berbasis Internasional” (SBI) dengan anggaran yang relatif lebih besar daripada rata-rata anggaran “sekolah nasional” yang keadaannya semakin memprihatinkan. Sedangkan ukuran keinternasionalan dari SBI itu sendiri cukup ambigu dan pasti sangat kerdil bila ia hanya berupa bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Apakah murid-murid di situ diajari menyanyikan himne nasional “Indonesia Raya” dalam bahasa Inggris supaya kedengarannya lebih afdol?

Sungguh heran melihat departemen ini menghamburkan dana kerja untuk beriklan ria tentang “sekolah gratis” yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, tentang “sekolah harus bisa”, padahal sekolah pasti tidak bias, karena yang bisa itu adalah pendidikan yang berkonsep futuristis. Ketimbang meninabobokan rakyat dengan kebohongan dan kekeliruan, bukankah lebih efektif kalau dana itu dipakai untuk memperbaiki sarana fisik pendidikan yang rusak begitu parah (atap sekolah bocor). Bahkan sudah pernah terjadi insiden yang mencelakakan murid (gedung sekolah roboh).

Sekolah perintis guru di Tano Bato Mandailing sudah lenyap. Seperempat abad kemudian (1982) di atas bekas fondasi bangunannya, seorang pengusaha idealis, Siin Irawadhy, membangun sebuah Sekolah Menengah Teknik lengkap dengan peralatan belajarnya. Setelah sang idealis ini meninggal, penduduk setempat tidak mampu mengoperasikannya sebagai lembaga pendidikan teknik unggulan. Sekolah INS Kayutanam masih ada, namun tanpa semangat juang dari pendiri awalnya, ia tidak bisa disebut lagi sebagai sekolah model.

Gerakan “Pendidikan Nasional Indonesia” sudah tidak ada lagi. Demikian pula para pendiri dan pengasuhnya dahulu. Yang masih tetap berkiprah di seluruh Nusantara, tidak tanpa kesulitan, adalah perguruan Taman Siswa.

Kini, para politikus dengan parpolnya hanya berminat pada kekuasaan yang inheren dengan kekuatan parpol, tidak concern pada misi suci (mission sacrée) yang inheren dengan kekuasaan tadi, yaitu kerja mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka Taman Siswa terpanggil untuk menanganinya, mengulang kerja bakti Ki Hajar Dewantara.

Dia dahulu telah memelopori pendidikan nasional futuristis bagi generasi mendatang, yang tak lain daripada kita-kita ini, yang berkesempatan menghirup udara merdeka. Kini, Taman Siswa perlu mewujudkan pendidikan nasional futuristis bagi generasi mendatang, penerus kita dalam mengisi kemerdekaan. Seperti halnya pada zaman penjajahan dahulu, kini kelihatannya Taman Siswa harus pula bekerja sendirian. Mais la noblesse oblige!

Daoed Joesoef

Penulis adalah alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

Sumber: Suara Pmbaruan, 22 Mei 2009

http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=8158

Pendidikan Nasional Indonesia

6 thoughts on “Pendidikan Nasional Indonesia

  1. “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.
    Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui.
    Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.
    Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.
    Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.”

    Setelah TUHAN mengucapkan firman itu kepada Ayub, maka firman TUHAN kepada Elifas, orang Teman: “Murka-Ku menyala terhadap engkau dan terhadap kedua sahabatmu, karena kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub.
    Oleh sebab itu, ambillah tujuh ekor lembu jantan dan tujuh ekor domba jantan dan pergilah kepada hamba-Ku Ayub, lalu persembahkanlah semuanya itu sebagai korban bakaran untuk dirimu, dan baiklah hamba-Ku Ayub meminta doa untuk kamu, karena hanya permintaannyalah yang akan Kuterima, supaya Aku tidak melakukan aniaya terhadap kamu, sebab kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub.”
    Maka pergilah Elifas, orang Teman, Bildad, orang Suah, dan Zofar, orang Naama, lalu mereka melakukan seperti apa yang difirmankan TUHAN kepada mereka. Dan TUHAN menerima permintaan Ayub.

    Lalu TUHAN memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu.
    Kemudian datanglah kepadanya semua saudaranya laki-laki dan perempuan dan semua kenalannya yang lama, dan makan bersama-sama dengan dia di rumahnya. Mereka menyatakan turut berdukacita dan menghibur dia oleh karena segala malapetaka yang telah ditimpakan TUHAN kepadanya, dan mereka masing-masing memberi dia uang satu kesita dan sebuah cincin emas.
    TUHAN memberkati Ayub dalam hidupnya yang selanjutnya lebih dari pada dalam hidupnya yang dahulu; ia mendapat empat belas ribu ekor kambing domba, dan enam ribu unta, seribu pasang lembu, dan seribu ekor keledai betina.
    Ia juga mendapat tujuh orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan;
    dan anak perempuan yang pertama diberinya nama Yemima, yang kedua Kezia dan yang ketiga Kerenhapukh.
    Di seluruh negeri tidak terdapat perempuan yang secantik anak-anak Ayub, dan mereka diberi ayahnya milik pusaka di tengah-tengah saudara-saudaranya laki-laki.
    Sesudah itu Ayub masih hidup seratus empat puluh tahun lamanya; ia melihat anak-anaknya dan cucu-cucunya sampai keturunan yang keempat.
    Maka matilah Ayub, tua dan lanjut umur.

Leave a Reply to Politik dan Pendidikan : Averroes Community Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top