Perubahan Peta Koalisi Capres-Cawapres

PERCERAIAN politik SBY-Kalla -jika benar-benar terjadi- secara otomatis akan mengubah peta koalisi Pemilihan Presiden 2009. Perubahan itu terkait kesiapan Jusuf Kalla untuk maju sebagai calon presiden (capres) dari Partai Golkar.

Seberapa jauh tingkat kemungkinan peta koalisi menjelang Pemilu Legislatif dan Presiden 2009?

Pertarungan Internal Golkar

Kesiapan Kalla sebagai capres Partai Golkar akan membuka persaingan politik internal Golkar. Sejumlah kader Golkar sebelumnya telah mewacanakan hal itu. Majunya Sri Sultan Hamengku Buwono X yang diusung SOKSI, salah satu organisasi onderbouw Golkar misalnya, tentu akan meramaikan pertarungan tiket capres.

Demikian pula, gagasan konvensi ala Akbar Tandjung, yang sebelumnya direspons keras oleh Jusuf Kalla, tidak tertutup kemungkinan akan dilakukan kembali. Kemungkinan itu terkait belum finalnya Kalla sebagai capres Golkar karena masih menunggu Musyawarah Nasional Partai Golkar.

Apalagi adanya dua calon yang berasal dari partai yang sama, yang juga memiliki tingkat dukungan besar di kalangan kader Golkar. Bisa jadi, konvensi akan dilakukan meski sejak awal Kalla tidak menyetujui.

Dari segi dinamika internal partai, kesiapan Kalla menjadi capres dapat berdampak positif dan negatif. Positif bila suara kader Golkar di Jakarta dan daerah mendukung pencalonan itu. Sekaligus dapat menjadi momentum bagi konsolidasi partai yang selama ini kehilangan spirit politics karena merasa bimbang.

Pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok dianggap berkah oleh sebagian elite Golkar karena diyakini dapat mengembalikan semangat politik kader partai beringin. Bagi Partai Demokrat, tentu itu keselo politik karena Partai Demokrat masih menghendaki mengusung pasangan SBY-Kalla.

Apalagi, dari berbagai survei politik dari lembaga survei tentang sosok presiden 2009, pasangan SBY-Kalla masih unggul jika dibandingkan dengan pasangan lain, termasuk pasangan Mega-Sri Sultan.

Negatif bila ada perpecahan di dalam terkait kebuntuan mekanisme dalam penentuan seorang calon presiden yang dianggap adil dan fair. Pengalaman Pilpres 2004, meski Golkar menggelar konvensi yang relatif paling adil bagi para kandidat, toh Kalla tidak patuh dan menyempal. Dia berpasangan dengan SBY.

Apalagi, Sri Sultan tidak mungkin dibendung lagi untuk terus maju sebagai capres meski tidak diusung Golkar. Bagaimanapun Sri Sultan tetap merupakan tokoh yang diperhitungan di dalam Golkar maupun di luar Golkar. Karena itu, keberadaan Sri Sultan dalam percaturan capres Golkar dapat menjadi batu sandungan bagi Kalla.

Pertarungan politik justru akan semakin sengit jika suara Golkar turun, tidak menjadi pemenang Pemilu Legislatif 2009. Legitimasi politik Kalla sangat ditentukan seberapa jauh Kalla dapat mengembalikan supremasi politik Golkar dalam pemilu.

Berbagai Kombinasi Koalisi

Di atas kertas, jika Golkar dapat mempertahankan suaranya seperti pada Pemilu 2004 (21,6 persen=128 kursi), mungkin Golkar tidak akan terlalu mengalami kendala dalam mengombinasikan capres-cawapres. Jika nanti Golkar dan khususnya Kalla legawa, partai itu dapat mengombinasikan Sri Sultan- Kalla atau sebaliknya.

Pasangan tersebut cukup ideal karena dua-duanya dari kader Golkar yang mewakili wilayah Jawa dan Luar Jawa. Faktor wilayah bagaimanapun masih menjadi salah satu perhitungan dalam kombinasi pasangan calon. Sebab, isu wilayah Jawa dan Luar Jawa masih sensitif.

Masalahnya, jika suara Golkar turun tidak memenuhi 20 persen kursi dan 25 persen suara sah nasional, besar kemungkinan akan mulai timbul friksi internal yang tajam. Kombinasi capres-cawapres tidak mungkin berasal dari satu partai, tetapi harus koalisi.

Pilihannya dapat beragam apakah yang diusung Kalla ataukah kader yang lain. Bila yang diusung sebagai capres adalah JK, Sri Sultan tentu akan melakukan manuver politik ke luar dan menjadi cawapres partai lain yang bisa saja dengan PDIP, atau bahkan dengan Partai Demokrat.

Kemungkinan yang lain adalah kombinasi antara Golkar dan PKS. Itu juga dapat menjadi alternatif, sebagaimana telah digadang-gadang oleh beberapa kader Golkar dan PKS. Tentu bila PKS juga bercerai dengan Partai Demokrat. Sebab, salah satu komitmen dukungan PKS terhadap duet SBY-Kalla karena kedua tokoh tersebut dapat melakukan berbagai perubahan politik yang mendasar.

Berbagai kemungkinan kombinasi koalisi pasca Pemilu Legislatif 2009 kuncinya terletak pada, pertama, apakah Kalla menjadi capres atau cawapres.

Kedua, apakah perolehan Golkar tetap signifikan sebagai partai yang memegang kunci koalisi, atau sebaliknya. Dan, ketiga, perolehan suara Partai Demokrat sebagai incumbent yang tentu akan tetap mengusung Susilo Bambang Yudhoyono.

Jika berkaca pada model koalisi capres-wapres 2004, di mana koalisi lebih didasari pada berbagi kekuasaan dan bukan berpijak pada orientasi platform kebijakan, tentu koalisi lebih menjurus pada strategi pemenangan. Artinya, koalisi tidak ditentukan ideologi, tetapi oleh seberapa jauh sosok yang diusung tersebut laku dan laik untuk dijual ke publik.

*. Moch. Nurhasim, peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Jakarta

Sumber: Jawa Pos, Senin, 23 Februari 2009

Perubahan Peta Koalisi Capres-Cawapres

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top