Potret Negeri tanpa Simponi

KELIRU kalau Anda berharap menyaksikan tontonan heboh dari Michael Frank. Musiknya datar dan tidak tergesa-gesa. Tetapi, itulah yang membuat saya harus datang untuk kali kedua.

Mengapa? Ada keteduhan dan identitas di sana. Michael Frank lebih mengajak kita berdialog ketimbang memaksa untuk berdecak kagum. Tampak ringkih, penampilan dan lagunya pun nyaris sama. Tidak jadi soal, penonton sangat menikmati.

Berbicara musik jazz, kita tidak boleh melewatkan satu nama, Oscar Peterson. Dizzy Gillespie menyebutnya “sang maharaja”. Sayang, sang maharaja itu pada 23 Desember 2007 dipanggil menghadap Sang Khalik. Beruntung, saya sempat menikmati dialog jazz dengannya 26 tahun silam. Dia berkata, “Orang sering keliru melihat jazz sebatas pertunjukan skill. Keterampilan hanyalah prasyarat untuk memperluas ruang eksplorasi. Sedangkan, unsur utama jazz adalah kebebasan dan kreativitas”.

Itulah yang membedakan musik jazz dengan musik lain. Oscar Peterson berkata, “Jazz adalah ‘proses pencarian’ yang tidak pernah selesai. The real democracy ada di musik jazz. Dia menunjuk pemain basnya; Saya bisa memaksa dia bermain. Tetapi, saya tidak bisa memaksa dia untuk memberikan yang terbaik”.

Mengapa? Sebab, memberikan yang terbaik itu urusan spirit dan rasa. Terbaik bukan berarti lantas pamer keterampilan tanpa batas. Bukan, tetapi kesediaan membuka dialog! Inilah awal lahirnya harmoni. Tanpa harmoni, musik akan hambar tanpa nyawa dan tanpa identitas. Lirih dia berkata, “Sebenarnya, hidup ini adalah bagian dari simfoni. Mungkin Tuhan menciptakan musik agar kita lebih memahami apa arti harmoni dalam kehidupan ini”.

Mungkin terlalu filosofis, tetapi Oscar Peterson benar. Di tengah kehidupan yang kian kompleks ini, pemahaman tentang harmoni menjadi teramat penting. Pertanyannya, benarkah selama ini kita sadar akan pentingnya harmoni?

Mengukur Stabilitas

Apakah arti harmoni? Common sense, harmoni itu identik dengan indah. Perasaan damai, hijau, teduh, pokoknya everybody happy. Benarkah kita sudah memiliki perasaan seperti itu di bumi pertiwi ini? Lantas, musik apakah yang Anda dengar di negeri ini? Lolongan PKL yang tergusur, tangisan kepedihan, dan aroma kematian di mana-mana.

Apakah itu suara indah yang membawa sinar Ilahi atau musik kematian? Belum cukup, musik iblis mengiringi deru mesin penghancur hutan, bumi dan laut yang terus bekerja tanpa jeda. Sungguh kemampuan destruktif yang mengagumkan. Apakah itu harmoni? Siapakah yang harus menjawab?

Presiden The Eurasia Group, Ian Bremmer, menulis The J Curve buku tentang a new way to understand why nations rise and fall. Ada empat level stabilitas negara. Negara dengan stabilitas tinggi, menengah, rendah, dan terakhir negara gagal. Intelektual muda, Yudi Latif, menaruh Indonesia di level negara dengan stabilitas rendah. Artinya, hukum masih berjalan, tetapi pemerintah sedang berjuang untuk mencapai efektivitas dalam mengimplementasikan kebijakannya. These states are not well prepared to cope with sudden shock.

Dan, kapan negara itu dikatakan gagal? Negara tanpa stabilitas dan tendensi, chaos. Di sini, pemerintah tidak mampu lagi mengimplementasikan kebijakan. Terjadi fragmentasi, negara sepenuhnya dikontrol kekuatan luar.

Mungkin Yudy Latif benar, Indonesia ada di level low stable state. Beberapa pertanyaan mengganggu, bukankah kebijakan negara saat ini telah didikte kekuatan luar? Bukankah stabilitas negara ditujukan untuk menjaga investasi asing? Faktanya, hukum telah lama meninggalkan rakyat kecil.

Esok masih ada. Pertanyaannya, ke mana negeri ini menuju? Kita harus tetap menyimpan optimisme. Peter Drucker mengingatkan, tomorrow is an opportunity. Tetapi, semua itu bergantung musik apa yang akan kita mainkan. Di sini jelas, pemahaman tentang harmoni dalam bernegara menjadi conditio sine qua non.

Membangun Harmoni

Oscar Peterson mengingatkan, harmoni tidak mungkin dicapai tanpa dialog. Benar, Socrates ribuan tahun lalu mengingatkan, kemampuan berdialog adalah bagian paling mendasar yang harus dimiliki manusia beradab. Kebajikan hanya mungkin lahir dari dialog. Gagasan besar selalu diawali dengan dialog. Dalam bahasa Yunani kuno, dia-logos berarti a free flow of meaning between people.

Tidak ada paksaan! Di era modern ini, Peter Senge mengatakan, dialog adalah bagian paling inti dalam menjalankan organisasi. Ketulusan menerima ide, melihat ke depan bersama, dan menempatkan kepentingan bersama di atas segalanya. Negara bukan hadir sebatas ikatan rasional.

Lebih dari itu, negara membutuhkan ikatan spiritual dan emosional yang dalam. Hanya dengan dialog, spiritual and emotional alignment tersebut terbangun. Itulah fondasi rumah kita yang bernama Indonesia. Tanpa fondasi yang kuat, sebagus apa pun desain di atas, rumah tersebut akan rontok.

Apakah dialog kebangsaan masih mungkin dilakukan para elite kita? Terasa benar, ketulusan semakin jauh atau mungkin hilang! Tertutup oleh dorongan selfish yang tak berbatas. Yang tampak hanyalah rivalitas politik yang semakin tajam dan tidak sehat. Sepi gagasan besar, ruang penuh iklan politik yang mahal, tapi murahan. Retorika kata kian banal.

Dalam situasi homo homini lupus -manusia merupakan serigala bagi sesamanya- ini, masihkah kita bisa bicara tentang demokrasi? Samuel Huntington mengingatkan, demokrasi tidak selalu merupakan pilihan terbaik. Sebab, ia dapat mengundang inefisiensi dan ketidakpastian. Hannah Beech pun menulis, perlu tingkat peradaban tertentu untuk dapat memaknai demokrasi.

Jalan Baru?

Mungkinkah demokrasi tanpa dialog akan membawa negeri ini ke cita-cita bangsa? Sampai kapan rakyat harus menunggu? Korban sudah terlalu banyak, cahaya di depan kian meredup.

Saya teringat kata-kata Radhar Panca Dahana, “Sudah lama saya kehilangan kepercayaan pada sistem pemerintahan dan sistem politik negeri ini. Mungkin berlawanan dengan nurani intelektual saya. Tetapi, saya melihat dalam situasi seperti ini, Indonesia memerlukan pemerintahan otoriter yang benevolence (baca: budiman).”

Mungkin dia benar! Selama ini, negeri kita berjalan tanpa simfoni. Kita harus menerima jenis musik baru yang sesuai dengan peradaban kita. Sebba, itulah yang akan menyelamatkan negeri ini. Apa pun jenis musik yang hadir, -lagu sakral gubahan Kusbini- ini, seharusnya mengukir relung jiwa para pemimpin bangsa. Padamu negeri, aku berjanji…..bagimu negeri, jiwa raga kami.

* Ario Djatmiko, dokter, ketua Litbang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Jatim

Sumber: Jawa Pos Opini  Sabtu, 21 Februari 2009

Potret Negeri tanpa Simponi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top