Sartre Bukanlah Seorang Fenomenolog, tetapi Seorang Pemikir Cartesian (9)

sartre-humanism

“Jika ada Tuhan, Dia haruslah Tuhan-bagi-aku” (Jolivet).

Sartre memberikan deskripsi yang luas mengenai dunia-dalam-dirinya-sendiri (monde-en-soi). Namun, deskripsi ini sama sekali tak bermakna apa-apa, dan dengan sedikit usaha kita bisa setidaknya mempelajari sumber ketidakbermaknaan ini. Sartre melukiskan “dalam-dirinya-sendiri” dalam pengertian sesuatu yang yang sangat padat, yang positivitasnya lengkap, sebagai sesuatu yang sepenuhnya diisi dengan dirinya sendiri, dsb. “Dalam-dirinya-sendiri” itu sepenuhnya adalah itu, sepenuhnya identik dengan dirinya sendiri, yang mempertahankan tiadanya hubungan dengan apapun yang bukan dia, termasuk tak ada negasi apapun, sehingga jika dunia itu lenyap, kita tak akan bisa membicarakannya lagi. “Dalam-dirinya-sendiri” tak bisa diderivasikan dari hal yang mungkin, juga tak bisa dari hal yang niscaya. Dunia tidaklah tercipta dan tidak memiliki alasan bagi keberadaannya; dunia itu hanya sekedar ada, tergantung  sebagaimana adanya di tengah-tengah tak dimanapun.

Pembaca yang paham dapat dengan mudah melihat apa yang disebut deskripsi atas “dalam-dirinya-sendiri” ini berdiri demi deskripsi dari “dalam-dirinya-sendiri” (en-soi-pour-lui). Sartre melihat dengan baik bahwa “dalam-dirinya-sendiri” tetap memiliki hubungan, bukan merupakan sesuatu kepenuhan yang utuh, bahwa dia tak ada lagi begitu lenyap, dsb.

Dia membalik semua kualifikasi dari “dalam-dirinya-sendiri” secara terbalik dan berharap bahwa daftarnya itu akan mendeskripsikan “dalam-dirinya-sendiri.” “Dalam-dirinya-sendiri” adalah sesuatu yang “buat-dirinya.” Semua kualifikasi dari “dalam-dirinya-sendiri” mendefiniskan “dalam-dirinya-sendiri” dengan bantuan sebuah tanda yang negatif. Sartre secara artifisial menunda gerakan intensional dari “untuk-dirinya-sendiri” dan sekaligus mempertahankan bahwa bahwa dia sedang membicarakan sesuatu yang bermakna.

“Pada titik ini, kata absurditas mengalir dari pena saya” (Nausea). Sartre mencatat sendiri bahwa “dalam-dirinya-sendiri” itu sesuatu yang absurd! Tetapi bukanlah “sesuatu-dalam-dirinya-sendiri” yang absurd, yang absurd itu ialah yang ingin memperbincangkan sesuatu “dalam-dirinya-sendiri”!

Sartre berhenti menjadi seorang fenomenolog pada saat dia mulai mendeskripsikan “dalam-dirinya-sendiri.” Dan “dalam-dirinya-sendiri” yang diabsolutkan membawanya untuk menghidupkan kembali “buat-dirinya-sendiri” yang diabsolutkan.

Karena “untuk-dirinya-sendiri” dideskripsikan sebagai kebebasan, kita bisa berharap bahwa kebebasan ini juga akan diabsolutisasikan. Inilah sebenarnya persoalannya. Apalagi absolutisasi ini membawa ke pengingkaran yang lebih jauh atas intensionalitas.

Keberatan-keberatan

Argumen di atas (dalam 4 tulisan tentang fenomenologi terakhir, red) seringkali dikritik atas alasan bahwa dalam pengetahuan itu sendiri dunia tampak sebagai independen dari kesadaranku. Diargumentasikan bahwa fenomenologi menolak ini manakala fenomenologi menyatakan bahwa dunia itu bergantung pada kesadaran, manakala menyatakan bahwa tak ada dunia tanpa manusia.

Argumen ini didasarkan pada sebuah kesalahpahaman. Meskipun benar bahwa dunia itu menampilkan dirinya dalam pengetahuan sebagai sesuatu yang independen dari kesadaran, kita tak boleh karenanya menyimpulkan bahwa adalah mungkin untuk mengafirmasi dunia ini di luar realitas afirmasi manusia, yaitu di luar realitas pengetahuan dan kesadaran. Hanya dalam afirmasi inilah, kata “ada” mendapatkan maknanya.

Fakta bahwa dunia tampil dalam pengetahuan sebagai sesuatu yang independen dari kesadaran memiliki arti tak lebih dari bahwa kesadaran itu tak bisa menjadi sebab efisien dari dunia. Manusia sebagai ada yang intensional dalam dirinya sendiri adalah pengafirmasi-dari-dunia; aspek ini membentuk bagian dari esensi manusia. Manusia tak dapat mengabaikan ataupun melampaui esensinya sendiri.

Garis penalaran yang sama mengharuskan kita untuk menyatakan bahwa tanpa manusia tak mungkin ada Tuhan (bagi manusia). Ini bukanlah ateisme.

“Jika ada Tuhan, Dia haruslah Tuhan-bagi-aku” (Jolivet).

Sartre bukanlah seorang ateis hanya karena dia merasa bahwa dia tak bisa mengafirmasi sesuatu yang berada di luar realitas afirmasi yang mungkin. Juga Marcel itu bukanlah seorang yang teis hanya karena dia merasa bahwa afirmasi itu mungkin. Bukanlah tugas metafisik untuk mengimajinasikan suatu ada yang tidak dapat dipikirkan.

Di sini kita sering berhadapan dengan bantahan bahwa fenomenologi tidaklah mewakili sesuatu yang sungguh-sungguh baru. Hal ini haruslah betul-betul diakui: fenomenologi bukanlah sesuatu yang baru secara drastis. Bukanlah maksud dari kaum fenomenologi untuk membuka pintu yang memang sudah terbuka.

Dia hanya berusaha untuk menunjuk pintu yang sudah terbuka dan lalu mengundang orang untuk masuk ke dalamnya (Rümke).

Sumber Gambar: http://www.uri.edu/personal/szunjic/philos/sartre-end.jpg

(Bersambung)

Sartre Bukanlah Seorang Fenomenolog, tetapi Seorang Pemikir Cartesian (9)

One thought on “Sartre Bukanlah Seorang Fenomenolog, tetapi Seorang Pemikir Cartesian (9)

Leave a Reply to Manusia sebagai Eksistensi (10) : Averroes Community Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top