Sejarah dan Narasi Masyarakat

BELUM lama berselang, seorang sejarawan menulis di harian ini, ”History”, ”His Story” atau Sekadar ”Sorry” (Kompas, 13/9/2008). Dengan menarik, sejarawan itu mengulas sejumlah buku yang ditulis berdasarkan tuturan para pelaku sejarah.

Menurut dia, buku-buku seperti itu perlu dipertanyakan karena cenderung hanya merupakan kumpulan his story tanpa bukti. Ia terkesan bersorak saat ada buku yang dibakar hanya karena ada bagian yang dianggapnya ”ajaib”. Mengingat salah satu buku yang diulas berjudul Mencari Supriyadi, kiranya catatan perlu disampaikan di sini.

Dominasi kekuasaan

Pertama-tama, sebagaimana kita ketahui, dalam waktu lama narasi sejarah Indonesia cenderung didominasi oleh narasi kekuasaan. Artinya, sejarah lebih banyak ditulis atau dituturkan dengan maksud dasar untuk melayani mereka yang sedang berkuasa. Terjadilah mononaratif yang kental dengan kepentingan kekuasaan. Akibatnya, narasi yang berasal dari masyarakat kurang mendapat tempat.

Kedua, menanggapi situasi demikian, kini perlu kiranya narasi yang berasal dari masyarakat semakin diberi tempat, didengarkan, bahkan didukung. Sekaligus mengingat, setiap peristiwa sejarah itu bersifat multidimensi, penulisan kembali atas peristiwa- peristiwa sejarah perlu bersifat multinaratif.

Ketiga, dalam rangka mendukung narasi masyarakat yang multinaratif itu, penting kita mendengarkan tuturan warga masyarakat yang merupakan pelaku dan ssaksi sejarah. Kini diakui, penulisan sejarah bukan hanya membutuhkan sumber tertulis, tetapi juga sumber-sumber lisan. Karena itu, kita perlu membuka ruang bagi mereka yang dulu menjadi pelaku, saksi mata, atau orang yang dekat dengan peristiwa sejarah agar menuturkan pengalaman mereka. Hal ini dibutuhkan terutama untuk memberikan kesempatan kepada pelaku sejarah yang selama ini terbungkam atau dibungkam suaranya.

Mempelajari kembali sejarah

Keempat, dalam rangka mendengarkan narasi dari para pelaku sejarah itulah, penulis buku Mencari Supriyadi bertemu tokoh Andaryoko Wisnu Prabu. Andaryoko merupakan salah satu pelaku sejarah dan wawancara dengannya dilakukan terutama dalam kapasitas dia sebagai pelaku sejarah. Apa yang ia tuturkan terkait sejarah Indonesia di seputar Proklamasi dan perang kemerdekaan menarik didengarkan dan dicermati. Paparannya—berikut berbagai keterangan pendukung yang ia sampaikan—penting setidaknya sebagai pembanding atas mononarasi mengenai sejarah Indonesia pasca-Proklamasi yang selama ini sering kita dengar. Dia memang menceritakan bagaimana dia hadir dalam sejumlah peristiwa sejarah, tetapi tidak pernah menyatakan bahwa dia hadir dalam semua peristiwa sejarah di awal berdirinya republik. Dia pun tak pernah mengklaim diri hadir dalam dua peristiwa berbeda yang berlangsung di dua tempat berbeda, tetapi dalam waktu yang sama.

Kelima, dalam proses wawancara itu, Andaryoko menyatakan diri sebagai Shodancho Supriyadi yang dulu memimpin Pemberontakan PETA di Blitar tahun 1945. Namun, bagi dia—sebagaimana berkali-kali dikatakannya—yang paling penting bukan melulu tentang dia sebagai Shodancho Supriyadi, tetapi tentang perlunya mempelajari kembali sejarah Indonesia. Ia pun tidak keberatan jika ternyata ada orang lain yang lebih mampu membuktikan diri sebagai Shodancho Supriyadi yang sebenarnya.

Jelas, soal apakah benar Andaryoko itu Shodancho Supriyadi atau bukan, hal itu bukan fokus dari buku itu. Fokusnya lebih pada pemberian ruang bagi salah seorang pelaku sejarah untuk menuturkan kembali pengalaman dan pendapatnya terkait sejarah Indonesia. Tentu saja tuturan itu harus ditanggapi dengan sikap kritis dan rendah hati.

Dengan demikian, soal apakah benar Andaryoko adalah Shodancho Supriyadi atau bukan, buku itu menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk menilai dan mengambil sikap. Buku itu memandang pembacanya sebagai orang-orang yang cerdas dan dewasa. Melalui buku itu, para pembaca diajak bukan untuk secara hitam-putih menerima atau menolak sesuatu, tetapi untuk bersama-sama melakukan pertimbangan, pemikiran, dan pencarian terkait sejarah Indonesia. Itulah sebabnya buku itu diberi judul Mencari Supriyadi.

Pencarian

Dari kata pengantar hingga kalimat penutup epilog buku, tema yang ditawarkan adalah tema pencarian. Sebagaimana kita tahu, kisah mengenai Shodanco Supriyadi adalah sebuah kisah besar yang belum final, tetapi masih terbuka bagi berbagai bentuk penelitian dan interpretasi.

Artinya, buku-buku, seperti buku Mencari Supriyadi, ini tidak dimaksudkan sebagai ”kata akhir” tentang suatu topik sejarah, tetapi justru sebagai pendorong bagi langkah-langkah lebih lanjut. Maksudnya bukan hanya sebagai pendorong untuk melakukan penelitian dan interpretasi lebih lanjut atas sebuah bidang kajian tertentu, tetapi juga untuk terus mempelajari kembali berbagai peristiwa dan tokoh penting lain dalam sejarah republik ini. Kita tahu bangsa yang berjiwa besar adalah bangsa yang berani secara kritis mendengarkan tuturan para warganya, bukan justru membungkamnya.

Terakhir, untuk sekadar diketahui, kata history dalam bahasa Inggris aslinya berasal dari istilah Latin historia yang berarti ”pencarian” dan istilah Yunani istor yang maknanya ”mengetahui”. Dalam bahasa Latin maupun Yunani, tentunya tak dikenal penggunaan istilah his atau her seperti dalam bahasa Inggris. Sorry.

Baskara T Wardaya SJ Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta; Penulis Buku Mencari Supriyadi (Galangpresss 2008)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/27/00365852/sejarah.dan.narasi.masyarakat
Sabtu, 27 September 2008 | 00:36 WIB

Sejarah dan Narasi Masyarakat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top