DEKONSTRUKSI seksualitas postkolonial: dari wacana bangsa hingga wacana agama. Demikian, tema diskusi ini. Pertama saya tidak bisa membayangkan apa yang harus saya bicarakan, sebab ada tiga konsep dan dua konteks besar yang harus saya bangun yaitu dekonstruksi,…seksualitas dan poskolonial dalam bingkai wacana bangsa dan agama. Saya tidak akan sanggup meraih seluruh tema itu, tetapi mungkin yang bisa saya lakukan adalah menjadikannya fokus, sederhana dan secara sistematis dapat memahami persoalan yang spesifik.
Apakah yang menjadi spesifik? Tentu sasja isu perempuan, terutama karena ia adalah salah satu seks dalam kedua gender atau jenis kelamin. Tema-tema perempuan adalah tema-tema multidisiplin, isunya merambah sampai ke ide-ide dekonstruksi, dan terutama karena tema perempuan kental dan sangat berkorelasi dengan perspektif feminis, perspektif yang mengusung semangat dekonstruksi atas persoalan seks dan gender dan masuk dalam tema-tema filsafat posmodern serta postkolonial. Maka apa hubungan isu perempuan (feminisme) dengan dekonstruksi, seksualitas dan postkolonial?
Poskolonial, Posmodern dan Postfeminis: Wacana Pembalikan
Postkolonial lahir untuk menggugat konstruksi kolonial yang telah menindas kelompok-kelompok marjinal. Postkolonial kemudian membongkar (dekonstruksi) kembali wacana-wacana yang terstruktur, termasuk dalam memetakan politik dan kekuasaan. Ide Ferdinand de Saussure tentang oposisi biner misalnya, telah dipakai dalam struktur-struktur kesadaran pengetahuan. Oposisi biner telah membagi dunia dalam dua kategori, dan kategori yang satu biasanya lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Bagi postkolonial oposisi yang merupakan struktur tak disadari ini merugikan dua hubungan tersebut, sebab akan terjadi dualitas masyarakat atau pemahaman yang saling menindas, dan muncullah apa yang disebut primordalisasi, dan sektarianisasi kelompok. Oposisi itu sendiri lambat laun terproduksi menjadi mitos dan kebenaran yang disembah mati-matian. Oposisi lelaki dan perempuan misalnya, perempuan cenderung ditempatkan sebagai ‘yang dibawah lelaki’ dan telah dimitoskan demikian, dianggap sesuatu yang natural. Inilah kolonialisme dalam ruang privat, dan menjadi sumber gugatan feminisme yang senafas dengan gugatan postkolonial. Struktur-struktur oposan yang asimetris dalam wacana maupun pemahaman kita terhadap masyarakat dan dunia menghasilkan mitos siapa yang berhak menindas dan siapa yang boleh saja ditindas.
Banyak term-term yang terjebak pada ide oposisi biner yang dikorelasikan dengan kekuasan, dan arahnya menjadi penindasan-penindasan baru. Seperti oposisi minoritas/mayoritas, pusat/pinggiran, global/lokal, oposisi ini adalah ibarat personifikasi dari ‘masalah teritorial’, yakni batas-batas untuk menentukan ‘siapa kita’ dan ‘siapa mereka’. Dikotomi biner ini justru mengandung unsur-unsur hirarkis dan oposisional yang menindas, karena itu berarti mewakili dua kutub yang kontras. Dari ide oposisi ini, postkolonial tidak hanya bicara soal penjajah dan yang terjajah dalam masa kolonial dan sesudahnya, terutama karena tema tersebut tak relevan lagi, sebab sudah terlalu banyak jenis-jenis penjajahan baru dan bentuknya tidak lagi dalam dua kutub. Inti dari kritik postkolonial atas kolonialisme adalah tidak dalam bentuk ‘fisik penjajahan’, melainkan juga dalam bangunan wacana dan pengetahuan (bahkan bahasa), bahwa dikotomi merupakan simplifikasi yang menyesatkan, terutama bila selalu berkorelasi dengan hirarki kekuasaan. Padahal hubungan mayoritas-minoritas misalnya, tidak selalu berkorelasi dengan kekuasaan, ia bisa saja hanya merupakan perbedaan.
Edward Said dalam ide postkolonial misalnya melakukan dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan membawa slogan “kesadaran tandingan” dengan paradigma orientalismenya di tahun 1978. Katanya, Timur adalah sebentuk panggung tertentu yang didirikan dihadapan Barat. Said menguliti orientalisme sebagai wacana ilmiah yang didorong oleh motif-motif kekuasaan yang amat buas (kolonialisme). Bahwa kolonialisme pun dapat lahir dari ‘negeri yang terjajah’, maka tak ada lagi teritorial verbal tentang penjajah dan yang dijajah. Kekuasaan dan penindasan dapat dilakukan oleh siapapun dalam bentuk apapun, tanpa harus ditempatkan dalam dikotomi tertentu. Ini semakin menunjukan bahwa postkolonialisme selain satu nafas dengan feminisme, ia juga bersanding dengan postmodernisme. Seperti ide Michel Foucault bahwa kekuasaan ibarat sebuah jaringan yang tersebar dimana-mana. Maka bukan lagi kekuasaan berbentuk vertikal: penguasa di atas dan yang tertindas di bawah, melainkan berlaku dari dan ke segala arah. Untuk menggambarkan ide postkolonial ini ada istilah black face, white mask, yaitu orang yang dijajah meniru perangai penjajah. Maka si black face, white mask adalah penjajah itu sendiri.
Dari perumpamaan di atas, postkolonialisme menjadi paradigma yang sangat kritis dengan posisi-posisi. Misalnya, mengusung isu HAM kadang cara imperialisme menumpang penyebaran ideologinya. Feminisme pun tak lepas dari kritik postkolonial ini: menjamurnya LSM perempuan yang ‘menggadai’ isu gender cenderung sekadar menalang bantuan dari luar negeri. Namun pandangan ini tidak berangkat dengan sejumlah generalisasi. Itu sebabnya utnuk meng-counterkecurigaan ini, muncullah postfeminis, yaitu wacana baru setelah feminisme yang mengarah pada perdebatan seputar “perbedaan”, bukan lagi pada “kesetaraan” dengan tujuan strategi perubahan yang berkesinambungan dengan teori-teori baru pergerakan sosial. Postfeminis ini berkesinambungan dengan postkolonial dan postmodern yang tidak lagi terjebak pada oposisi biner dimana perempuan ditempatkan dalam sisi negatif, tidak berdaya, subordinasi dalam hubungan yang asimetris dengan laki-laki. Helene Cixous, seorang feminis posmodern misalnya, menawarkan konsep perbedaan dan keragaman dalam menetang oposisi biner, begitupula pada feminis multikultural yang banyak lahir dari dunia ketiga dan menolak universalitas serta lebih mengakui perbedaan ras.
Pertemuan antara poskolonial, posmodern dan postfeminis adalah terletak pada ‘marginal voices’, partikularitas, dekonstruksi, kebenaran plural dan menggugat konstruksi sosial. Wacana postkolonial, posmodern dan postfeminis pada dasarnya adalah ‘wacana pembalikan’. Dalam postfeminis misalnya, bagaimana menganalisa kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh perempuan sendiri. Selama ini perempuan ditekankan sebagai korban, maka hampir dalam bentuk generalisasi maka laki-lakilah pelakunya. Pandangan feminis menjadi dilematis, terjebak kembali pada dua kutub, korban dan bukan korban. Sedangkan postfeminis dapat melihatnya perempuan juga sebagai pelaku dalam melanggengkan perempuan, sama seperti perumpamaan black face, white mask, orang yang dijajah dapat menjadi penjajah itu sendiri.
Tubuh Perempuan: Wacana Postkolonial, Dekonstruksi Persoalan Seks
Bila memakai pendekatan postkolonial, semangat membalik dapat kita temukan pada isu pornografi. Pornografi banyak ditentang oleh kaum perempuan, dengan asumsi pornografi telah mengeksploitasi tubuh perempuan habis-habisan, dan hanya lelakilah yang mendapatkan keuntungan. Mereka menunjukan data bahwa lelakilah konsumen terbanyak dalam peredaran pornografi. Di situ perempuan merasa dirinya dipermalukan, ditelanjangi bahkan beberapa mengatakan film porno adalah bentuk perkosaan lain dalam dunia fiksi media visual.
Serangan antipornografi ini terutama datang dari perempuan dan lelaki agamis, yang masih bermain rambu-rambu dalam mengangkat isu seksualitas yang masih mempertahankan nilai-nilai masyarakat. Seperti masyarkat kita yang masih memegang teguh agama, dan menganggap ketelenjangan mengotori moralitas dan kesucian nilai-nilai luhur kita. Atau kaum feminis radikal kultural yang masih memegang kultur atau nilai-nilai masyarakatnya yang menentang habis-habisan serangan seksual lelaki terhadap seks perempuan. Seperti Andrea Drowkin yang mengatakan takkan memberi ruang pada pemikiran yang pro pornografi. Sebab sama saja memberi apologi pada patriarkhi, seperti pernyataan Andrea Dworkin, sebagai salah satu feminis anti pornografi. Ia menyatakan bahwa pornografi menyebarkan bahwa perempuan itu pelacur. Pornografi adalah industri yang menjual perempuan dan kekerasan terhadap perempuan.
Tetapi postkolonial, dan terutama yang seiring dengannya (postfeminis) dapat membaliknya bahwa pornografi dapat digunakan untuk kesadaran seksualitas perempuan itu sendiri. Perempuan memiliki hak untuk menunjukan hasrat seksualitas dirinya. Bahwa hasrat seks sangat manusiawi, tentunya juga bagi perempuan. Seperti tokoh Laila dalam Saman novel Ayu Utami, di balik perselingkuhannya ada pesan-pesan yang ia tunjukan, tentang ideologi patriarkhi, dan bagaimana seks, agama dan Tuhan dipandang dari sudut mata dan hati atau pengalaman perempuan.
Semangat membalik juga terjadi pada isu pornografi yang banyak ditentang Wendy McElroy, postfeminis melihat pornografi dengan lain, ia mengatakan pornography benefits women, both personally and politically. McElroy menegaskan bahwa perempuan penting untuk memahami haknya yang paling dasar, hak atas hasrat dan gairah seksualnya. Pornografi dapat menyelamatkan perempuan dari ‘kungkungan tempat tidur’ yang selama ini hanya dikuasai lelaki. Perempuan pun akan bereksplorasi atas tubuhnya sendiri, dan itu berarti perempuan dapat memiliki dirinya sendiri yang selama ini kehadirannya hanya untuk lelaki. Demikian perempuan tidak lagi diletakan seperti boneka, dan lelaki tidak lagi berwewejang tentang ‘bagaimana perempuan seharusnya’.
Fenomena Madonna, adalah ikon dalam semangat membalik postkolonial. Kaptalisme dan tubuhnya ia gunakan utnuk menjai kekuasaannya. Di sini Madonna sebagai tubuh perempuan tidak lagi menjadi korban eksploitasi, ia mengeksploitasinya untuk menjadi kekuasaan menundukan wacana yang tidak membebaskan perempuan meraih diriya sendiri. Madonna adalah imaji atas dirinya sendiri, yang dapat memperlihatkan gender dan seksualitas kepada generasi pada waktu itu. Kebangkitan popularitasnya sejak 1980-an dengan smash hit lagunya Like A Virgin dan Material Girl di awal 90-an merupakan transformasi lambang tentang “kesadaran diri” atas kebingungan gender. Penggemarnya yang kebanyakan perempuan, dan kritik-kritik terhadapnya menajdi intelektual, bahkan banyak membawa studi tentang gender, seksualitas dan media massa. Madonna menjadi simbol perempuan dalam post-gender. Semangat membalik Madonna menjadi semangat post dan menjadi contoh penting dalam melihat persoalan seks perempuan di tengah perlawanan dan kehadirannya. Gerakan-gerakan post memang menjadi kontroversial karena tidak sealur dengan standar nilai masyarakat dan agama, kemunculannya sering mengejutkan dan awalnya akan dianggap sebagai kehadiran yang melenceng. Namun bila dipahami dan dipelajari lebih dalam, pemahaman post termasuk postkolonial sesungguhnya melengkapi perlawanan kolonialisme itu sendiri.
Sumber: http://pengetahuan-subyek.blogspot.com/