“Negara Lemah” versus “Preman”

Oleh Iqrak Sulhin*
Ada buku menarik dari Francis Fukuyama berjudul State Building (versi Indonesianya berjudul Memperkuat Negara) yang terbit tahun 2006. Di dalam buku ini, Fukuyama menjelaskan bagaimana positifnya korelasi antara negara yang lemah dan munculnya sejumlah masalah sosial.

Indikasi kuat atau lemahnya negara dilihat dari apa yang disebutnya sebagai state function (fungsi negara) dengan state capacity (kapasitas negara). Relasi antara keduanya akan menempatkan suatu negara dalam salah satu dari empat kuadran. Ringkasnya, negara yang kuat atau bisa dikatakan sukses adalah negara yang memiliki kapasitas yang kuat, baik dengan fungsi yang banyak maupun sedikit.
Kapasitas negara adalah sejauh mana negara mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Dalam konteks pembangunan sosial, kapasitas negara diperlihatkan oleh kemampuan negara memenuhi hak-hak dasar secara proporsional dengan anggaran belanja negara. Dalam konteks penegakan hukum diindikasikan dengan konsistensi negara umumnya dan aparatur penegak hukum khususnya dalam menegakkan hukum dan menciptakan kepastiannya. Untuk yang terakhir ini, Stiglitz melihat munculnya terorisme sebagai indikasi lemahnya kapasitas negara dalam pencegahan kejahatan dan penegakan hukum.

Secara mengejutkan, upaya mempertahankan demokratisasi dan good governance process di Indonesia dicederai oleh tindakan “preman”, sekaligus mengindikasikan masih rendahnya kapasitas negara dalam penegakan hukum.

Momen kelahiran Pancasila 1 Juni yang digunakan oleh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) untuk internalisasi nilai toleransi beragama dan kepercayaan justru diakhiri oleh kekerasan “preman” beratribut Front Pembela Islam (FPI). Seakan tidak menerima dengan aktivitas dari aliansi yang di dalamnya juga tergabung organisasi ke-Islam-an, kelompok “preman” tersebut justru melakukan pembubaran paksa dengan kekerasan dan makian.

Banyak Alternatif
Dapat dibayangkan apa yang akan dilakukan negara bila tindakan premanisme ini terjadi saat Orde Baru masih berkuasa. Alih-alih sampai melakukan kekerasan, keberadaan kelompok “preman” itu sendiri mungkin sudah diberangus sebelumnya. Tentu saja cara-cara yang dilakukan oleh negara versi Orde Baru tidak diharapkan lagi. Selain jauh dari cita-cita demokrasi, tindakan keras negara justru potensial menciptakan kejahatan yang lain dalam bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Banyak alternatif lain dalam menciptakan order (ketertiban). Salah satu yang utama adalah kepastian dalam penegakan hukum. Dalam hal ini diperlihatkan oleh konsistensi penindakan aparatur penegak hukum terhadap segala macam tindakan melawan hukum, serta kepastian akan penjatuhan hukuman meskipun kadar dari hukuman itu tidak berat.

Dalam perkembangan filosofi penghukuman, ada anggapan bahwa hukuman yang berat akan menciptakan jera (deterrence). Seperti penjatuhan hukuman mati. Namun, penelitian justru memperlihatkan bahwa kepastian penindakan dan penjatuhan hukuman-lah yang lebih potensial menciptakan jera, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak berat. Seperti yang dipraktikkan di sejumlah negara maju bagaimana jelas dan pastinya konsekuensi hukum hanya atas perilaku membuang sampah sembarangan.

Terkait dengan apa yang telah dilakukan oleh kelompok dengan atribut FPI terhadap AKKBB, negara (dalam hal ini diwakili oleh aparatur penegak hukum) seharusnya menyadari bahwa tindakan yang dilakukan tersebut bukanlah yang pertama kali. Hingga kini publik mungkin tidak pernah mendengar adanya upaya evaluasi terhadap keberadaan organisasi masyarakat yang justru kontraproduktif terhadap ketertiban bersama.

Di alam demokrasi, keberadaan organisasi masyarakat justru diperlukan. Namun, ketidakkonsistenan negara dalam penegakan hukum justru membuat organisasi-organisasi tersebut menaikkan statusnya sebagai pengganti negara, dan merasa legitimate untuk melakukan kekerasan atas nama klaim kebenaran. Bila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut tanpa ketegasan dan kepastian penegakan hukum, sangat mungkin tindakan serupa kembali terjadi di masa datang.

Oleh karena itu, beberapa hal perlu segera dilakukan untuk memperbaiki kapasitas negara dalam penegakan hukum. Pertama, untuk jangka pendek terhadap apa yang dilakukan oleh kelompok beratribut FPI tanggal 1 Juni tersebut, Kepolisian harus bertindak tegas dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mengembalikan kewibawaan hukum yang sangat jelas dilecehkan melalui tindakan premanisme. Kepolisian harus berani menindak secara tegas serta menyeret pelaku ke pengadilan. Hal ini juga didukung oleh Presiden dalam konferensi persnya pasca-kejadian.

Kedua, Kepolisian juga harus mengusut hingga pada indikasi keterkaitan kelompok tersebut dengan FPI karena jelas atribut organisasi ini digunakan dalam tindakan kekerasan tersebut. Dalam hal ini, sebagai sebuah organisasi dengan menurut pendirinya ditujukan untuk amar ma’ruf, FPI harus berani mempertanggungjawabkan adanya anggota FPI yang terlibat dalam kekerasan tersebut. Jikapun berkilah bahwa mereka yang terlibat bukan anggota FPI, organisasi ini tetap harus menjelaskan tentang keberadaan begitu banyak atributnya saat kejadian. Negara juga perlu melakukan evaluasi terhadap keberadaan organisasi kemasyarakatan yang cenderung bertindak dengan kekerasan.

Ketiga, analisis terhadap gejala premanisme semacam ini tidak terlepas dari konteks yang lebih makro. Khususnya terkait dengan kebijakan kriminal oleh negara. Secara teoritis, di tengah ketidakmampuan negara dalam menyelesaikan permasalahan sosial akan selalu muncul “kekuatan alternatif”. Di satu sisi, dapat berdampak positif, namun di sisi lain ada yang berpotensi negatif. Terkait dengan hal ini, secara mendasar yang perlu diperhatikan adalah konsistensi dan kepastian kebijakan dari negara. Bukan dalam bentuk pemberian hukuman sangat berat di atas kertas yang minim realisasi. Melalui konsistensi dan kepastian ini negara akan kembali meningkatkan kapasitasnya sekaligus menjadi negara yang kuat. Masih terkait dengan hal yang ketiga, negara harus mulai mempersempit ruang gerak “kekuatan alternatif” ini dengan responsif terhadap tuntutan masyarakat.

Keempat, mendorong negara untuk memediasi perbedaan-perbedaan di masyarakat. Dalam hal masalah Jemaah Ahmadiyah, misalnya, negara harus mampu memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa terlepas dari klaim sesat, setiap kepercayaan atau spiritualitas harus dilindungi eksistensinya.

Terakhir, elite atau tokoh yang berpengaruh dalam kelompok-kelompok yang sangat mungkin bersinggungan pascaperistiwa tersebut agar dapat menahan diri serta para anggota kelompoknya untuk kepentingan bersama.

*Penulis adalah Kriminolog UI

(Suara Pembaruan, Selasa 3 Juni 2008)

“Negara Lemah” versus “Preman”

2 thoughts on ““Negara Lemah” versus “Preman”

  1. Salam,

    Pembaca web ini yang saya hormati, saya adalah penulis dari artikel “negara lemah” versus “preman” ini. Mohon maaf sebesar-besarnya karena telah terjadi kesalahan dalam pengutipan nama. Penulis buku State Building tersebut bukan Josepth Stiglitz, namun Francis Fukuyama.

    Maklum, saya hanya mengandalkan ingatan ketika menulis artikel ini, karena ingin dengan cepat merespon “premanisme” FPI. Harap maklum. Atas kesalahan ini, Redaksi Suara Pembaruan juga sudah membuat ralat.

    Terima kasih,
    IQRAK SULHIN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top