MUI Terjebak Dalam Kepentingan Kelompok

Oleh : Edi Purwanto
SKB antara MUI Departemen Agama dan Jaksa Agung segera akan diluncurkan. SKB itu membahas tentang keberadaan Ahmadiyah yang dianggap sesat dari ajaran Islam. Hal ini dikarenakan Ahmadiyah tidak mengakui Muhammad sebagai Nabi terakhir. Mereka meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad lah yang dianggap Nabi terakhir. Fenomena ini tentunya membuat mayoritas muslim di Indonesia merasa gerah. Sehingga beberapa kali masyarakat mendesak pemerintah agar membubarkan keberadaan Ahmadiyah di Indonesia.
Mungkin masih belum hilang di benak kita tentang hangar-bingar sholat bilingual yang dilakukan oleh KH. Yusman Roy Di Pondok Itikaf Ngaji Lelaku Bululawang Singosari Malang, beberapa tahun lalu yang membuat Pimpinan Pondok itu mendekam di balik jeruji besi. Kasus yang sama terjadi di YNKC Probolinggo yang menerbitkan buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku ini oleh kalangan Islam dominan dianggap menyeleweng dari Aqidah Islam dan harus di musnahkan dari peredaranya. Dan masih banyak kasus lain yang serupa yang oleh kaum muslim dominan dianggap sesat. Kasus yang sama akan terus terjadi ketika Islam dijadikan sebuah Agama mapan.

Kontruksi Kebenaran
Paradigma benar dan salah merupakan kontruksi yang dibangun oleh kelompok dominan. Kebenaran itu selalu ada pada kelompok dominan “We” dan kelompok yang minoritas dianggap sebagai “Other”, yaitu kelompok yang tidak mampu mengkontruksi sebuah kebenaran pada dirinya. Kelompok ini seolah-olah tidak mampu mendefinisikan dirinya sebagai entitas kebenaran yang ada pada dirinya. Kebenaran minoritas ditentukan oleh kelompok dominan, analisa De Saussurian mengatakan bahwa adanya kebenaran itu dikarenakan adanya kesalahan-kesalahan yang mengitari kebenaran.

Kebenaran itu bukan alamiah tapi sebuah kontruksi yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki akses pengetahuan, modal, kekuasaan dan kepentingan-kepentingan tertentu. Yang terjadi adalah kelompok-kelompok tertentu yang bertentangan dengan meanstrem kebenaran dianggap menyimpang dan sesat.

Ahmadiyah dalam fatwa Ulama’ dianggap sebagai sesuatu yang lain “Other”, sehingga mereka tidak diperbolehkan untuk mengkontruksi sebuah kebenaran. Dalam hal ini Majelis Ulama’ Indonesia MUI memiliki kekuasaan otoriter yang berhak menentukan sebuah kebenaran tunggal tentang Islam. Islam resmi adalah yang diakui oleh negara yang tentunya memenuhi kaidah-kaidah tertentu yang disepakati oleh negara. MUI sebagai aparatus negara resmi yang paling dominan untuk menentukan benar salah, taat dan sesatnya sebuah Agama. Ahmadiyah dianggap tidak memenuhi kaidah-kaidah Islam yang sudah ditentukan oleh MUI, sehingga ahmadiyah diklaim sebagai agama sesat yang tidak diperbolehkan keberadaanya di Indonesia.

Pluralitas Yang Diseragamkan
Dari permasalahan-permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini, jelas terlihat bahwa negara dalam hal ini diwakili oleh MUI, mencoba untuk menyeragamkan praktik keberagamaan di Indonesia. Dengan menetapkan 6 agama resmi yang diakui negara berarti MUI menegasikan agama-agama lokal diluar agama resmi Negara. MUI mencoba melakukan purifikasi terhadap agama-agama lokal. Sehingga yang terjadi adalah orang-orang lokal yang tidak memeluk salah satu agama resmi pemerintah dianggap sebagai orang yang tidak beragama. Dalam paradigma pemerintah orang-orang tersebut harus memilih salah satu Agama yang sudah ditentukan oleh negara. Yang terjadi adalah pemaksaan kehendak dalam beragama. Hal ini bertentangan dengan Pasal 29 ayat 2 yang membahas tentang kemerdekaan beragama.

Penyeragaman ini disebabkan oleh pemahaman akan kebenaran tunggal dan tidak ada lagi kebenaran yang lain. Paradigma seperti ini akan mengakibatkan sebuah kehancuran masal. Bentrokan akan terus terjadi antara kaum mayoritas dengan kaum pinggiran, antara kaum dominan dengan subaltern. Kasus KH. Usman Roy, YNKC Probolinggo, pesantren yang dianggap sesat di Tulung Agung, dan kasus penyerbuan yang dilakukan oleh ormas Islam kepada JAI di Parung Bogor tahun yang lalu kiranya bisa dijadikan landasan berfikir bagi para pemegang fatwa.

Seharusnya MUI yang merupakan lembaga representasi dari negara bertindak arif dalam menanggapi sebuah permasalahan Agama, sehingga fatwa-fatwa yang dihasilkan tidak memicu fihak-fihak tertentu untuk melakukan tindakan anarkis. Akan lebih bijak jika MUI bisa melihat Ahmadiyah dari sisi Ahmadiyah bukan melihat Ahmadiyah dari kelompok dominan. Ketika MUI mampu melihatnya dengan cara subyektifikasi, mungkin MUI tidak lagi memberikan fatwa sesat pada kelompok minoritas.

Ini merupakan tugas MUI yang sangat berat, akan tetapi seringkali ketika memutuskan sebuah fatwa ia terjebak pada wilayah idiologis yang sangat rentan akan kepentingan kelompok tertentu. Sehingga dalam fatwa-fatwanya MUI selalu mendukung Status Quo. Akankah MUI bersifat netral dan tidak berfihak pada otoritas kelompok dominan?

MUI Terjebak Dalam Kepentingan Kelompok

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top