Ayat-Ayat Cinta

Inilah buku yang telah membawa babak baru dalam sejarah sastra Indonesia: terbitnya genre novel romantis-Islami. Sudah lebih dari 30 kali dicetak ulang, buku ini memberikan penghasilan tak kurang dari Rp 1,5 milyar sebagai royalti bagi penulisnya: Habiburrahman El-Shirazy.

Saya memang terlambat memberikan resensi karena blog ini belum dibuat di tahun 2004, saat novel itu diluncurkan pertama kali. Namun novel fenomenal ini kembali jadi pembicaraan karena baru saja difilmkan dengan re-interpretasi oleh sutradara Hanung Bramantyo. Dan terjadi pro-kontra baik terhadap novel maupun film-nya.

Bagi saya, membaca novel ini memang menarik. Detail soal Mesir dan kehidupan mahasiswa Indonesia di sana amat teliti. Bagi yang ‘Islam banget’, pandangan tokoh aku-protagonis yaitu Fahri mungkin kurang agamis. Bahkan ada yang menganggap kurang ideal. Tapi buat saya yang Islam-nya kacau balau ini, cerita dalam novel ini seperti “Cinderella Story versi Islam.”

Tokoh Fahri yang ujug-ujug bertemu dengan sang bidadari pujaannya di dalam trem kok ya sinetron abis gitu ya? Apalagi ternyata sang bidadari ternyata kemudian melamarnya dan bak ketiban duren, wanita itu ternyata tidak cuma baik agamanya, tapi juga cantik, pintar dan kaya. Wow! Ini jelas sulit terjadi di dunia nyata.

Tapi ingat lho, ini novel. Dus, ini cerita rekaan. Walau buat saya membacanya seolah seperti membaca Lupus-nya Hilman. Sebabnya, sepertinya karakter Fahri mengambil sejumlah sisi dari kehidupan asli sang pengarang, Habiburrahman el-Shirazy. Jadi, agak membingungkan apakah ini otobiografi tersamar seperti Laskar Pelangi atau murni fiksi.

Sebagai sebuah novel yang dimaksudkan sebagai “Pembangun Jiwa”, novel ini cukup berhasil mengeduk air mata pembaca yang muslim. Hanya saja, bagi yang non-muslim, mungkin akan berkerenyit melihat banyaknya penjelasan agamis di sana-sini. Apalagi, sang pengarang jelas-jelas menulis di bagian belakang bahwa ia mendasarkan tulisannya pada sejumlah kitab kuning.

Saya mengacungkan dua jempol atas keberanian pengarangnya menerobos genre novel romantik yang selama ini didominasi oleh teenlit dan chicklit atau novel-novel ala Harlequin. Tentu saja semua itu dipandang tidak Islami oleh muslim. Dan keberhasilan novel ini menembus angka penjualan sekian banyak tentu tidak terlepas pula dari fakta negeri kita adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di bumi.

Di atas itu semua, El-Shirazy membuktikan, pecinta sastra Indonesia amat terbuka terhadap inovasi. Walau menuai kritik, toh novel ini sukses. Bahkan lebih sukses dari Supernova-nya Dewi Lestari yang walau juga sukses namun di awal peluncurannya sempat dihantam badai kritik. Toh, inovator dan pionir jelas akan dicatat sejarah dengan tinta emas. Dan mereka terbukti sukses, jauh lebih sukses dibandingkan para pengkritiknya.

Ayat-Ayat Cinta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top