Tanggal 2 Oktober ini merupakan peringatan ulang tahun ke-140 kelahiran Mahatma Gandhi. Kebanyakan orang mengakuinya sebagai salah seorang tokoh terbesar sejarah.
Bahkan, Einstein pernah memujinya, ”Mungkin generasi berikutnya akan sulit percaya kalau ada orang seperti itu pernah hidup di dunia ini.” Pertanyaannya adalah adakah ajarannya masih relevan untuk masa kini?
Selama ini, kita mengenal Gandhi sebagai tokoh penggerak ahimsa dan satyagraha.
Kedua istilah itu kerap dibaurkan meski sebenarnya ada nuansa perbedaan. Ahimsa lebih merupakan perilaku untuk tak menjalankan atau menghindari tindak kekerasan, terutama terhadap makhluk hidup. Dan, Gandhi menerapkannya, khususnya dalam perjuangan politik
Sementara satyagraha lebih merupakan falsafah dan praktik untuk menjalankan prinsip-prinsip kebenaran. Bukan kebenaran tafsir manusia, melainkan lebih merupakan berserah terhadap kehendak Ilahi. Dalam satyagraha, tujuan dan cara itu adalah satu, keduanya tak boleh berlawanan. Tujuan mulia untuk memuliakan Allah tak boleh menghalalkan segala cara. Dan, salah satu prinsip satyagraha adalah ahimsa.
Pertanyaan lanjut, apakah ahimsa ataupun satyagraha tidak terlampau idealistis? Sebenarnya, jika menukik ke ajaran Gandhi, tidaklah demikian. Dalam keadaan nyawa terancam, kita berhak melakukan pembelaan diri, termasuk dengan menggunakan kekerasan.
Jika pilihannya terbatas antara kepengecutan dan kekerasan, Gandhi lebih memilih yang kedua untuk mempertahankan martabat bangsa. Namun, dalam banyak hal tersedia sejumlah pilihan dan tidak hanya terbatas pada dua hal itu.
Alhasil, Gandhi teguh berpendirian, pantang kekerasan itu jauh lebih unggul dibandingkan kekerasan; untuk sejumlah hal pengampunan lebih ksatria daripada penghukuman, sementara kekuatan sejati lahir terutama dari kemauan keras dan bukan dari kapasitas fisik.
Menempa diri
Jika dikaji riwayat hidupnya, sebenarnya Gandhi pada awal mula bukan orang istimewa. Ia canggung, pemalu, dan tidak menonjol dalam pelajaran di sekolah. Sepertinya tak ada bakat khusus yang melekat pada dirinya. Mula pertama menjadi pengacara di India, ia juga tak begitu berhasil.
Setelah menetap di Afrika Selatan, memperjuangkan hak-hak warga India di sana, ia berhasil menempa diri menjadi pribadi tangguh—sekuat granit—yang berkomitmen penuh pada nilai-nilai kebenaran dan pantang kekerasan. Dengan tekun belajar, rajin introspeksi disertai disiplin tinggi, ia mampu mengangkat diri sebagai pemimpin bermartabat yang berusaha menyatukan pikiran dengan perbuatan.
Agaknya, Gandhi adalah manusia paradoksal. Di satu pihak ia lemah lembut secara fisik dan pantang kekerasan, tetapi di pihak lain ia pribadi pantang menyerah, berani masuk keluar penjara. Ia suka merenung, menuangkan pikirannya dalam tulisan, yang jika dikumpulkan dapat mencapai 80 jilid, tetapi serentak dengan itu dia adalah manusia tindakan. Ia idealis, tetapi pada saat bersamaan memperhitungkan realitas medan untuk mencapai tujuan
Tujuh dosa sosial
Gandhi banyak melahirkan idiom-idiom yang membuat orang tercenung, seperti ”Anda mesti menjadi perubahan yang Anda ingin saksikan”. Atau, ”Ukuran kebesaran suatu negara harus didasarkan pada betapa pedulinya dia pada penduduknya yang paling rentan/lemah”.
Gandhi tak hanya bicara yang bagus-bagus, tetapi berdiri di garda depan membela kaum paria, kelompok paling rendah, untuk memperoleh status persamaan hak.
Namun, ungkapannya yang paling menggigit adalah: ”Kekayaan tanpa kerja”, ”Kenikmatan tanpa nurani”, ”Ilmu tanpa kemanusiaan”, ”Pengetahuan tanpa karakter”, ”Politik tanpa prinsip”, ”Bisnis tanpa moralitas”, dan ”Ibadah tanpa pengorbanan”. Ia menyebutnya sebagai tujuh dosa sosial yang mematikan.
Kalau kita melihat ke sekeliling, mencermati berbagai kejadian yang ditampilkan media atau menelisik ucapan atau gerak-gerik tokoh-tokoh (birokrasi, politik, bisnis, akademi), bandingkan perilaku mereka dengan ungkapan Gandhi. Sebagian tidak sama, tetapi sebagian lagi sepertinya punya kemiripan.
Dunia sepertinya sudah terbelah. Sebagian cukup besar masih mempunyai nurani, kemanusiaan, karakter, prinsip, moralitas, mau berkorban dan berkarya. Sebagian lainnya karena berbagai faktor, seperti kemudahan kesempatan, rayuan kedudukan, pengaruh uang, bujukan sekeliling, atau tuntutan dari atasan, menjadi bergeser posisinya.
Mula-mula bergerak ke wilayah abu-abu untuk kemudian beringsut mendekati zona bebas nilai. Yang penting adalah menjadi pemenang, satu-satunya parameter yang dikedepankan untuk menentramkan hati.
Gandhi sendiri seperti ditulis Richard Granier, Commentary, 1983, bukanlah orang suci, sempurna, tanpa punya kelemahan pribadi. Ia misalnya mempunyai hubungan kurang harmonis dengan istri dan anak-anaknya
Gandhi juga lebih sering dan lebih banyak dikelilingi sejumlah besar pengikut dan kurang mempunyai rekan sederajat. Namun, terlepas dari berbagai kekurangan, ia orang yang terus berusaha, dan ini yang membuat kita kagum kepadanya.
Agaknya, pada zaman kelabu ini, relevansi ajaran Gandhi menjadi bertambah kuat. Di tengah kebimbangan, dia dapat menjadi bintang petunjuk yang memberi arah yang tepat.
Indra Gunawan M Pemerhati Budaya Kepemimpinan
Kompas, Rabu, 30 September 2009 | 04:53 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04532851/belajar.dari..gandhi