Flu Babi dan Rusaknya Ekologi

Publik dunia dikejutkan hadirnya flu babi. Padahal, kecemasan akan flu burung belum benar-benar mereda. Kita belum bebas sepenuhnya dari berbagai virus atau bakteri lain, seperti HIV-Aids, ebola dsb.

Organisme supermini (nano) yang tak terlihat mata manusia seperti virus, bakteri, kuman, protozoa atau fungi, ternyata punya daya membahayakan, mendatangkan penyakit, penderitaan, bahkan merenggut nyawa.Tidak heran, beberapa mafia jahat sudah memanfaatkan senjata kuman sebagai modus operandi alternatif.

Komunitas dunia berpacu dengan waktu agar penyebaran flu babi bisa dilokalisasi di daerah asalnya : Meksiko. Sayang, dari Indonesia, muncul komentar yang mengecilkan daya destruktif flu babi. Menkes Siti Fadilah Supari mengatakan, virus flu babi (H1N1) tidak seganas virus flu burung (H5N1).

Data dari Meksiko, tingkat keganasan flu babi hanya 7,7 persen.Bandingkan dengan flu burung yang tingkat keganasannya 81 persen. Boleh jadi menkes ingin meredakan ketakutan publik, terlebih di tengah suhu politik Tanah Air yang sudah memanas.

Seorang ahli menyampaikan, flu babi 1000 kali lebih ganas daripada flu biasa. Bukti sudah berbicara, korban flu babi terus berjatuhan. Di Meksiko, 100 lebih korban meninggal. Daripada menganggap enteng, lebih baik kiranya punya antisipasi atau bereaksi bijak.

Flu babi disebabkan virus influenza A subtipe H1N1. Menular lewat binatang, terutama babi. Virus influenza H1N1 memang biasa diderita babi. Flu ini sejatinya merupakan penyakit pernapasan babi yang dipicu oleh virus influenza tipe A (H1N1), yang sering menyebabkan wabah influenza di babi, dengan angka kematian rendah.

Namun sejak awal April 2009, wabah flu babi tidak bisa disepelekan lagi. Penyakit ini mirip flu biasa atau musiman, dengan gejala demam, batuk pilek, lesu, letih dan nyeri. Cara penularannya melalui udara atau kontak langsung dengan penderita. Masa inkubasinya 3-5 hari. Bila dalam 5 hari, demam tidak turun, korban bisa meninggal.

Meski dikesankan “kurang ganas”, WHO wanti-wanti, agar tidak mengecilkan flu babi. WHO mengajak bercermin pada pandemi flu Hongkong tahun 1968, yang mengakibatkan kematian pada sekitar sejuta orang di seluruh dunia.

Maka bila Pemkot Surabaya sudah mengantisipasi flu babi dengan memeriksa setiap orang asing di Bandara Juanda, ini jelas respons yang bijak. Sebab, lalu lintas perpindahan orang di era globalisasi ini memang tinggi sekali. Kota-kota lain yang menjadi pintu masuk bagi orang asing ke Indonesia harus mau belajar dari Juanda yang kabarnya menambah petugas kesehatan yang siap selama 24 jam.

Temperatur atau peranti pengukur suhu tubuh dipasang atau disediakan di banyak tempat di bandara. Orang asing atau warga kita yang datang dari arah AS atau Meksiko atau pernah bertemu orang Meksiko dalam bulan April atau selama seminggu terakhir harus melewati karpet yang dibasahi cairan pembasmi hama.

Flu babi hanya salah satu contoh dari virus berbahaya. Dalam satu abad terakhir, para ahli medis atau penyakit kepayahan menghadapi ancaman beragam kuman atau virus, seperti flu babi atau flu burung. Dalam buku The Antibiotic Paradox, misalnya diinformasikan, munculnya virus atau kuman tidak lepas dari ulah manusia yang selama ini doyan menggunakan obat antibiotik atau antibakteri.

Dulu orang dengan bangga berkoar, ”Jangan khawatir, kita sekarang sudah punya antibiotik”. Tapi, Doktor Alexander Fleming, penemu penisilin memperingatkan ada kuman-kuman yang kebali antibiotik. Jelas, ini ancaman bagi kesehatan manusia. WHO juga terus mencari strategi tepat melawan ancaman kuman atau virus kebal.

Degradasi Ekologi

Sudah ada satu kesepakatan bersama lintas disiplin ilmu, baik di kalangan medis maupun ahli lingkungan, dalam kasus penyakit apapun, termasuk flu babi, semua ada kaitannya dengan ekologi atau lingkungan hidup yang mulai terdegradasi. Lingkungan hidup yang rusak, tercemar atau terdestruksi bisa menjadi ajang bagi berseminya segala macam kuman dan penyakit.
Sehat atau sakitnya kita, jelas sangat dipengaruhi seberapa baik atau buruk lingkungan hidup di mana kita tinggal. Perubahan iklim, yang dipicu pemanasan global, ikut mengubah kualitas lingkungan hidup di kutub. Virus atau kuman yang selama ini membeku di kedua Kutub sejak jutaan lalu, dalam satu abad terakhir, bisa berdaya lagi dan kemudian tersebar ke mana-mana.
Bukan hanya kondisi lingkungan hidup di Kutub saja yang berubah. Dari segenap penjuru dunia, tak henti-hentinya kita mendengar informasi seputar destruksi ekologi dengan mahluk paling berakal budi bernama manusia sebagai pelaku utama. Disadari atau tidak, kita tengah berada dalam krisis ekologi yang lebih hebat daripada ‘holocaust’.

Pada hakikatnya, adanya perubahan kondisi lingkungan akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan sangat mempengaruhi ekosistem. Destruksi atau perusakan lingkungan, seperti pencemaran udara, pencemaran air, dan menurunnya kualitas lingkungan akibat bencana alam, yakni banjir, longsor, kebakaran hutan, jelas mempengaruhi kesehatan kita (Lihat UU No 23 Tahun 1997).

Untuk mengantisipasi semakin menyebarnya virus flu babi, kita tidak cukup hanya dengan menjaga bandara agar tidak dimasuki orang AS atau Meksiko.Tetapi kita sendiri
perlu menjaga lingkungan di sekitar kita. Kalau kondisi lingkungan hidup kita buruk, maka jangankan virus flu babi, demam berdarah atau malaria saja bisa menjadi ancaman serius.

Jadi menjaga kualitas lingkungan yang sehat, yakni menciptakan kondisi lingkungan yang bebas dari penyakit tetap merupakan strategi atau antisipasi terbaik menghadapi ancaman penyakit apapun, termasuk flu babi.

Goei Tiong Ann Jr
Rohaniwan dan aktivis lingkungan

Sumber: Harian Surya, 2 Mei 2009
http://www.surya.co.id/2009/05/02/flu-babi-dan-rusaknya-ekologi.html

Flu Babi dan Rusaknya Ekologi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top