Memilih Pemimpin yang Merasakan Derita Rakyat

KESIBUKAN elite mencari sosok capres dan pasangannya yang ideal tak ayal ikut mempengaruhi cara berpikir masyarakat dewasa ini. Kendati bukan kesibukan yang sama antara elite dan masyarakat, namun tingkah polah elite yang demikian menjadi tontonan pendidikan politik untuk membuktikan sejauh mana elite menunjukkan sikap dewasa dalam berpolitik. Repotnya mencari figur kepemimpinan yang ideal menunjukkan sesuatu yang harus diakui sebagai sebuah krisis kepemimpinan. Dalam pengertian sederhana, krisis kepemimpinan menunjuk pada kondisi di mana suatu masyarakat sulit mencari sekaligus mempercayai figur-figur yang ditampilkan selama ini.

Pengalaman telah membuktikan bahwa kepemimpinan bangsa selama ini tidak bisa menyelesaikan krisis bangsa. Terutama karena ia dibentuk dan dilahirkan bukan melalui proses yang matang, melainkan instan. Pemimpin yang demikian sulit untuk menyelesaikan krisis masyarakat karena ia tak bisa empati pada penderitaan rakyat.

Pemimpin dilahirkan untuk merebut kekuasaan semata-mata, bukan untuk meraih tujuan semestinya: menciptakan kesejahteraan masyarakat. Ia hanya bisa memikirkan cara mengentaskan kemiskinan dari kursi empuk kekuasaan, dan tidak turun langsung merasakan bagaimana derita sengsara masyarakatnya. Diakui atau tidak, itulah gambaran pemimpin kita selama ini.

Krisis kepemimpinan juga ditunjukkan dengan minimnya pengakuan bersama seorang figur yang bisa dijadikan teladan. Kita tidak memiliki pemimpin nasional yang tindak tanduknya bisa dicontoh dan dijadikan teladan, yang kita miliki hanya pemimpin lokal, pemimpin suku, pemimpin golongan, pemimpin aliran dan sekte. Kita belum memiliki figur kepemimpinan nasional yang diakui bersama untuk melepaskan bangsa dari jurang krisis.

Terkecoh Figur

Untuk bisa keluar dari krisis, bangsa kita memang membutuhkan figur pemimpin nasional yang kuat, tegar, demokratis, dan yang pasti tidak suka mengeluh dalam upaya mengeluarkan rakyatnya dari krisis berkepanjangan. Kondisi sosial budaya bangsa kita harus diakui masih berada dalam situasi patron-klien di mana berlaku logika kekuatan dan kemampuan pemimpin yang masih dijadikan sebagai patokan apakah kita mampu keluar dari krisis atau tidak.

Seluruh pengalaman kehidupan berbangsa kita menunjukkan bahwa selama ini kita masih tergantung pada siapa pemimpinnya. Seluruh pengalaman itu menunjukkan bahwa warna kebangsaan kita amat ditentukan oleh corak kepemimpinan tersebut.
Masyarakat belum bisa mandiri dengan dirinya sendiri untuk memperbaiki kehidupannya,
karena urusan sistem yang diwarnai oleh corak kepemimpinan tersebut.

Maka tak mengherankan jika salah satu prasyarat Indonesia keluar dari krisis adalah siapa figur pemimpinnya. Namun demikian, kenyataan tersebut sekali lagi jangan digunakan untuk mengecoh publik dengan hanya menonjolkan figur yang seolah-olah besar dan kuat, tapi sejatinya tidak kuat menghadapi permasalahan bangsa. Sebab kalau kondisi seperti ini berlarut-larut, masyarakat akan terjebak lagi oleh figur yang seolah-olah memperjuangkan wong cilik, tapi kenyataannya justru semakin menistakannya.

Kondisi patron-klien yang menjadi ciri masyarakat kita hanya dimanfaatkan oleh para politisi untuk mengambil keuntungan dirinya sendiri. Justru bukan untuk menguraikan benang kusut patron-klien tersebut. Bukannya pemimpin sebagai suri teladan yang baik, tapi justru menjadi pemimpin semata-mata untuk berkuasa, bukan untuk mengentaskan penderitaan rakyat.
Ketika pemimpin hanya berpikir bagaimana berkuasa maka itulah tanda-tanda kita mau jatuh ke dalam jurang krisis kepemimpinan.

Ada kesan para elite kesulitan mencari figur terbaik di republik ini. Krisis kepemimpinan juga terjadi akibat penggeseran sebuah nilai kemanusiaan dan keadilan yang digantikan dengan uang alias modal untuk keserakahan dan keangkuhan. Mereka ingin berkuasa karena ingin uang – yang begitu kuat menguasai secara dominan seluruh ruang politik. Kalau sudah begitu maka politik tidak mampu lagi memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Uang Menjadi Segalanya

Uang menjadi segala-galanya dalam menentukan pilihan ke arah mana politik dijalankan. Siapa yang menjadi presiden dan wakil presiden tampaknya tidak bisa lepas dari pemegang otoritas uang. Uang mendikte agenda dari siapapun yang akan menjadi pemimpin di negeri ini. Realitas itu menggambarkan bahwa pemimpin kita tak sadar telah menciptakan jarak dengan rakyatnya. Pemimpin tidak mampu lagi menjadi penyambung lidah rakyat karena ia telah digantikan dengan kekuatan modal yang mendominasi keputusan yang dibuat.

Kondisi ini mencerminkan bahwa peradaban politik sudah hancur. Kehancuran peradaban politik disebabkan hilangnya akal budi dan keutamaan dalam berpolitik. Berpolitik identik dengan menumpuk kapital untuk memperbesar kepentingan modal untuk nanti berkuasa kembali dan memperbesar kepentingan bisnis yang searah dengan tujuan penguasa.

Kepentingan masyarakat luas? Tunggu dulu. Karena itu jangan heran kalau tiba-tiba sekolah-sekolah harus tergusur digantikan dengan mal. Rakyat-rakyat miskin semakin terpinggirkan dan tergusur dari akses-akses politik dan ekonomi. Hidup para petani dari hari ke hari semakin terpuruk dan tidak mempunyai daya tawar yang kuat terhadap ekonomi global. Buruh semakin teralienasi terhadap modal, sehingga mereka hanya menjadi alat produksi.

Kesuraman Indonesia ke depan seharusnya menjadikan cermin bagi para capres dan cawapres untuk mencari solusi bagaimana memulihkan Indonesia dari kehancuran. Sampai saat ini selain tontonan semu figur kepemimpinan nasional, kita belum melihat figur capres dan cawapres yang memiliki sense of crisis. Mereka sibuk dengan deal-deal politik tanpa agenda yang jelas untuk berpihak kepada masyarakat. Ini menandakan calon pemimpin tersebut tidak memiliki roh pembaruan yang bergerak menuju masa depan Indonesia yang memilik harga diri di mata internasional. Sejarah suram ini jangan terulang lagi dalam pemilihan pemimpin yang akan datang.

Rasanya tidak cukup bila kita semata-mata membutuhkan pemimpin yang kuat dan memberi rasa aman. Ini hanyalah mitos para satria yang sengaja diciptakan oleh mereka yang merindukan zaman normal (baca: zaman penjajahan). Kerinduan zaman normal hanyalah ilusi yang sengaja diciptakan oleh mereka yang memiliki agenda tersembunyi untuk mengembalikan Indonesia kepada masa lalu. Realitasnya sejarah akan terulang kembali, bila kesadaran masyarakat dibuai oleh janji-janji palsu. Inilah yang sekarang dipertontonkan oleh capres dan cawapres tanpa memiliki agenda yang jelas dalam membawa Indonesia ke depan.

Benny Susetyo Pr

Penulis adalah budayawan

http://sinarharapan.co.id/berita/0903/27/opi01.html

Memilih Pemimpin yang Merasakan Derita Rakyat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top