Memutus Rantai Kemiskinan

PELAJARILAH laut, sebelum laut memberi ”pelajaran” kepada kita. Cuaca buruk sepanjang musim angin barat sebenarnya hal biasa. Nelayan sudah terbiasa dan biasanya memanfaatkan musim itu untuk memperbaiki jaring atau perahu.

Persoalannya, cuaca buruk yang terjadi saat ini berlangsung lebih lama dan fluktuasinya sulit diprediksi nelayan. Oleh karena itu, sampai saat ini nelayan belum melaut lagi meski biasanya pada Februari mereka sudah melaut.

Kondisi ini membuat nelayan belum bisa gembira kendati pemerintah sudah menurunkan harga bahan bakar minyak. Mestinya, kebijakan ini melegakan karena 40-50 persen biaya operasional melaut untuk BBM.

Ujung dari situasi tersebut, untuk menutupi kebutuhan hidupnya, utang nelayan makin memuncak. Kemiskinan pun mengancam. Bagaimana rantai persoalan nelayan bisa diputus?

Ada tiga strategi mata pencarian yang bisa dilakukan. Pertama, mengembangkan strategi nafkah ganda agar nelayan tidak hanya bergantung pada hasil penangkapan.

Strategi ini dilakukan nelayan dengan tujuan berbeda. Nelayan lapisan atas melakukannya untuk akumulasi modal, sementara yang lapisan bawah hanya agar dapat bertahan hidup. Oleh karena itu, penguatan dan pengembangan strategi nafkah ganda nelayan lapisan bawahlah yang harus dilakukan.

Untuk itu, perlu dua macam strategi nafkah ganda, yakni perikanan dan nonperikanan. Kegiatan alternatif perikanan adalah usaha budidaya, pengolahan ikan tradisional, dan bakul ikan. Di sini, istri nelayan berperan besar, khususnya dalam pengolahan dan bakul ikan.

Selain itu, budidaya laut maupun air tawar perlu didorong karena potensinya sangat besar. Namun, mengubah nelayan menjadi pembudidaya ikan bukan hal mudah.

Kedua,  mendorong ke arah laut lepas. Problemnya tidak semata teknologi, tetapi juga modal dan budaya. Banyak program bantuan pemerintah untuk ini gagal karena variabel yang dipertimbangkan hanya teknologi. Padahal, menangkap ikan di laut lepas sangat kompleks, mencakup manajemen usaha, organisasi produksi, perbekalan, ketahanan fisik, pemahaman perilaku ikan, pengoperasian kapal, jaring, dan sebagainya.

Ketiga, mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk mengantisipasi variasi musim. Diversifikasi alat tangkap memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun, kecuali saat musim angin barat.

Untuk ketiga strategi mata pencarian itu perlu strategi permodalan yang khusus, sesuai siklus usaha nelayan.

Sebenarnya, kita patut berterima kasih kepada tengkulak, punggawa, atau toke, yang saat paceklik berperan penting menyelamatkan rumah tangga nelayan. Kegiatan penangkapan penuh ketidakpastian dan institusi patron-klien antara toke dan nelayan mampu mengatasi ketidakpastian itu. Sulit bagi nelayan lepas dari ikatan itu selama kita tidak mampu menciptakan institusi baru yang lebih baik.

Nelayan butuh uang kontan dengan prosedur mudah dan fleksibilitas tinggi, termasuk waktu dan besaran pembayaran yang sesuai dengan karakteristik usaha nelayan. Bunga pinjaman bukan variabel terpenting bagi nelayan meski bunga rendah tentu lebih baik.

Kredit usaha rakyat (KUR) yang diagung-agungkan pemerintah kenyataannya sangat kaku dan sulit diterima nelayan. KUR terperangkap pada aturan bank pelaksana. Yang paling memungkinkan adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) karena relatif independen sehingga bisa fleksibel dalam mekanisme pinjaman.

LKM sebenarnya dikembangkan pemerintah sejak 2004 di 255 kabupaten/kota. Namun, sejak 2008 dihentikan, diganti KUR dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.

Bisa meniadakan LKM

Ada kekhawatiran, program baru itu bisa meniadakan LKM yang sebenarnya diinisiasi oleh pemerintah juga.

Selain dananya kecil, PNPM belum menyentuh semua kabupaten/kota pesisir. Mekanisme dana bergulir ala PNPM yang diusulkan Kantor Menko Kesra bertentangan dengan aturan Menteri Keuangan. Sistem administrasinya pun rumit.

Strategi mata pencarian dan strategi permodalan itu sangat bergantung pada strategi makro. Sejauh mana sektor perikanan dan kelautan mendapat tempat dalam kebijakan strategis nasional. Kelautan dan perikanan belum menjadi pertimbangan penting dalam kebijakan strategis nasional.

Saat mendesain KUR, misalnya, sektor ini tidak masuk dalam pertimbangan. Dalam kenaikan harga BBM, sektor ini juga tidak dipikirkan dampaknya meski nelayan jadi korban utamanya.

Dalam stimulus fiskal yang diluncurkan pemerintah, dari Rp 71,3 triliun, alokasi untuk pedesaan hanya Rp 1,05 triliun, atau sekitar 1,4 persen. Untuk desa pesisir tentu tak lebih dari 0,7 persen.

Padahal saat nelayan menderita, stimulus fiskal bisa untuk menggerakkan ekonomi perikanan rakyat. Gambaran ini menegaskan, kebijakan pemerintah masih bias kota dan darat. Mungkinkah pasca-Pemilu 2009 bisa membalikkan keadaan sehingga sektor ini tidak marjinal lagi?

Arif Satria, Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/20/00555223/memutus.rantai.kemiskinan

Memutus Rantai Kemiskinan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top