Satu nusa/satu bangsa/satu bahasa kita/tanah air/pasti jaya/untuk selama-lamanya/Indonesia pusaka/Indonesia tercinta/Nusa bangsa/dan bahasa/kita bela bersama
Dengan bersemangat, 25 siswa sekolah hutan itu menyanyikan ”Satu Nusa Satu Bangsa”. Kepuasan segera terlihat di wajah siswa di Sangong, Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, itu saat berhasil menyanyikan lagu karya Liberty Manik tersebut hingga selesai.
”Baru satu bulan ini mereka bisa menyanyikan lagu tersebut. Sementara baru sebatas mampu menghafal syair dan belum mengerti maknanya,” ucap Suendi (24), pemuda Dusun Salappak, Siberut Selatan, yang mengajarkan lagu itu.
Suendi memakai lagu ”Satu Nusa Satu Bangsa” sebagai salah satu media mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah hutan. Semua murid di sekolah yang menempati salah satu ruangan rumah panggung Mentawai milik Aman Sabba itu dikumpulkan di satu ruangan meski umur mereka amat beragam, dari tujuh hingga belasan tahun.
Meski dari sisi umur sebagian siswa sekolah itu sudah layak lulus sekolah dasar (SD), mereka umumnya masih sulit berbahasa Indonesia, juga menulis dan berhitung. Dengan demikian, materi harus diajarkan dalam bahasa Mentawai. Kesulitan memahami bahasa Indonesia membuat anak-anak tidak mudah bercakap dengan pendatang atau membaca buku sehingga pengetahuan dari luar sedikit sekali terserap.
Kondisi ini terjadi karena bahasa Mentawai menjadi satu-satunya bahasa di lingkungan mereka. Sementara pendidikan formal, meski hanya setingkat SD, menjadi hal mahal. SD terdekat dari Sangong ada di Dusun Saliguma yang berjarak sekitar 12 kilometer atau tiga jam perjalanan kaki dengan menembus hutan dan bukit.
Ketiadaan sekolah formal membuat sekolah hutan yang didirikan lembaga swadaya masyarakat Yayasan Citra Mandiri sejak setahun lalu itu langsung disambut gembira warga Sangong. Begitu haus akan pendidikan, kini ada dua kelompok masyarakat tetangga Sangong yang berebut agar sekolah hutan diadakan di dekat daerah mereka.
Keterbatasan fasilitas pendidikan bukanlah satu-satunya persoalan di pelosok Siberut itu. Pelayanan kesehatan juga tidak ada di Sangong. Sejak tahun 2007 memang telah ada sebuah puskesmas di Siberut Selatan dengan 2 dokter, 21 perawat, dan 5 bidan. Namun, sampai sekarang tidak satu pun tenaga medis itu yang ada di Sangong. Akibatnya, pengetahuan dan kualitas kesehatan warga dusun tersebut sangat minim.
”Ini kehamilan saya ke-11. Sebenarnya saya sudah capek hamil. Tapi, bagaimana caranya agar tidak hamil?” tanya Bai Seggeilolo, warga Sangong, yang tengah mengandung delapan bulan. Anak nomor 10 Bai Seggeilolo berusia sekitar 1 tahun, seusia dengan cucu dari putra pertama Bai Seggeilolo.
Sementara Bai Jetti, tetangga Bai Seggeilolo, hamil ke-10 kalinya lantaran sang suami masih mengharapkan tambahan anak laki-laki yang akan menjadi pewaris harta keluarga Mentawai. Dari sembilan kehamilannya terdahulu, Bai Jetti mendapatkan dua anak laki-laki, tiga perempuan, dua meninggal semasa balita, dan dua kali keguguran.
Minimnya fasilitas di Sangong seiring dengan sulitnya mencapai daerah itu. Sangong hanya dapat dicapai dengan naik pompong—perahu yang dibuat dari batang pohon meranti utuh dan digerakkan mesin berkekuatan 5 PK—menyusuri sungai sekitar enam jam perjalanan dari Muara Siberut, ibu kota Kecamatan Siberut Selatan. Bila mencarter pompong, tarifnya sekitar Rp 400.000 sekali jalan.
Hidup berat
Muara Siberut terletak 146 kilometer dari Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Perjalanan ke Muara Siberut bisa dicapai dengan kapal motor selama 10-12 jam perjalanan melintasi Selat Mentawai. Kapal hanya berlayar dua kali seminggu dari Padang dengan tarif Rp 65.000-Rp 125.000 per orang.
Mahalnya biaya transportasi membuat fasilitas umum di Siberut—apalagi di pelosok—semakin tertinggal. Harga barang kebutuhan pun melambung tinggi. Jika di Padang harga gula pasir berkisar Rp 8.000 per kilogram, di Desa Mentawai harganya Rp 9.000 per kilogram. Sementara jika harga premium di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum Rp 4.500 per liter, di Desa Madobag—sekitar empat jam perjalanan dengan pompong dari Muara Siberut—harganya menjadi Rp 9.000 per liter.
Sebaliknya, hasil bumi di desa seperti Madobag sulit dijual di daerah lain. ”Jika sedang panen durian, banyak buah yang kami biarkan jatuh lalu dimakan babi. Sebab, jika dibawa ke Muara Siberut, ongkos angkutnya tidak dapat ditutup dengan harga jual,” kata Kepala SD Madobag Marinus Arosokhi (45).
Bila biaya hidup tinggi, hasil alam yang dikelola masyarakat harganya cenderung rendah. Harga minyak nilam, misalnya, berfluktuasi dari Rp 260.000 hingga Rp 1,2 juta per kilogram. Masyarakat di pedalaman Siberut harus menjual minyak nilam ini ke pengepul di Muara Siberut. Untuk membawanya dibutuhkan biaya transpor mahal karena harus membeli bensin hingga 20 liter untuk pergi-pulang. Dengan harga bensin sampai Rp 9.000 per liter, biaya transpor mahal dari hulu ke muara membuat nilai tukar minyak nilam rendah.
Setiap keluarga membawa sendiri hasil pertanian yang akan mereka jual. Uang hasil penjualan segera dibelikan aneka kebutuhan yang tidak bisa dihasilkan oleh alam, seperti gula, teh, minyak tanah untuk bahan bakar lampu petromaks, sampai bensin.
Ekonomi Siberut yang asimetris, yaitu membeli mahal dan menjual murah, ini masih diperparah oleh minimnya prasarana publik. Aliran listrik belum ada. Jika ingin menikmati cahaya listrik dan siaran televisi, warga harus punya diesel. Sinyal telepon seluler juga belum menjangkau semua desa. ”Kalau ingin telepon, perlu naik dahulu di bukit atau naik pompong, turun hingga mendekati Muara Siberut,” ujar Marinus.
Begitu pula dengan akses jalan yang umumnya masih berupa jalan setapak yang licin dan berlumpur bila hujan. Jembatan-jembatan masih banyak yang dibuat dari batang pohon. Kerap kali anak-anak tidak bisa pergi ke sekolah kalau hujan lebat karena jalan terlampau becek dan batang pohon yang menjadi jembatan sudah hanyut terbawa air.
Kondisi ini, lanjut Marinus, membuat berkarya di daerah seperti Madobag tidaklah ringan. Tiga dari 11 guru di SD Madobag yang didatangkan dari Padang terpaksa berpisah dari keluarga dan menumpang tidur di rumah Marinus. Beban kerja pun tak ringan karena mendidik 226 murid.
”Namun, kami tidak boleh mengeluhkan kondisi (yang berat) ini. Sebagai pegawai, kami telah berjanji kepada negara, bersedia ditempatkan di mana saja di Indonesia, termasuk di Siberut,” kata Marinus.
Beban yang harus ditanggung Marinus dan warga Siberut pada umumnya adalah risiko yang harus mereka tanggung sebagai warga negara Indonesia.
Namun, jika kehadiran pemerintah—apa benar hadir?—sama sekali tidak memperbaiki kesejahteraan rakyatnya, sudah saatnya mereka mempertanyakan makna kemerdekaan dan seluruh usaha berbangsa tadi….
(Agnes Rita Sulistyawaty dan M Hernowo)
Sumber: Kompas, Selasa, 11 Agustus 2009 | 03:04 WIB
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/11/03045439/satu.nusa.satu.bangsa..di.pedalaman.siberut