Trafficking Cermin Bangsa Indonesia

“Koran Sindo (15/03/08) merilis berita ‘pengamanan’ satu dari enam korban korban perdagangan manusia (trafficking in persons) untuk mendapatkan perawatan medis di RS Paru-Paru batu. Empat lainnya sudah dipulangkan ke rumah masing-masing (tanpa penyebutan daerah asalnya) dan satu orang lagi ditampung di rumah salah satu pejabat Kota Batu. Dari berita itu, akhirnya Ketua Tim Penggerak PKK Kota Batu dan Ketua Women Crisis Center, Sri Wahyuni bersepakat mendesak Pemerintah Kota Batu untuk segera mendirikan lembaga Komisi Perlindungan Anak dan Perempuan (KPPA) di Kota Batu. Permasalahan trafiking memang sedemikian akut di Indonesia.

Menurut data www.detik.surabaya.com, sepanjang tahun 2007 lebih dari 1000 perempuan warga perkampungan nelayan di Jawa timur menjadi korban trafiking. Data ini berasal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita Universitas Airlangga Surabaya yang dikatakan oleh Are Prasetyo, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia. Para korban ini berasal dari sepanjang pesisir utara Jawa Timur mulai Pasuruan hingga Situbondo.

Senada di atas, situs resmi Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang disampaikan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Provinsi Jatim H Soenyono SH MSi, Jatim merupakan pengirim, transit, dan penerima yang cukup besar sehingga sangat rentan terhadap permasalahan trafiking perempuan dan anak. Bahkan dari data ILO terdapat 14 kabupaten/ kota yang diidentifikasi sebagai daerah pengirim di antaranya Kabupaten Malang, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek. Apa sebenarnya trafiking itu? Mengapa fenomena ini menjadi menggemparkan?

Sebagai bentuk pentingnya hal ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2000 mengeluarkan Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafiking terhadap Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak-anak, Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara).

Dokumen ini memuat penjelasan mengenai trafiking yang mengacu pada trafficking in persons/perdagangan orang dalam Pasal 3 sebagai: “the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs” (rekrutmen, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh).

Untuk menentukan definisi di atas sebagai bagian kejahatan trafiking adalah paling tidak memenuhi salah satu syarat yakni melalui pertama melalui proses/perbuatannya yakni rekrutmen, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan. Atau kedua lewat cara-cara yang digunakan yakni dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, dan ketiga dengan melihat tujuannya yakni untuk mengeksploitasi, yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh.

Sedangkan Menurut www.stoptrafiking.or.id, trafiking seringkali terjadi pada perempuan dan anak-anak dalam bentuk antara lain kerja paksa seks dan eksploitasi seks, baik di luar maupun di wilayah Indonesia; Pembantu rumah tangga, baik di luar maupun di wilayah Indonesia; bentuk lain dari kerja migran, baik di luar maupun di wilayah Indonesia; Penari, penghibur, dan pertukaran budaya, terutama di luar negeri; Pengantin pesanan, terutama di luar negeri, beberapa bentuk buruh/pekerja anak, terutama di Indonesia, penjualan bayi, baik di luar maupun di wilayah Indonesia. Sementara penyebabnya, dalam situs yang sama disebutkan karena banyak faktor antara lain kemiskinan, kurangnya kesadaran calon migran tentang bahaya jebakan trafiking, rendahnya tingkat pendidikan, beberapa faktor budaya yang turut berkontribusi seperti peran perempuan dan anak dalam keluarga, serta hebatnya korupsi dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

Lalu seberapa besar trafiking di Indonesia sehingga Indonesia konon dinobatkan menjadi negara terbesar kedua penyedia jasa bahkan penerima hasilnya? Khususnya di Jawa Timur, apa dan bagaimana trafiking terjadi? Bagaimana sikap pemerintah daerah Malang Raya mengatasi trafiking karena Kabupaten Malang menurut ILO merupakan salah satu pemasok terbesar TKI dari Jawa Timur? Dan, pemberitaan Sindo di atas menjadikan Kota Batu (daerah Songgoriti) disinyalir menjadi tempat transit trafiking ke daerah Malang Raya dan sekitarnya. Selama ini bagaimana penanganan paska menjadi korban, bagaimana sebaiknya pemerintah memfasilitasi mereka kembali serta bagaimana masyarakat menyikapi hal ini?

Trafficking Cermin Bangsa Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top