Berebut Kuasa Atas Ludruk

ngisor nongko, ono gemake
ngakune joko, limo anake

PARIKAN seperti di atas adalah sebuah kekhasan yang dipunyai oleh LUDRUK, yang (pernah) menjadi kesenian rakyat paling populer di Jawa Timur. Poerwadarminta (1982) menyebutkan bahwa ludruk adalah tledhek dan badut/pelawak atau pertunjukan sandiwara yang dilakukan dengan cara menari dan menyanyi.

Sebagai sebuah genre kesenian, ludruk memiliki elemen-elemen penting dan spesifik, yaitu tari ngremo dan kidungan, dagelan, dan cerita. Ketiga elemen tersebut merupakan elemen-elemen yang tak terpisahkan dari pementasan ludruk. Ngremo merupakan tarian khas Jawa Timur yang dapat diartikan sebagai tari kepahlawanan, sedangkan kidung merupakan nyanyian berbentuk puisi lirik diiringi gamelan khas Jawa yang dibawakan oleh penyanyi pria atau wanita. Kidung ludruk terdiri atas dua bentuk, yaitu syair dan pantun, serta cerita ludruk ditengarai bersumber dari legenda, sejarah, mite, babad, dan cerita-cerita keseharian di masyarakat.Ludruk lahir sebagai sebuah kesenian anti kemapanan dalam suatu struktur masyarakat Jawa Timur feodal dengan corak kekuasaan yang scandalous dan korup. Dalam dominasi corak kekuasaan tersebut, alih-alih melakukan gerakan perlawanan frontal di titik ekstrem, ataupun bersikap masokistik di sisi yang lain, masyarakat lantas menemukan bentuk sindiran (pasemon) sebagai pintu artikulasi yang populer dalam hal kritik dan kontrol kebijakan penguasa saat itu yang dipraktikkan dengan ludruk sebagai medianya, dengan parikan sebagai pisau yang secara tajam mblejeti kebejatan-kebejatan moral sosial politik penguasa.

Sungguhpun tidak sanggup merubah praktik-praktik skandal dalam kekuasaan secara menyeluruh, Ludruk dianggap layak sebagai representasi kebudayaan dalam sosiologi masyarakat yang tertindas oleh budaya feodal. Karenanya, masyarakat yang menganggap segala emosi dan dirinya tercermin dalam ludruk menjadikan kesenian ini sebagai tontonan wajib untuk mengisi ruang refleksi dan kontemplasi diri, sekaligus sebagai media partisipasi publik dalam melakukan gerakan protes dan kritik sosial terhadap penguasa dengan etika dan estetika yang terukur.

Yang menarik, parodi ini ternyata tidak tersentuh oleh tangan besi kekuasaan keraton yang sebenarnya cukup sadar bahwa ada sebuah budaya baru sebagai reaksi terhadap praktik politik culas mereka. Padahal, dalam corak kebudayaan yang istanasentris, bukan hal sulit untuk memberangus kebudayaan arus bawah semacam ini. Entah mengapa, hal tersebut tidak dilakukan. Barangkali, kritik-kritik subtil dan pesan-pesan yang menyentuh sublimasi kemanusiaan dan sosial masyarakat yang menyebabkan kesenian ini tak tersentuh, sehingga penguasa pun barangkali menjadikan ludrukan sebagai media lelucon untuk menertawakan diri mereka sendiri. (Atau barangkali menertawakan ketidakberdayaan masyarakat menghadapi mereka?).

Sejak jaman dulu, kata Rendra dalam buku “Mempertimbangkan Tradisi” (1984), belum pernah ada raja yang melarang Ludruk atau dagelan, meskipun dalam Ludruk dan dagelan apa saja boleh diucapkan: yang kotor, yang kasar, segala macam kritikan, dan segala macam ejekan. Tidak pernah ada raja dalam wayang yang menjadi marah karena kritikan yang kasar dari Petruk. Demikian pula tak pernah ada lurah, bupati, atau raja yang menjadi marah karena dikritik dengan pedas di dalam Ludruk atau dagelan. Sebab, kalau mereka marah karena kejadian semacam itu, maka rakyat menganggapnya mempunyai roso-risi — digerakkan oleh rasa bersalah, serta bersifat daksura, dan diam-diam rakyat akan menilainya rendah, dan lama-lama mungkin saja membencinya dalam hati. Ludruk mampu menjadikan pertunjukannya sebagai arena pengadilan rakyat simbolik untuk mem-persona non grata-kan figur penguasa yang dianggap tidak memihak masyarakat.

Namun demikian, bukan berarti ludruk bersih dari politik kepentingan yang menggunakan ludruk -terutama dalam kidungannya- sebagai media politisasi. Fenomena Cak Durasim yang menjadi tawanan politik Jepang menjadi fakta sejarah yang mencatat bagaimana efektivitas ludruk sebagai sebuah media perlawanan, juga dari kenyataan-kenyataan yang tercatat sebelumnya. Hal ini menampakkan ludruk sebagai medan kontestasi kepentingan yang harus dikuasai, yang dengan demikian akhirnya ludruk sangat jarang untuk dapat menjadi “dirinya” sendiri, sebagai teater milik rakyat sekaligus juru bicara rakyat atas problem-problem sosial-kebudayaan yang ingin mereka suarakan.

Berebut Memiliki Ludruk

Kesenian, sebagai sebuah produk kebudayaan, tak bisa dipisahkan dengan produksi-produksi simbol. Begitu pula halnya dengan politik, simbol merupakan dasar pemaknaan dimana kekuasaan akan mendapatkan legitimasi moral maupun intelektualnya. Karenanya, kesenian menjadi pertarungan yang selalu langgeng.

Entitas kesenian ludruk yang berawal dari Lerok di Jombang sebagai cikal bakalnya, telah menjadi komoditas kepentingan sejak mana ludruk dibesarkan oleh kalangan agamawan. Pengamen Lerok yang secara individual menjajakan aksi jalanannya kemudian mengalami modernisasi plus religiusisasi ketika kemudian “dipermak” dengan menambahkan sosok Man Jamino dan Rusmini atau Asmunah dalam Ludruk Besutan. Sosok Besut kemudian menjadi sosok yang sangat religius dengan didampingi Man Jamino. Pesan-pesan moral kemudian merajalela, melebihi spirit survivalitas, sisi hiburan dan kritik-kritik serta perlawanan terhadap kekuasaan yang sejak semula menjadi semangat lahirnya Ludruk.

Lihatlah bagaimana perubahan penampilan Besut. Dari pakaian jelata dan kesederhanaan seniman pertunjukan keliling Lerok, Besut kemudian dirias sesuai dengan paradigma agama tentang religiusitas dan kesucian hati, dengan pakaian putih –semacam kain ihram haji– dan Kopiah Turki serta kesantunan dan etik moral sesuai pandangan keagamaan.

Tidak berhenti sampai di situ, ketika modernisasi lebih lanjut dialami oleh ludruk, adegan-adegan tambahan dan alat-alat pertunjukan pun kemudian menjadi media diaspora kepentingan kekuasaan kebangsawanan. Ditambahkanlah adegan Tari Ngremo sebagai tarian pembuka dalam ludruk yang mengetengahkan kisah kepahlawanan yang dikemas sebagai gambaran keberanian seorang pangeran (bangsawan). Penarinya menggunakan jenis kostum Sawunggaling gaya Suroboyoan yang terdiri dari bagian atas hitam yang menghadirkan pakaian abad XVIII, celana bludru hitam dengan hiasan emas dan batik. Di pinggang sang penari ada sebuah sabuk dan keris. Di paha kanan ada selendang menggantung sampai ke mata kaki. Tarian itu diiringi dengan musik gamelan dalam suatu gending yang terdiri dari bonang, saron, gambang, gender, slenthem, siter, seruling, ketuk, kenong, kempul dan gong serta irama slendro, yang kesemuanya merupakan ciri-ciri khas kesenian produk lingkungan keraton.

Tanpa bermaksud menyangkal, Henricus Supriyanto, seorang seniman ludruk asal Malang memberikan penafsiran tentang adanya Ngremo dalam ludruk yang telah dimodernisasi. “Perwatakan ksatria dalam Tari Ngremo mungkin bisa diartikan seperti itu. Akan tetapi, yang sebenarnya ingin diambil oleh seniman ludruk adalah nilai-nilai patriotisme, bukan bungkusnya.”

Kebudayaan kelas agamawan turut memainkan dominasinya ketika diharamkan tampilnya perempuan dalam pertunjukan ludruk. Dalam periode ini, seluruh pemain ludruk adalah laki-laki, dengan diharamkannya perempuan tampil dalam pertunjukan di depan publik. Peran perempuan pun dimainkan oleh laki-laki. Dari sini kemudian lahir kelompok waria sebagai pemain ludruk, sesuatu yang sesungguhnya juga dihindari oleh kaum agamawan.

Dalam ranah politik, kebudayaan merupakan alat kekuasaan yang sangat efektif. Ketertarikan masyarakat terhadap seni dan kebudayaan merupakan media agitasi dan propaganda politik yang terbukti sangat berhasil.

Sejarah PKI dengan Lembaga Kebudayaan rakyat (LEKRA) merupakan fakta sejarah yang meyakinkan betapa mobilisasi kekuatan politik sangat efektif jika dilakukan melalui pintu kebudayaan. Dalam sebuah diskusi di Forum Diskusi Bulan Purnama Jakarta, Oey Hay Djoen, mantan anggota Sekretariat Pusat LEKRA, menuturkan:

“Kalau anda ingat, ada orang-orang tua yang tahu persis kalau kampanye pemilihan umum tidak ada satu partai pun yang mengadakan kesenian di atas panggung untuk memberi warna kultural. Nah, setiap kali PKI mengadakan kampanye, mereka bekerja menghias dan menjadikan kampanye itu sebagai pesta rakyat. Nah, yang bergerak di sana waktu itu adalah seniman-seniman. Ya ada ketoprak, ludruk, Pelukis Rakjat dan sebagainya. Mereka membuat kampanye itu menjadi pesta rakyat. Mereka datang dengan reyog, pisang dan sebagainya. Panggungnya dibikin oleh teman-teman pelukis. Orang Manikebu mulai sadar waktu pemilu, “Kok dengan kebudayaan bisa meraih simpati rakyat begitu banyak?”

Pada masa Orde Baru berkuasa, tak urung ludruk pun menjadi corong kepentingan pemerintah, mulai dari sosialisasi pembangunan, Program KB, transmigrasi, pariwisata dan semacamnya. Atau yang paling tidak nampak, etos kepahlawanan dan nasionalisme yang ditonjolkan dengan maksud untuk mensosialisasikan perilaku ketaatan tanpa syarat kepada negara, atau demi alasan stabilitas negara.

Meskipun demikian, menurut Bagio, seorang pengamat kesenian ludruk, sesungguhnya yang menjadi orientasi para seniman ludruk bukan semata-mata pada pembangunan sebagai satu tematik atau bahkan membawakan pesan-pesan sponsor pemerintah. “Ketidakberdayaan seniman ludruk dalam menghadapi ketatnya kontrol pemerintah serta kebutuhan untuk tetap survive mengharuskan para seniman ludruk kala itu harus dapat menyiasati kemauan pemerintah. Maka, tema-tema pembangunan kemudian menjadi bungkus untuk menyampaikan nilai-nilai, sehingga tidak semata-mata menjadi corong program pemerintah.”

“Apalagi, pasca Peristiwa 1965, demi menghilangkan pengaruh LEKRA, semua seniman, termasuk seniman ludruk, dibina secara intensif oleh ABRI. Tak pelak, ketergantungan seniman ludruk kepada pemerintah tak bisa dihindarkan,” imbuhnya. “Pada periode ini muncullah kelompok-kelompok ludruk yang diorganisir oleh ABRI.”

Ludruk dengan Kuasa Modernitas: Sebuah Wajah yang Terbelah

Iklim reformasi pasca ambruknya kekuasaan Orde Baru ternyata tak juga membawa angin segar kepada nasib kesenian ludruk, hal mana dialami pula oleh mayoritas kesenian tradisional. Ibaratnya, hidup segan mati pun tak mau. “Ludruk merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional yang menjadi korban perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis tontonan dan hiburan,” kata Dr Ayu Sutarto SS, MA, staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember dalam sarasehan dan pelatihan sandiwara ludruk se-Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), Bulan Mei lalu di Surabaya.

Ketergantungan ludruk (sengaja dibuat bergantung) pada pemerintah di masa rezim ORBA membuahkan berkurangnya kemampuan adaptasi seniman ludruk terhadap perkembangan jaman. Tingkat ketertarikan terhadap ludruk semakin lama semakin menurun drastis. Regenerasipun mengalami kemacetan karena kurangnya minat untuk menjadi pewaris aktif kesenian ini.

Dalam situasi seperti itu tidak ada pilihan lain selain melakukan kolaborasi dengan nilai-nilai dan simbol-simbol modernitas serta menggunakan media-media yang dekat dengan gaya hidup modern. Diantaranya, adalah media televisi. Maka, kemudian dapat disaksikan taburan pertunjukan ludruk di stasiun-stasiun televisi seperti Ludruk Tjap Toegoe Pahlawan, Ludruk Glamor, Ludruk Hoki, Bintang Timur dan sebagainya.

Menyimak tayangan ludruk-ludruk di atas seperti melihat ludruk yang sedang berganti wajah. Diakui oleh Kirun bahwa tayangan-tayangan “mengatasnamakan” ludruk di stasiun-stasiun televisi tersebut sesungguhnya adalah lawak yang dibungkus dengan ludruk, alias menghumorkan ludruk karena seluruh isi tayangan justru berupa humor, tak jauh beda dengan Jula-Juli Guyonan yang dipopulerkan oleh Kartolo cs. Tema-tema yang diangkat pun menjadikan spirit awal ludruk hilang tak berbekas. “Terus terang, hal itu memang diilhami oleh kesuksesan tayangan Ketoprak Humor” lanjutnya dalam Harian Suara Merdeka 11 April 2003.

Hal senada juga diungkapkan oleh Henricus. Menyuarakan kekecewaan atas tampilan “ludruk kontemporer” akhir-akhir ini, dia menyorot munculnya teater-teater modern yang di-gamelan-i. “Saya melihat pakem ludruk sudah hilang. Bahkan spirit perlawanan dan kritik sosial sudah hilang dari ludruk. Kalau masyarakat tidak jeli, bisa-bisa mereka menganggap seperti itulah ludruk. Padahal bukan”, terangnya menyuarakan kegelisahannya.

Maka, siapapun yang mendambakan kehadiran ludruk dengan keasliannya harus bersiap-siap untuk kecewa. Perubahan-perubahan terhadap ludruk menjadikan ludruk selalu menjadi milik orang lain, tidak lagi menyuarakan kepentingan masyarakat kebanyakan. Ludruk sebagai teater rakyat yang sesungguhnya, selamat tinggal.

oleh: Paring waluyo
Sumber: Arsip Averroes

Berebut Kuasa Atas Ludruk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top