Pemilu, Iresponsibilitas, dan Kerahasiaan

Benarkah compang-campingnya proses persiapan pemilu semata-mata kesalahan dan kelemahan KPU?

Sejauh ini, KPU sepertinya sendirian menjadi sasaran kejengkelan terhadap amburadulnya persiapan pemilu. Kita seperti lupa bahwa KPU sendiri sesungguhnya merupakan produk sebuah proses politik yang notabene dideterminasi oleh penilaian dan keputusan para politisi dan fraksi-fraksi di DPR.

Dengan demikian, unsur-unsur parlemen ini sesungguhnya juga berkontribusi terhadap amburadulnya proses persiapan pemilu. Mereka juga harus bertanggung jawab.

Namun, entah mengapa, publik cenderung beranggapan tanggung jawab DPR berhenti ketika suatu kebijakan diputuskan. Bagaimana kebijakan itu selanjutnya berdampak terhadap kemaslahatan publik, jarang dilihat sebagai tanggung jawab moral para wakil rakyat. Banyaknya produk kebijakan yang kontroversial, tidak efektif, dan hanya menambah beban kerja Mahkamah Konstitusi karena diujimaterialkan, belum sepenuhnya digunakan untuk mengevaluasi unsur-unsur parlemen.

Akibatnya, KPU pun sendirian menjadi public enemy. Sementara parpol dan politisi yang turut membidani KPU, lenggang kangkung berkampanye politik, tanpa turut menanggung kesalahan, bahkan tanpa malu-malu turut menghakimi KPU.

Rezim kerahasiaan

Persoalan yang muncul di sini adalah sulit untuk menentukan siapakah subyek individual dari proses pengambilan kebijakan karena kerja DPR dan parpol notabene mencerminkan beroperasinya suatu rezim kerahasiaan (the secret group). Proses legislasi dan rekrutmen pemangku jabatan strategis seperti KPU pada akhirnya berujung pada keputusan atau kesepakatan yang rahasia. Mengutip Georg Simmel, ”the most important part of legislative activity is hidden from the public.” DPR boleh mengklaim akomodatif terhadap aspirasi masyarakat, tetapi momentum terpenting penentuan keputusan politik umumnya tetap dilakukan secara tertutup bagi publik. Transaksi politik penentuan komposisi anggota KPU dan lembaga sejenis dilakukan secara eksklusif. Publik tidak pernah tahu apa saja yang ditransaksikan dan siapa yang terlibat.

Di mana beroperasi rezim kerahasiaan, di sana terjadi deindividualisasi (de-selfing) dan iresponsibilitas (irresponsibility).

Deindividualisasi didefinisikan Simmel sebagai luruhnya identitas subyektif-personal ketika individu lebur dalam identitas kolektif. Seperti ketika terjadi kontroversi kebijakan, DPR dan parpol selalu menghindari personifikasi sistem atau representasi individual. Para politisi sulit dikenali sebagai individu yang telah bertindak otonom dan partikular dalam perumusan kebijakan karena mereka berlindung dalam jubah kolektivitas: anggota fraksi, anggota pansus, anggota DPR.

Lazim kita mendengar politisi Senayan menghindari tanggung jawab individual dengan menyatakan, ”saya hanya menjalankan garis kebijakan partai”, ”suara terbanyak telah memutuskan demikian”, ”kebijakan telah diambil berdasarkan prosedur yang ada”.

Kebijakan-kebijakan DPR sepenuhnya dilihat sebagai produk otoritas supraindividu (superindividual authority), seakan-akan lahir sama sekali tanpa campur tangan dan inisiatif individu, murni hasil dari bekerjanya mekanisme pengambilan keputusan dan prosedur legislasi.

Deindividualisasi berakibat pada sulitnya menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas dampak buruk kebijakan. Rezim kerahasiaan mengarahkan kita pada irresponsibility. Kita tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab terhadap KPU yang ternyata kurang capable dalam menyelenggarakan pemilu.

Para politisi yang terlibat dalam penentuan komposisi KPU terhindar dari tanggung jawab karena tidak ada catatan atau wacana tentang peran dan kontribusi mereka. Publik juga terkondisikan untuk enggan mempersoalkan hal-hal yang sudah berlalu.

Pemilu kehilangan esensi

Keutamaan pemilu sebagai mekanisme ”tertinggi” dalam demokrasi pupus ketika partai-partai membagi-bagikan uang agar masyarakat menghadiri kampanye terbuka.

Pemilu kehilangan esensi demokratisnya jika untuk menarik dukungan massa, partai politik menghalalkan suap, jika masyarakat dikondisikan untuk memilih partai politik yang paling banyak memberikan duit. Ikrar parpol untuk memberantas korupsi dan menciptakan pemerintahan yang bersih ternyata hanya basa-basi.

Persoalan berikutnya, sejauh terkait transaksi ekonomi, parpol bersikap tertutup, bahkan terhadap anggotanya sendiri. Konstituen tidak persis mengetahui berapa besar dana untuk kampanye politik, berapa persen sampai ke tangan konstituen, dan kompensasi apa yang dijanjikan parpol kepada penyandang dana?

Ketika partai melakukan deal politik dengan partai lain, konstituen juga tidak tahu koalisi seperti apa yang disepakati, konsensi apa yang ditransaksikan, dan prinsip apa yang dikorbankan.

Rezim kerahasiaan memperlakukan anggotanya secara instrumentalistik. Massa pendukung partai sering menjadi legitimasi bagi tindakan-tindakan elite partai yang tidak mereka pahami tujuan dan konsekuensinya.

Dari pemilu, yang mereka dapatkan secara riil mungkin uang Rp 50.000, bahan pokok, dan goyang dangdut. Namun, mereka tidak paham benar berapa mahal harga yang harus dibayar ketika pemerintahan yang baru nanti sedikit-banyak disetir ”para penyandang dana kampanye”, ketika prinsip-prinsip perjuangan partai dikompromikan dengan partai lain.

Rezim kerahasiaan memberikan kesempatan kepada elite politik untuk menggunakan prosedur-prosedur demokratis sebagai tameng untuk menghindari tanggung jawab atas berbagai kesalahan yang telah mereka perbuat. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, pemilu juga menjadi sarana bagi elite politik untuk menonjolkan egoisme diri, menjadikan massa sebagai instrumen pencapaian tujuan-tujuan partikular.

Agus Sudiby, Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/08/04020193/pemilu.iresponsibilitas.dan.kerahasiaan

Pemilu, Iresponsibilitas, dan Kerahasiaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top