SISTEM politik kohabitasi alias “kumpul kebo” presidensial dan parlementer memang membingungkan elite, apalagi rakyat. Banyak orang bilang, mereka mau memilih SBY, tapi tidak ada urusan dengan Partai Demokrat, caleg, dan pileg. Orang tidak ingin mengulangi kepresidenan Megawati dan first gentleman Taufiq Kiemas yang overaktif, mirip suami Benazir dan Arroyo dengan nuansa kolusi bisnis dan politik. Orang juga tidak sreg dengan Wapres Jusuf Kalla, karena dwifungsi pengusaha merangkap penguasa, sehingga tidak jelas kapan mengambil putusan sebagai wapres untuk kepentingan umum atau kepentingan bisnis.
Ini juga tercermin dalam kasus Lapindo dan posisi Menko Kesra Aburizal Bakrie, karena konsep conflict of interest tidak ditanggulangi secara cerdas, cermat, dan lugas. Maka terjadilah pelbagai isu dan kasus, seperti konflik Menkeu Sri Mulyani dan Kalla Bakrie, karena suspensi saham Bumi Resources.
Dalam diskusi peluncuran survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) tentang mitos dan realitas partai politik ada yang bertanya. Prabowo memperoleh dana dari adiknya Hasyim yang memang berstatus pengusaha swasta, yang kebetulan ketiban rezeki nomplok ladang minyak Kazakstan, yang dijual ketika harga minyak tinggi sampai US$ 5 miliar. Lalu, dari mana dana incumbent dan capres lain. Kebetulan media massa sedang mengecam KPU yang mengeluarkan edaran bahwa sumbangan maksimal itu berlaku untuk transaksi dan bukan akumulatif. Jadi, seorang pengusaha bisa menyumbang Rp 1 miliar sampai beberapa kali, tidak ada batasan.
Akan Terulang
Kembali ke sistem pemilihan yang menghasilkan “kumpul kebo”, presiden disandera oleh koalisi parpol, karena partai presiden hanya minoritas maka skenario presiden sulit bergerak leluasa akan terulang pada periode kepresidenan 2009-2014. Sebetulnya, siapa pun yang jadi presiden, jika partainya hanya punya 7 persen kursi DPR ia pasti akan “takut” dan sibuk sowan, lobi, atau menebar pesona dan gizi untuk memperoleh dukungan atau mencegah DPR melakukan manuver yang bisa berujung ke pemakzulan.
Inilah hasil rezim Soeharto berkuasa 32 tahun, suatu warisan sikap mental Brutus Ken Arok dari para elite Indonesia. Karena tidak ada yang berani oposisi terang-terangan, maka semua berlagak menjadi loyalis, tapi pada saat terakhir akan meloncat menjadi penantang dan penggusur mantan atasan atau mitra koalisi. Segala cara digunakan untuk berkuasa dan menghindar dari nasib menjadi oposisi. Dalam hal ini, tekad Megawati dan PDI-P untuk menjadi oposisi pada periode 2004- 2009 patut memperoleh apresiasi Sebaliknya, partai koalisi SBY yang kemudian meninggalkan koalisi bukanlah teladan dan panutan yang baik dalam pendidikan moral demokrasi dan etika, serta fatsun politik yang sehat dan terpuji.
Elite dan politisi Indonesia mestinya menjadi gentlemen dulu agar secara kesatria bisa menghormati pemenang dan secara sportif menerima kekalahan untuk revans dalam pemilu berikutnya. Tidak perlu harus mati hidup dalam satu periode.
Jika Amien Rais mengikuti nasihat saya, pada 1999 menghormati hasil pemilu dan mempersilakan Megawati menjadi presiden dan PAN menjadi oposisi, maka mungkin PAN bisa menang dan Amien Rais jadi presiden 2004. Tapi, dengan manuver Poros Tengah menciptakan koalisi semu dengan Gus Dur sebagai presiden minoritas maka itu menjadi preseden sistem “kumpul kebo” di mana presiden menderita “trauma pemakzulan” dan tersandera oleh DPR yang juga latah menggertak pemakzulan.
Masalah utama bangsa Indonesia adalah sportivitas, kekesatriaan untuk mengakui, menghormati, dan menjunjung meritokrasi. Yang terbaik dan terpercaya oleh rakyat biarkan memerintah selama satu periode dan bersabarlah menjadi oposisi yang baik, sportif, dan dewasa. Jangan seperti anak kecil atau preman yang berebut jabatan secara manipulatif.
Presiden SBY seharusnya mengembangkan suatu partai yang berakar, bercitra, dan berkembang aktif di masyarakat sebagai kendaraan mirip Ferrari yang bisa mengantar dirinya memenangkan masa jabatan kedua. Pelbagai survei termasuk SSS memang menempatkan Partai Demokrat di papan atas dan nomor satu dengan estimasi suara melebihi 20 persen. Tapi, di lapangan orang berdebar-debar melihat massa yang kurang mencerminkan data survei. Banyak orang bicara bahwa SBY dipasangkan dengan siapa saja, pasti akan terpilih dan menang. Sebaliknya ada yang sinis bahwa Mega atau JK dipasangkan dengan siapa saja pasti akan kalah, tidak bisa menandingi SBY. Munculnya Prabowo sebagai kuda hitam sangat mengejutkan dan memaksa orang memikirkan plan B, menyikapi jika muncul surprise bahwa ramalan survei yang favourable bisa meleset.
Pasangan Top
Seandainya SBY mendeklarasikan duet dengan Sultan Hamengku Buwono X, menurut survei, akan menjadi pasangan top yang langsung bisa landslide dalam satu putaran.
Di sini ada dua masalah, apakah Sultan bersedia jadi wapres dan apakah SBY yakin dan berani mengambil risiko, mengumumkan duet sebelum pileg supaya langsung memperoleh lebih dari 20 persen suara. Seandainya JK bersedia tetap menjadi wapres dan menawarkan kursi presiden kepada Sultan, ini juga akan menjadi duet yang bisa laku mendongkrak inelektabilitas JK.
Begitu juga bila Megawati bersedia dan rela mempersilakan Sultan sebagai capres dan dirinya menjadi kingmaker saja serta mengorbitkan kadernya sebagai wapres maka peluang menang juga lebih besar ketimbang ngotot maju sendiri karena inelektabilitasnya menghambat. Faktor Hidayat Nur Wahid (HNW) dengan keluarnya kajian Wahid Institute tentang ideologi PKS merupakan handicap bagi pasangan yang memilihnya. Orang berbicara tentang di-Adang-kan. Kalau ada capres berpasangan dengan PKS, akan mengalami nasib seperti Adang di DKI, termasuk SBY bisa jadi “Adang” bila berpasangan dengan PKS.
Dalam suasana seperti itu, maka hasil 9 April memang hanya akan jadi koalisi oportunis, mengulangi kerapuhan duet SBY- JK. Kecuali bila Partai Demokrat solid 20 persen pada 9 April dan SBY bertekad menegakkan legacy, mewariskan kinerja yang akan tercatat dalam sejarah tanpa perlu takut pemakzulan oleh DPR.
Jika operasi pemberantasan korupsi dilaksanakan tuntas, maka mayoritas anggota DPR, barangkali, akan menyusul mereka yang kebetulan tertangkap basah oleh KPK. SBY tidak perlu punya beban moral untuk memuaskan koalisi, karena toh tidak akan maju lagi tahun 2014.
Pada hari terakhir kampanye Minggu 5 April, spanduk SBY Presiden dan PKS – DPR bersih seolah mengklaim duet SBY-HNW sebagai keniscayaan. Apakah ini akan menjadi berkah atau malah menjadi skenario Adang jilid dua. Hanya Tuhan yang tahu dan memang hasil 9 April akan menjadi Vox Populi Vox Dei.
Christianto Wibisono
Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional
Sumber: http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=6748
One thought on ““Vox Populi Vox Dei?”