Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak lepas dari berbagai bentuk perjuangan terhadap penjajahan, sekalipun harus bertaruh nyawa. Kemerdekaan Indonesia yang telah diraih merupakan hasil dari perjuangan tersebut. Berbagai teks sejarah telah mencatat ribuan pejuang gugur dalam medan pertempuran. Ribuan pejuang harus dipenjara karena dianggap merugikan kaum kolonial. Sementara itu rakyat diperbudak. Sumber daya alam dieksploitasi besar-besaran. Di antara pejuang-pejuang itu terkenang nama-nama yang dilabeli pahlawan Salah satunya adalah Hajjah Rangkayo (HR) Rasuna Said.
HR Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Iadiangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 13 Desember 1974 oleh Presiden Soeharto melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 084/TK/Tahun 1974. Kini, namanya membentang sepanjang pusat bisnis poros Sudirman-Thamrin-Kuningan, dari Jakarta Pusat hingga Jakarta Selatan.
“Saudara-saudara, tahukah engkau sekalian bahwa Ibu Rasuna Said telah berpuluh-puluh tahun lamanya berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, berjuang untuk utuhnya negara, yang kita proklamirkan 17 Agustus 1945. Bahkan waktu beliau masih muda, beliau telah berjuang sekuat[1]kuat tenaga untuk memerdekakan tanah air kita,” ucap Ir. Soekarno pada Rapat Pancasila di Bandung, 1958.
Perjuangan Rasuna Said Mewujudkan Keadilan Gender
Pada masa kolonial, pendidikan hanya diberikan pada kaum elit dan dikhususkan bagi kaum laki-laki. Hal ini berdampak bagi pola berfikir masyarakat pada saat itu. Berbeda dengan Muhammad Said, ayah Rasuna Said, yang mendorong putrinya untuk mengenyam pendidikan yang layak dan setara dengan laki-laki, walaupun pada akhirnya Rasuna Said menjadi satu-satunya santri perempuan saat itu. Ketimpangan yang dirasakan langsung oleh Rasuna Said mendorongnya untuk lebih memperhatikan kemajuan dan pendidikan bagi perempuan.
Kiprah Rasuna Said dimulai dengan menjadi pengajar di Sekolah Diniyah Putri. Dalam perjalanannya, Rasuna Said menilai bahwa perjuangan tidak hanya bisa dilakukan melalui jalur pendidikan dengan mendirikan sekolah, namun perlu disertai dengan perjuangan di ranah politik. Bahkan ia ingin memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah meskipun berakhir dengan penolakan. Meski begitu ia tetap berjuang dalam ruang lain untuk membela kaum perempuan. Kemudian Rasuna Said memutuskan untuk bergabung di Sarekat Rakyat sebagai sekretaris cabang, serta menjadi pendiri Persatuan Muslim Indonesia (PERMI).
Dengan masuknya Rasuna Said di PERMI, ia aktif mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi. Hal tersebut memberi ruang baginya untuk berorasi menyuarakan perlawanan terhadapkolonialisme. Hingga pada akhirnya ia harus dipenjara pada 1932 karena Spreekdelict, hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda.
Berita penangkapan itu diungkap pada majalah Fikiran Ra’Jat, bergambar ilustrasi seseorang yang sedang melambai dengan robekan kain yang bertuliskan “Indonesia Merdeka”. Memakai nama samaran Sumini dalam Fikiran Ra’yat, Bung Karno juga menulikan pesannya dengan tajuk “Salam dari Pendjara”, yang berisi “Saodara poeteri Rasoena Said kini meringkoek dalam penjara boeat satoe tahoen tiga boelan lamanja oentoek Indonesia Merdeka. Hidoeplah Indonesia Merdeka!”
Tidak kapok dipenjara, Rasuna Said tetap semangat dalam memperjuangkan kemerdekaan, meskipun dengan cara yang berbeda. Setelah keluar dari penjara, Ia mulai aktif dalam dunia jurnalisme dan menjadi pemimpin redaksi di Majalah Raya. Majalah ini tercatat sebagai tonggak perlawanan di Sumatera Barat, sehingga Polisi Rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak penyebaran majalah tersebut.
Pada tahun 1937 Rasuna berekspansi ke Medan, mendirikan Perguruan Putri, sekolah yang dikhususkan untuk perempuan. Sembari itu, ia membuat majalah mingguan yang diberi nama Menara Poetri untuk menyebarkan berbagai macam gagasan-gagasannya. Yang mana tujuan utamanya adalah memasukkan kesadaran pergerakan anti kolonialisme di tengah-tengah kaum perempuan. Dalam Menara Poetri, Rasuna Said menulis di rubrik Pojok dengan menggunakan nama samaran Seliguri, yang konon merupakan nama sebuah bunga.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said masuk dalam Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Ia duduk di Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat. Pada masa Pemerintahan Republik Indonesia Serikat Rasuna Said diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya. (Dwi Purbo)