Dunia mungkin tidak akan pernah mencapai keadaan nirsenjata nuklir. Tetapi (apa yang dikemukakan Presiden Obama tentang dunia yang bebas nuklir) akan membantu membuat banyak hal jauh lebih aman bila yang lain juga mau berbuat serupa. (”The Economist”, 11-17 April 2009)
Korea Utara memang negara misterius, tetapi suka menghadirkan kejutan. Setelah tak puas dengan perundingan Enam Pihak yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, China, Jepang, dan Korea Selatan, tanpa didahului peringatan, Senin (25/5), negara yang masih menganut sistem Komunis Stalinis ini mengumumkan telah sukses melakukan uji nuklir kedua.
Terlepas dari reaksi dan kecaman internasional, rezim di Pyongyang ini ingin meyakinkan kepada dunia, juga kepada rakyat Korut sendiri, bahwa status kekuatan nuklir Korut tak bisa diragukan lagi. (Secara politik, langkah uji nuklir juga dilakukan di tengah upaya Sang Pemimpin Kim Jong Il mencari dukungan militer untuk rencananya mengalihkan kekuasaan kepada salah satu dari tiga anak laki-lakinya.)
Selain menyatakan bahwa uji dilakukan sebagai upaya meningkatkan deteren nuklir untuk pertahanan diri, uji yang dilakukan di bawah tanah ini juga dilaporkan dilakukan dengan aman. Seperti dilaporkan oleh kantor berita resmi Korut, KCNA (yang dikutip IHT, 26/5), hasil pengujian telah membantu dengan memuaskan penyelesaian masalah ilmiah dan teknologis yang muncul dalam usaha memperbesar kekuatan senjata nuklir, dan seiring dengan itu juga dalam upaya pengembangan teknologi nuklir.
Melengkapi keterkejutan dunia, sesaat setelah pengumuman uji peledakan nuklir, Korut juga meluncurkan rudal ke lepas pantai timur. Rudal ini memang berjelajah pendek, tetapi hal itu juga perlu dicatat karena merupakan bagian dari upaya Korut untuk menyempurnakan kemampuan wahana peluncur hulu ledak nuklir.
Sudah menjadi pakem bahwa kemampuan membuat bom nuklir barulah komplet bila disertai dengan kemampuan membuat rudal peluncurnya. Ini karena rudal merupakan satu pelontar bom yang praktis-ekonomis dibandingkan dengan pengebom yang rawan ditembak dan disergap, atau kapal selam balistik yang mahal dan jauh lebih menuntut berbagai kemampuan.
Kini, meski dikecam dunia, Korut berhasil membuktikan tidak saja tekad, tetapi juga kemampuan teknologi nuklirnya. Sekadar catatan, uji nuklir pertama Korut dilakukan pada 9 Oktober 2006, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Kini, uji yang kedua menghasilkan gempa berkekuatan lebih besar, dalam magnitudo 4,5-5,3, dibandingkan uji pertama yang hanya menghasilkan gempa berkekuatan 3,6.
Daya ledak nuklir Korut yang diuji pada 25 Mei oleh Juru Bicara Kementerian Pertahanan Rusia Alexander Drobyshevsky kepada kantor berita RIA-Novosti diperkirakan 10 hingga 20 kiloton, sementara daya yang pertama hanya 0,8 kiloton. Daya ledak nuklir sebesar 1 kiloton setara dengan 1.000 ton trinitrotoluena (TNT) atau dinamit. Sementara itu, ahli keamanan dari Universitas Korea di Seoul menyebutkan, daya ledak nuklir Korut, Senin lalu, hanya 1 kiloton.
Berapa pun dayanya, uji kedua yang juga dilakukan di timur laut kota Kilju ini dipandang lebih sukses dibandingkan dengan uji peledakan pertama. Pada uji 2006, Korut dinilai terlalu ambisius dalam desain bomnya, lalu mereka juga menggunakan plutonium yang tidak pas, atau tidak menguasai kerumitan alat pemicu (ledakan) (Wall Street Journal , 26/5).
Kemajuan nuklir Korut ini jadi berita justru ketika Presiden AS Barack Obama telah menyerukan dunia bebas senjata nuklir dalam lawatan di Praha awal April silam. Inilah idealisme pemimpin adidaya yang pada masa Perang Dingin mengembangkan persenjataan nuklir secara besar-besaran, hingga dunia pernah ”dipayungi” oleh 50.000 hulu ledak nuklir yang sanggup untuk memusnahkannya berulang kali.
AS, Rusia, dan Inggris diberitakan bersedia mengurangi arsenal nuklirnya, tetapi China dan Perancis tidak. Masih jadi pertanyaan pula, bagaimana dengan nuklir Israel, India, Pakistan, juga Korut, dan lainnya? (The Economist, 11-17/4)
Nuklir Batan
Dalam wacana nuklir persenjataan yang semula diperkirakan surut seusai Perang Dingin, ternyata tidak karena merebaknya isu proliferasi (penyebarluasan), orang pun lalu teringat kembali dengan imajinasi mengerikan tentang perang nuklir yang bisa membinasakan jutaan orang sekaligus. Hal ini membuat manfaat nuklir yang positif nonmiliter seperti terbenam.
Bersamaan dengan dilakukannya uji kedua nuklir Korut Senin lalu, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) menyelenggarakan Pertemuan Kelompok Ahli Tenaga Nuklir di Jakarta. Bagi Batan, situasi yang dihadapi selama ini memang lebih banyak mengecilkan hati daripada membesarkan.
Tetapi Batan tak harus kehilangan orientasi. Memang wacana di permukaan didominasi oleh isu PLTN, tetapi akan lebih baik bila PLTN masuk dulu dalam lemari, menunggu saat yang lebih tepat dari berbagai segi. Sebagai gantinya, kajian energi dilanjutkan dalam bentuk eksperimen seperti yang selama ini telah dilakukan, seperti fabrikasi elemen bakar untuk reaktor daya tipe Cirene, menguasai teknik eksplorasi bahan galian nuklir, dan prospeksi mineral uranium.
Atau, yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan kemampuan pengelolaan limbah radioaktif. Program penelusuran sumber air tanah dengan teknik nuklir, seperti yang telah dilakukan di Yogyakarta, Jawa Tengah, Lombok, dan Madura, juga terdengar lebih akseptabel. Batan juga bisa membantu pembangkitan listrik tenaga panas bumi dengan teknik nuklirnya.
Selain energi, Batan juga telah memiliki kemampuan dalam aplikasi nuklir di bidang pertanian dan peternakan, juga di bidang kesehatan dan obat-obatan. Sejak munculnya varietas padi atomita pada 1980-an, Batan terus melanjutkan pengembangan varietas unggul dengan teknologi mutasi radiasi. Dilakukan juga pemuliaan tanaman sorgum.
Sementara itu, di bidang kesehatan dan obat-obatan telah dikembangkan sarana untuk pemisahan dan pengemasan radioisotop dan radiofarmaka, juga pemeriksaan medik menggunakan kamera gamma.
Berbagai hasil penelitian dan pengembangan serta rekayasa Batan di atas, pekan ini juga diperkenalkan di kalangan mahasiswa di Kota Malang. Inilah langkah yang untuk saat ini lebih kurang kontroversial, dan bermanfaat bagi Batan, daripada berfokus pada PLTN.
Dari uraian tentang aktivitas ilmiah Batan di atas terlihat betapa kontras aktivitas nuklir di Korut dan Indonesia. Bisa saja program nuklir Korut lebih terfokus dan mencapai satu prestasi nasional, lepas dari baik atau buruknya bagi perdamaian internasional. Sementara program seperti yang dilakukan Batan hanya lebih bersifat ”nice- to- have” tanpa value yang berarti secara nasional. Sejarahlah yang nanti akan membuktikan mana yang lebih benar dari kedua mazhab di atas.
NINOK LEKSONO
Kompas, Rabu, 27 Mei 2009
Sumber: http://sains.kompas.com/read/xml/2009/05/27/05193074/iptek.nuklir.korut.vs.nuklir.batan