Berkali-kali ia terluka parah dalam pertempuran dan ia selalu membentak tim dokternya, “Obati para perajurit lebih dulu, kalau mereka sudah diobati barulah kamu mengobati aku! Cepat, pergi, obati mereka!”
Ia bukan dijuluki Yang Baik, sebab ia juga sering berbuat jahat. Ia pun bukan dijuluki Yang Sempurna, sebab ia keliru dalam banyak hal. Tetapi ia dijuluki Yang Agung, sebab ia berjiwa besar dalam banyak hal terutama dalam kepemimpinannya. Ia adalah Aleksander Agung (Arab: Iskandar Aqbar).
Aleksander (356-323 SM) adalah putera Raja Filipus II di Makedonia di utara Yunani. Pada usia 14-16 tahun ia belajar bahasa, sastra, budaya dan filsafat pada Aristoteles. Kemudian ia belajar kedokteran dan militer. Pada usia 20 tahun ia naik takhta menggantikan ayahnya.
Tindakan Aleksander yang pertama sebagai raja adalah mempersatukan seluruh Yunani. Lalu ia memperbarui bahasa Yunani menjadi bahasa Yunani Koine. Ia meningkatkan mutu persekolahan. Ia merangsang perdagangan dan memajukan kemakmuran. Ia mengangkat nilai-nilai luhur harkat martabat kemanusiaan sebagai dasar kebudayaan Yunani yang baru yang disebut Hellenisme.
Kemudian Aleksander memperluas kerajaannya. Ia berangkat dengan pasukan sebanyak 40.000 orang. Selama delapan tahun ia menempuh perjalanan untuk menduduki seluruh Asia Kecil, lalu Mesir, Mesopotamia, seluruh Timur Tengah, Persia, Afghanistan terus ke timur sampai ke India. Tidak terkatakan penderitaan rakyat yang dijajahnya itu, namun ia juga melakukan banyak hal yang baik. Di tiap negara yang didudukinya pasukannya membangun kota-kota ilmu pengetahuan dengan banyak gedung perpustakaan dan pusat penerjemahan buku. Walaupun ia menerapkan kebudayaan Yunani di mana-mana, namun ia tidak mempromosikan agama Yunani yang terkenal dengan upacara-upacara megah untuk banyak dewa dan dewi.
Salah satu dari puluhan kota ilmu pengetahuan yang didirikan Aleksander adalah Aleksandria (Arab: Iskandariah) di Mesir. Setelah Aleksander meninggal, kota ini masih terus berkembang dengan banyak gedung perpustakaan dan pusat penerjemahan buku. Kota ini meninggalkan dampak yang besar bagi gereja hingga sekarang, karena di kota inilah dilakukan penerjemahan Perjanjian Lama (termasuk Deuterokanonik) dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani. Terjemahan ini dikerjakan oleh 70 rabi Yahudi dan naskah pertamanya selesai dalam 70 hari, sehingga Perjanjian Lama berbahasa Yunani ini disebut LXX atau Septuaginta (Septem berarti 7, Septua 70).
Alkitab Septuaginta ini besar faedahnya bagi gereja hingga hari ini, sebab untuk membuat tafsiran jitu sering kita perlu menyelidiki bahasa aslinya. Persoalannya adalah bahwa Perjanjian Lama dalam bahasa aslinya sulit dibaca sebab bahasa Ibrani tidak berhuruf vokal, melainkan hanya terdiri 22 konsonan atau huruf mati. Jika dalam ayat itu tercantum kata bbt, maknanya perlu ditebak apakah itu babat, bebet, bibit, bobot, bubut, babet, babit, babot, babut, bebat, bebit atau lainnya.
Ketika kemudian hari Perjanjian Baru ditulis, bahasa yang digunakan adalah Yunani Koine yang sudah diperbarui oleh Aleksander menjadi bahasa internasional sehingga Injil Kristus cepat tersebar ke seluruh Asia Kecil dan Timur Tengah.
Pada awal karangan ini dikatakan bahwa Aleksander Agung berjiwa besar dalam kepemimpinannya. Ini penjelasannya. Kebesaran jiwa Aleksander Agung terletak dalam kebersamaan dengan bawahannya. Meskipun ia seorang raja dan jenderal, namun ia tidak ingin diperlakukan istimewa.
Berkali-kali ia terluka parah dalam pertempuran dan ia selalu membentak tim dokternya, “Obati para perajurit lebih dulu, kalau mereka sudah diobati barulah kamu mengobati aku! Cepat, pergi, obati mereka!”
Pernah seluruh pasukannya lemas kehausan di Gurun Gedrosia. Sebagai tanda setia, para perajurit mengumpulkan sisa tetes-tetes air lalu memberikannya kepada Aleksander. Di depan perajuritnya, Aleksander menerima cawan itu tetapi ia langsung mengucurkan air itu ke tanah sambil berkata, “Kalau kamu lapar dan haus, aku juga lapar dan haus bersama kamu!”
Biasanya seorang pemimpin menomorsatukan kepentingan dirinya dan menomorduakan kepentingan bawahan. Tetapi Aleksander berbuat kebalikannya. Ia mendahulukan kepentingan bawahannya. Itulah keagungannya. Lance Kurke, pakar ilmu Pendidikan Dewasa di Universitas Duquesne, berkata bahwa calon pemimpin perlu belajar bagaimana Aleksander menghargai bawahannya. Kurke menulis dalam buku The Wisdom of Alexander the Great, “Leadership cannot be taught, but it can be learned…..However I find it difficult to help these leaders learn to be more effective without a clear, specific, tangible context….this context is Alexander the Great”.
Aleksander memang patut dijuluki Yang Agung sebab ia berjiwa agung dalam kebersamaan dengan bawahannya. Bayangkan, ia rela menahan nyeri luka sabetan pedang dan tusukan tombak supaya para perajuritnyalah yang lebih dulu diobati. Ia rela menahan nyeri luka supaya luka bawahannya cepat sembuh.
Sekitar 300 tahun kemudian di sebuah negara jajahan Aleksander, ada seorang pemuda yang juga berjiwa agung. Pemuda itu juga penuh luka dan mengucurkan darah. Ia rela menahan nyeri luka-luka supaya bawahan-Nya bisa sembuh. Pemuda itu bernama Yesus. Seorang rasul-Nya bersaksi, “Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh” (1 Ptr 2:24).
Itulah Aleksander dan Yesus. Kedua orang itu mati muda. Aleksander 32 tahun, Yesus 33 tahun. Kedua orang itu dijuluki Yang Agung. Mereka agung dalam hal-hal yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Namun mereka sama-sama agung dalam hal rela menderita demi bawahan. Mereka hidup dalam kebersamaan dengan bawahan.
Andar Ismail
Penulis adalah pengarang buku-buku renungan Seri Selamat BPK Gunung Mulia
Sumber: Suara pembaruan,23 Mei 2009
http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=8182
Sumber Gambar: http://karenswhimsy.com/public-domain-images/alexander-the-great/images/alexander-the-great-2.jpg
Alexander agung memang hebat.
harusnya dia dijadikan pedoman bagi pemimpin-pemimpin yang ada di negri ini.
sangat bertaggung jawab dan rela berkorban.
cerita yang hebat.
ya.. saya setuju dgn anda 🙂
trimaksh untuk hal ini sangat membantu saya..