Tim sukses Mega-Pro mengklaim, IQ capres Megawati tertinggi. Apakah IQ, standar kecerdasan ini memang menentukan sekali derajat kepemimpinan dari seorang kepala negara dan/ atau kepala pemerintahan sebuah republik?
Kalau kita berbicara tentang “republik”, pikiran kita melayang ke “republik” dari Plato. Filsuf besar Yunani Purba ini, dalam pemaparannya di situ, tidak hanya concerned dengan para pemimpin politik, tetapi juga dengan kelayakan pendidikan mereka. “Philosopher Kings” dari negara imajiner Plato ternyata dipikirkan olehnya terutama sebagai pendidik, bukan negarawan atau politikus dalam artian modern. Berarti perolehan pendidikan yang layak, seperti yang dipikirkannya, tidak hanya relevan bagi politikus, tetapi juga bagi seniman. Tidak berlaku melulu bagi ilmuwan, tetapi juga bagi jenderal, pokoknya bagi semua warga yang merasa terpanggil untuk berperan aktif dalam jalannya kehidupan bersama.
Socrates kiranya berpendapat lain. Setelah menggarisbawahi pentingnya sikap yang alami, sesudah membubuhi kemampuan inheren itu dengan tuntutan pengujian kebugaran jasmani, kecintaan belajar, daya ingat, dan ketegaran intelektual, dia mengemukakan suatu kualitas lain yang tak terelakkan, yang pada tingkat pertama harus dimiliki oleh orang agar menjadi pemimpin yang didambakan dari suatu negara yang ideal. Kualitas yang diniscayakan itu adalah “tanggap terhadap keseluruhan”, a sense of the whole.
Mengingat kualitas kepemimpinan tersebut begitu penting bagi kehidupan bernegara, Socrates menganggap hal ini menjadi urusan pendidikan. Dia yakin, disposisi seperti itu sudah membayang sejak kanak-kanak. Maka, dia menganjurkan adanya suatu pengamatan yang berkesinambungan, bersih dari pemaksaan, terhadap anak-anak guna mendeteksi siapa di antara mereka yang tentu berjumlah sedikit, yang menunjukkan berpotensi punya “tanggap terhadap keseluruhan”.
Pengamatan seperti ini, menurut kesimpulan saya, ada di sekolah elite, Eaton, di Inggris. Hal itu dilakukan terutama ketika murid-murid bekerja menyelesaikan suatu tugas kolektif secara berkelompok, baik di dalam maupun di luar kelas. Maka, bukan kebetulan kalau ada pemeo beredar di Eropa sesudah perang dunia pertama, berbunyi: Engeland win the war at the yard of Eaton. Artinya, usaha Inggris memenangi perang terwujud berkat usahanya di halaman sekolah Eaton, bukan di halaman Akademi Militer Sandhurst. Pengamatan yang sama juga dilakukan di lingkungan kepanduan sebagaimana yang dikembangkan oleh Lord Baden Powell.
Bila dipaparkan dalam bahasa kontemporer, menurut filsuf pendidik J Glenn Gray, kualitas remaja yang disebut sense of the whole adalah kesediaan merespons tuntutan waktu dan situasi yang dihadapinya. Anak-anak yang tanggap terhadap keseluruhan tidak sekadar suka hidup berkelompok, juga yang personalitasnya tidak bertipe eksekutif.
Sebaliknya, dia adalah individu yang mengurus dengan penuh perasaan, yang concern pada kesejahteraan orang lain, dan punya simpati intuitif terhadap perbedaan-perbedaan dengan dirinya, serta membutuhkan pengalaman pendidikan yang berlainan.
Dia cepat menyadari bahwa pendidikan berarti saling berbagi dan bahwa realisasi diri pribadi dapat terjadi hanya dalam fokus pada komunitas. Individualitas adalah tujuan dari sepak terjangnya. Baik individualisme maupun kolektivisme konformis tidak akan dapat menyelewengkannya dari jalur kepentingannya yang murni.
Pendek kata, a sense of the whole berarti sangat peduli pada distingsi orang-orang lain, pada hak-hak mereka mengembangkan diri, menurut cara pilihannya sendiri, tetapi juga punya kaitan dengan dirinya dalam konteks komunitas. Ini adalah suatu kapasitas untuk mengakui bahwa orang yang ingin menemukan dirinya sendiri harus lebih dahulu kehilangan dirinya sendiri, suatu frase yang cocok bagi pendidikan sebagaimana juga bagi pembebasan religius.
Pendidikan Nasional
Bung Hatta yang sangat mendalami alam pikiran Yunani Purba dan menulis buku tentang hal itu, pasti telah memahami buah pikiran Plato dan Socrates, termasuk yang menyinggung kaitan antara politik, kenegaraan, kepemimpinan, dan pendidikan.
Begitu tiba kembali di Indonesia di awal tahun 30-an abad lalu, dia membentuk suatu gerakan yang dinamakannya “Pendidikan Nasional Indonesia” (PNI). Dia sengaja menyebut “pendidikan” dan bukan “politik atau Partai”, walaupun ada yang menertawakan organisasi ini sebagai “sekolahan-sekolahan”. Dia tidak berkecil hati, tetapi dengan tegas menyatakan bahwa memang kita mau bersekolah dahulu, bersekolah untuk membentuk budi pekerti, bersekolah dalam memperkuat iman karena politik memang memerlukannya.
Melalui pendidikan, Bung Hatta ingin rakyat mendapat keyakinan bahwa tidak saja pemimpin harus tahu kewajibannya, tetapi juga rakyat semuanya. Sebab kemerdekaan Indonesia tidak dapat dicapai oleh perjuangan pemimpinnya saja, tetapi oleh usaha dan keyakinan rakyat banyak. Sudah banyak “isme” yang datang ke Indonesia, tetapi tidak ada yang begitu dirasakan oleh rakyat seperti cita-cita “Kedaulatan Rakyat”.
Melalui pendidikan, Bung Hatta menghendaki agar dalam rapat umum dan rapat kursus kader jangan dilakukan agitasi. Yang diutamakan adalah pemberian petunjuk dengan jalan menganalisis realitas. Sebab dengan agitasi memang mudah membangkitkan kegembiraan hati orang banyak, tetapi tidak membentuk pikiran orang.
Kerap kali kegembiraan sementara itu lekas lenyap. Demokrasi dan agitasi saja adalah mudah, karena tidak menghendaki kerja dan usaha terus-menerus. Agitasi baik sebagai pembuka jalan. Namun, pendidikan yang membimbing rakyat ke organisasi! Maka, kita membutuhkan pendidikan yang benar. Yang perlu diusahakan sekarang adalah pendidikan.
Melalui pendidikan, Bung Hatta bertekad memberikan kepada para kader kursus yang relevan dan fungsional. Kursus tidak dilakukan sebagai indoktrinasi, tetapi sebagai pendidikan yang mencerahkan. Mereka baru diakui sebagai anggota pergerakan setelah “maju” dalam ujian. Adapun, pokok-pokok ujian meliputi: pertama, sejarah umum Indonesia, terutama sejarah pergerakan nasional, termasuk pengetahuan tentang perbedaan antara politik kooperasi (kerja sama) dan nonkooperasi dengan penjajah. Kedua, imperialisme dalam pertumbuhannya. Ketiga, kapitalisme dalam perkembangannya. Keempat, kolonialisme dan kelima, kedaulatan rakyat.
Gerakan “Pendidikan Nasional Indonesia” berpusat di Bandung. Dalam usahanya ini Bung Hatta dibantu oleh beberapa tokoh pergerakan nasional dan nonkooperator, seperti St Sjahrir, Hamdani, Maskun, Burhanuddin, Inu Perbata- sari, Murwoto, Suka, dan beberapa orang lagi.
Perlu kiranya direnungkan, apakah sikap tokoh-tokoh politikus yang tinggal di daerah elite dengan gaya hidup borjuis dan lalu memilih tempat pembuangan sampah, yang nota bene adalah kotoran kehidupan mereka, sebagai forum pendeklarasian tekad politik, dapat dikatakan tanda jenuin dari sense of the whole mereka, kepedulian mereka terhadap nasib wong cilik? Apakah ini bukan contoh dari adanya eksploitasi secara sadar terhadap ketidaktahuan rakyat kecil dalam berpolitik secara benar, karena kurang dididik selama ini?
Apa pun jawabannya, yang jelas adalah bahwa berpolitik tanpa pendidikan pendahuluan yang relavan akan menyesatkan republik dan menanggalkan demokrasi dari maknanya yang jenuin.
Daoed Joesoef
Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
Sumber: Suara Pembaruan, 28 Mei 2009
http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=8271
Baguslah………