Disadari atau tidak, pemberitaan sekaligus perbincangan mengenai salat dwibahasa KH Yusman Roy (akrab dipanggil Gus Roy) memang sudah tersiar begitu luas ke seluruh pelosok nusantara (se-Indonesia). Media pun tidak melewatkan momen ini; hampir seluruh koran dan televisi ikut-ikutan mengekspos fenomena Gus Roy. Hal ini juga diakui langsung oleh keluarga Gus Roy ketika saya bersilaturrohim ke sana. Saya sempat dua kali membesuk ke Kepanjen, tempat Gus Roy ditahan sementara, dan empat kali mengunjungi pondoknya di Lawang, Jatim. Istri Gus Roy, Bu Supartini, bahkan sempat kewalahan karena setiap hari kebanjiran tamu, mulai dari wartawan hingga peneliti yang bertandang ke pondok suaminya. Tidak sedikit artikel atau opini yang ikut-ikutan membincangkannya, baik yang pro maupun yang kontra terhadap apa yang dilakukan Gus Roy. Bagaimana tidak, salat sebagai kewajiban syariat umat Islam yang selama ini dianggap sakral –di samping dilaksanakan setiap hari– digemparkan oleh Gus Roy dengan “inovasi mutakhirnya” melalui penerjemahan bacaan-bacaan salat dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut dilakukannya dalam upaya agar lebih memahami bacaan-bacaan shalat sehingga bisa lebih khusyu’ dalam melaksanakan salat itu sendiri –tanpa mengurangi rukun dan syarat-syarat sahnya salat itu sendiri.
Apa yang dilakukan Gus Roy seperti pernah dilontarkan Abu Hanifah. Bedanya dengan zaman klasik di mana pendapat Abu Hanifah memperbolehkan salat dengan memakai bahasa ‘ajam (non-Arab), Gus Roy tidak sedikit pun mengubah tatacara salat orang Islam yang selama ini memakai bahasa Arab. Bahkan, kalau dihitung-hitung, tentunya salat ala Gus Roy akan lebih lama karena membaca bacaan salat dengan dua bahasa sekaligus tiap-tiap ayat. Pengikutnya pun rata-rata orang-orang tua yang awam dalam hal agama.
Salat sendiri adalah bagian dari tuntunan syariat yang diyakini bersama. Syariat mencakup urusan fiqih, sementara fiqih adalah sekumpulan kesepakatan para alim-ulama dengan tetap mengacu pada dalil-dalil tertentu yang sifatnya debatable tergantung konteks yang melingkupinya, termasuk konteks ruang dan waktu. Persoalan seperti yang dialami Gus Roy selayaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya dan bukan kepada al Quran dan Sunnah sebagaimana banyak ditafsirkan orang, memang pas dalam aspek implikasi atau efek pasca munculnya klaim penodaan agama, ajaran sesat, dsb. Namun, dalam sudut pandang pemahaman seseorang atas tafsir yang diyakininya, justru memang harus dikembalikan pada al Quran dan Sunnah. Sebab, baik Gus Roy maupun MUI sama-sama mempunyai dasar al Quran dan Sunnah sendiri dalam mengukuhkan keyakinannya.
Landasan MUI
Terbitnya Keputusan MUI Kabupaten Malang No: Kep.02/SKF/MUI/KAB/2004 dan Keputusan MUI Provinsi Jawa Timur No: Kep-13/SKF/MUI/JTM/II/2005 yang memberikan inti pernyataan bahwa hasil ijtihad Kiai Roy adalah sesat, didasarkan atas pertimbangan bahwa Gus Roy berijtihad mengenai salat bilingualnya ternyata tidak hanya buat konsumsi pribadi, seperti tindakan-tindakan sufistik. Namun, ajaran salat demikian yang juga didakwahkan ke orang lain, bahkan hingga ke masjid-masjid melalui pamflet, selebaran, bahkan dalam bentuk VCD, membuat banyak kalangan tidak terima. Apalagi, tulisan selebaran tersebut juga melaknat orang lain yang tidak sependapat dengannya, bahkan sampai mengharamkannya. Mantan centeng (tukang pukul) marinir ini juga dipandang tidak begitu paham fiqih serta banyak celah dari landasan al Quran yang dipakainya. Sebab, landasan yang dipakai Gus Roy bahwa Tuhan mengerti bahasa semua hambanya, maka pakailah bahasamu sendiri, bukan dalam konteks praktek-praktek ritual, tetapi justru sebagai strategi dakwah.
Akhirnya, terbitnya keputusan itu mau tidak mau ikut melahirkan Surat Keputusan (SK) Bupati Malang nomor 180/783/KIP/421.012/2005 tentang penangkapan Gus Roy serta penghentian kegiatan Pondok I’tikaf Jamaah Ngaji Lelaku. MUI menganggap bahwa memakai bahasa di luar lafadz yang berbahasa Arab dianggap sebagai percakapan biasa yang secara otomatis akan membatalkan syarat-syarat sahnya salat itu sendiri. Singkatnya, ajaran Gus Roy dalam selebarannya dinilai meresahkan masyarakat.
Tentu sangat wajar masyarakat ikut ‘termakan’ karena sampai hari ini konteks keberagamaan kita sulit atau belum bisa dilepaskan dari pengaruh MUI. Padahal, kebanyakan warga kampung sekitar pondok Gus Roy menganggap apa yang telah dilakukan oleh mantan petinju tersebut adalah salah satu wujud keberagaman dalam beragama dan menafsirkan ajaran tentang sholat sesuai dengan cara yang dianggap paling ideal. Hal ini tentu berbeda dengan klaim MUI dan pihak kepolisian. Sebaliknya, “keresahan” justru menjadi semakin berkembang setelah MUI terlalu banyak mengintervensi perkara tersebut, yang akhirnya dimanfaatkan oleh media massa yang juga terlalu membesar-besarkan. Fenomena ini tidak bisa dimungkiri sebagai berita layak jual.
Tafsir Al Quran
Tanpa bermaksud melecehkan kekuatan atau pas tidaknya ayat-ayat secara substantif yang dipakai sebagai acuan dasar masing-masing pihak, landasan Gus Roy juga patut disimak. Pijakan ayat yang mendasari Gus Roy adalah Q.S. An-Nisa’ 43 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat sedang kamu berada dalam keadaan mabuk sampai kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. Ayat yang terpampang di dinding tempat Gus Roy dan pengikutnya melaksanakan salat jamaah tersebut menurutnya mempunyai makna yang luas. Kata “mabuk” baginya tidak boleh sekadar dimaknai secara “sempit”; “mabuk” di sini diartikan tidak mengerti apa-apa tentang lafadz yang terkandung dalam shalat itu sendiri. Artinya, Gus Roy berpendapat sia-sia kalau orang melakukan salat tanpa mengerti makna bacaan-bacaan salat itu sendiri. Ia juga menambahkan lagi dasar hukum Al-qur’an seperti dalam Q.S. Ibrahim 14 yang artinya: Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Gus Roy menerangkan, setiap rasul yang diutus atau diturunkan oleh Allah pada suatu kaum pasti akan menggunakan bahasa kaum tersebut. Tujuannya tentu agar kaum tersebut mengerti serta memahami wahyu yang diajarkan rasulnya. Dalam konteks tanah Arab, Muhammad yang dipilih sebagai Nabi sudah barang tentu akan menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa murni kaum Arab. Sehingga, al Quran yang dijadikan pedoman serta sholat yang diwajibkan juga menggunakan Bahasa Arab. Lalu bagaimana dengan orang Islam yang bukan berasal dari tanah Arab serta tidak bisa berbahasa Arab? Apakah mereka juga harus dipaksa menggunakan nalar Arab?
Hingga hari ini, secara tekstual dan keyakinan, kaum muslim masih tidak bisa dilepaskan dari konteks pemahaman dan keterikatan dengan adanya al Quran yang diyakini sebagai prinsip utama dan paling pokok dalam mengejawantahkan keberagamaan mereka. al Quran, seperti halnya Pancasila di negara kesatuan kita, dianggap (kalau tidak dikatakan “dinilai”) sebagai sumber dari segala sumber hukum yang harus diyakini, dipercaya, dan dijunjung tinggi kebenarannya. Tidak ada satu pun umat Islam yang boleh menganggap bahwa al Quran hanyalah karangan manusia biasa, yaitu Muhammad. Karena, sakralisasi al Quran bagi orang-orang yang mempercayainya secara utuh berbeda jauh dengan teks-teks kitab suci agama dan umat-umat lain.
Itulah mengapa al Quran selalu menempati urutan paling awal dari tiga patokan hukum Islam lainnya, yaitu Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Di sini, terasa sekali bahwa al Quran sesungguhnya sangat tabu diganggu-gugat oleh umatnya sendiri. Al Quran selalu harus dikatakan lebih superior dan menempati urutan perdana ajaran-ajaran yang dijadikan rujukan kebenaran, permasalahan ibadat, tasawuf, bahkan, sampai pada hal-hal sepele dalam kehidupan kita. Agama sendiri yang mempunyai kandungan ajaran-ajaran syariat, tauhid, dan tasawuf ini pada kenyataannya memunculkan aneka macam aliran dan ajaran sesuai dengan keyakinan masing-masing pemeluknya. Umumnya hanya elit-elit agama (ulama) yang dipandang boleh dan mampu menggagas tafsir atau ajaran yang bersumber dari al Quran dan Hadits Nabi SAW.
Mestinya, tafsir sekaligus tranformasi nilai-nilai yang terkandung pada al Quran dalam kehidupan sosial harus kita lakukan bukan sebagai alat legitimasi perintah Tuhan untuk melakukan pemukulan, pembunuhan dan penghisapan terhadap manusia yang lain. Jika hal ini terjadi, jangan-jangan kitab suci umat Islam ini bernasib seperti yang pernah terjadi pada orang-orang Nasrani, yang mana Injil dijadikan alat oleh parah tokoh agama untuk memperkeruh kehidupan dan melakukan penghisapan terhadap umatnya. Kalau sudah begitu, di mana lagi kita mencari letak kemurnian sebuah teks suci? Ringkasnya, al Quran akan benar-benar menjadi petunjuk jika dalam menggali nilai-nilai yang terkandung tidak lagi diselingi dengan kepentingan-kepentingan memperkokoh legitimasi otorisasi dan kekuasaan atas umat.
Bagi orang Islam awam, biasanya mereka lebih save bertaqlid kepada ulama tertentu yang dianggap lebih mumpuni dalam memahami ajaran Islam serta memberikan penafsiran terhadap al Quran sebagai teks suci yang menjadi pedoman paling dasar. Seperti halnya dalam pintu ijtihad yang konon sudah tertutup, tidak sedikit yang beranggapan bahwa umat muslim sekarang harus mengikuti ijtihad-ijtihad terdahulu yang sudah dinilai sempurna baik secara tekstual maupun kontekstual. Padahal, kenyataannya problem-problem zaman sebetulnya tidak pernah bisa diprediksi sekaligus disamakan dengan konteks masa lalu.
Menyikapi selentingan sebagian pondok pesantren (ponpes) yang menggulirkan statemen bahwa Gus Roy sebenarnya kurang begitu paham ajaran Islam, serta sangat tidak pantas memodifikasi salat dan melakukan ijtihad karena dia dulunya adalah seorang muallaf, bagi saya, orang yang berkata seperti itu tingkat pemahamannya terhadap Islam justru perlu dipertanyakan. Meski dulunya Gus Roy adalah seorang anak jalanan sekaligus preman yang dalam hidupnya selalu bergelut dengan kekerasan. Namun, seperti yang kita ketahui, Islam tidak pernah membeda-bedakan asal-usul seseorang yang menjadi pemeluknya. Dalam al Quran disebutkan bahwa Allah tidak pernah menilai hambanya sekadar berdasarkan fisik (ras), warna kulit, suku, tradisi, budaya, atau statusnya, melainkan tingkat ketaqwaanlah yang menduduki posisi terhormat di sisi-Nya. Ini pula yang terjadi dengan Gus Roy.
Salat, seperti kita ketahui adalah oleh-oleh yang dibawa Nabi Muhammad dari peristiwa Isra’ Mi’raj. Inti peristiwa itu adalah perintah kepada umat Muhammad untuk melaksanakan shalat lima waktu (al-Isra’: 78). Karena, salat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Intinya, bagaikan lautan luas tanpa batas, pengetahuan manusia hanyalah setetes dari pengetahuan Allah. Maka, apa yang diyakini Gus Roy pun seyogianya dipahami sebagai wujud beragamnya ruang tafsir itu sendiri.
Dimensi batin seseorang dalam melaksanakan ibadah memang tidak seharusnya direcoki dengan pemaksaan tafsir tunggal yang dalam hal ini otoritasnya hanya dimiliki MUI. Kita mestinya jangan hanya terpaku pada hal-hal yang lahiriah dari ibadah, karena unsur kedekatan dengan Tuhan itu tidak bisa dinilai dari aspek yang lahiriah saja.
Oleh karena itu, ritual peribadatan Islam dalam konteks spirituality religions dapat kita temukan pada pengalaman-pengalaman kehidupan kaum sufistik, seperti al-Ghazali, Ibn Arabi, Rabiah Adawiah, al-Hallaj, Ibn Maskawih, dan sebagainya, yang lebih condong pada aspek-aspek batiniah dalam agama, ketimbang aspek formalitas, sekalipun sebelumnya mereka telah bergulat secara mendalam pada masalah-masalah formalisme agama.
Itulah mengapa konsep-konsep Islam liberal seringkali digerojok di banyak kesempatan diskusi, seminar, dan dialog-dialog lainnya. Sebab, manakala tafsir keagamaan sudah dimulai dipatenkan, dibakukan, bahkan mencoba mengintrodusir ruang publik dengan tafsir teks-teksnya yang dominatif, pada saat itulah agama bisa dikatakan mengalami involusi (kemunduran) baik terhadap ajaran-ajarannya, lebih-lebih terhadap umat pemeluknya.
Abdullah Yazid
Peneliti di Divisi Agama dan Kebudayaan Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) Averroes Malang, dan Pemimpin Umum UKPM “Kanjuruhan” FKIP UNISMA
Sumber Berita http://www.icrp-online.org/wmprint.php?ArtID=107