Sastra Melayu

Kebudayaan Melayu sarat muatan kesusastraan, dan sastra lisan mengambil bagian terbesar setelah sastra tulis. Sastra lisan orang Melayu dikenal cukup indah dengan pilihan kata dan susunan kalimat yang elok. Ungkapan-ungkapan indah tersebut, biasanya dalam bentuk pantun, syair, gurindam, peribahasa, seloka dsb, yang sering diselipkan dalam bahasa komunikasi sehari-hari. Banyak di antara ungkapan-ungkapan indah tersebut mengandung petuah, nasehat, petunjuk dan contoh teladan, karena itu, sering digunakan sebagai media pengajaran dan pendidikan. Di kalangan orang-orang Melayu, ungkapan-ungkapan yang mengandung petuah dan nasehat disebut juga dengan tunjuk ajar.

Menurut orang tua-tua Melayu, sebagaimana disampaikan oleh Tenas Effendy, fungsi dari tunjuk ajar ini untuk membawa manusia ke jalan yang lurus dan diridhai Allah, sehingga selamat dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, kedudukan tunjuk ajar menjadi sangat penting dalam kesusastraan dan tradisi Melayu. Buku Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy ini, memuat ungkapan-ungkapan yang mengandung tunjuk ajar tersebut. Tenas cukup telaten dalam mengumpulkan dan menyusun ungkapan-ungkapan tunjuk ajar yang mulai jarang digunakan oleh masyarakat Melayu tersebut menjadi satu buku. Agar lebih sistematis, tunjuk ajar yang terangkum dalam buku tersebut kemudian ia klasifikasi ke dalam beragam tema, sesuai dengan kandungan isi masing-masing ungkapan.

Tunjuk ajar yang terangkum dalam buku ini berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan, mulai dari masalah keagamaan, sosial, kekeluargaan, etika, moral hingga politik. Misalnya, pantun mengenai rasa tanggung jawab, apalah tanda batang dedap / pohonnya rindang daunnya lebat / apalah tanda orang beradap / bertanggung jawab samapi ke lahat. (h.207) Contoh lain, misalnya pantun tentang musyawarah dan mufakat, pucuk putat warnanya merah / bila dikirai terbang melayang / duduk mufakat mengandung tuah / sengketa usai dendam pun hilang. (h.262)

Pembagian secara tematik yang dilakukan Tenas dalam buku ini disesuaikan dengan isi kandungan dari setiap ungkapan. Namun, bisa saja satu ungkapan memiliki beragam kandungan isi, sesuai dengan pemahaman dan penafsiran pembaca. Misalnya ungkapan, “bila hidup tidak mufakat, di sanalah tempat tumbuhnya laknat”. Oleh Tenas, ungkapan diatas dimasukkan dalam tema persatuan dan kesatuan, gotong royong dan tenggang rasa. Namun, bila diperhatikan, sebenarnya ungkapan di atas bisa dimasukkan pula dalam tema musyawarah dan mufakat. Sebagai pembaca, mungkin kita bisa berbeda pendapat dengan Tenas dalam hal kategorisasi dan pemaknaan setiap ungkapan ini. Namun, menurut Tenas, hal ini dapat dimaklumi, bahkan penting, mengingat perkembangan penafsiran harus sejalan dengan konteks masyarakatnya, sehingga ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai luhur itu dapat dipahami dan berfungsi dengan baik. Ringkasnya, walaupun beberapa ungkapan ini bisa ditempatkan secara fleksibel dalam beberapa kategori atau tema, tetapi kandungan ajarannya yang paling dalam tetap sama: sebagai pedoman dan petunjuk bagi orang Melayu.

Pada setiap tema dan kategori, Tenas memberikan keterangan pengantar tentang adat istiadat Melayu yang berhubungan dengan tema yang disajikan, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami nilai luhur yang terkandung dalam budaya Melayu. Tampaknya, upaya tematik yang diberikan Tenas hanya untuk mempermudah pembaca dalam menelusuri kandungan atau sebagian kandungan, dari setiap ungkapan yang disajikan, terutama syair. Selebihnya, pembaca dapat menafsirkan dan memahaminya sendiri.

Meskipun buku ini cukup tebal, namun Tenas mengakui bahwa, ungkapan-ungkapan yang disajikannya secara tematik tersebut belum dapat mengungkap seluruh jenis tunjuk ajar, sebab masih banyak sekali tunjuk ajar Melayu yang belum terjamah, terutama tunjuk ajar yang berkembang dalam masyarakat perkampungan. Setidaknya, kehadiran buku ini telah memberikan kontribusi besar dalam upaya melestarikan tamadun Melayu, terutama dalam kesusastraan, di tengah ketidakpedulian generasi muda pada warisan agung leluhurnya. Dalam konteks tersebut, buku ini menjadi sangat penting, sebab, mengutip Tenas, bila orang Melayu kehilangan tunjuk ajarnya, berarti mereka telah kehilangan jati diri dan nilai-nilai luhur yang selama berabad-abad telah mampu mengangkat harkat dan martabat Melayu. Selain itu, kehadiran buku ini juga penting dalam upaya memahami seni kesusastraan Melayu.
Membaca buku setebal 688 halaman ini, kita akan terbuai dan terlena oleh indahnya ungkapan-ungkapan Melayu. Keindahan ungkapan bukan saja terletak pada pilihan kata serta kalimat yang rancak, demikian kata Mahyudin Al Mudra dalam pengantar buku ini, tetapi lebih dari itu adalah pada makna yang terkandung di dalamnya. Buku ini cukup representatif untuk memahami adat istiadat Melayu.

Judul Buku : Tunjuk Ajar Melayu
Penulis : Tenas Effendy
Penerbit : BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2006
Tebal : xi + 688 halaman
Ukuran : 14,5 x 20,5 cm
Oleh : Abd. Rahman Mawazi
http://melayuonline.com/bookreview/?a=RkovbUhhUkVOSTQy=

Sastra Melayu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top