“Kenapa Jadi Gay?” Sebuah Refleksi Asal Usul Orientasi Seks

“Kenapa jadi gay?”
“Sejak kapan jadi gay?”
“Kalau deket-deket gay bisa ketularan nggak?”

Tiga pertanyaan di atas hanyalah sedikit dari yang dilontarkan peserta testimonial talkshow “LGBT, Kawan atau Lawan” dan “Being a Lesbian” yang dihelat Us Community September lalu. Dari pengalaman saya menghadiri beberapa testimonial maupun menjadi “narasumber” dadakan pada forum informal, saya mencermati hadirnya pertanyaan-pertanyaan yang selalu saja muncul seperti ketiga pertanyaan di atas yang seakan-akan menjadi pertanyaan “wajib” di setiap event testimonial LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transseksual). Dari sekian pertanyaan “wajib”, saya kira yang “paling wajib di antara yang wajib” adalah pertanyaan “Kenapa jadi gay?” Meskipun banyak literatur menjelaskan bahwa faktor bawaan dan lingkungan sama-sama berpengaruh dalam pembentukan orientasi homoseks, namun sampai sekarang pun hal ini masih menjadi perdebatan. Pun demikian jika saya kebetulan berkenalan dengan kawan gay. Perbincangan yang tidak pernah luput dibicarakan adalah tentang asal usul orientasi seks, yang biasanya diawali dengan “Aku jadi begini ini karena….” Beberapa menyebutkan faktor lingkungan yang “menjadikan” mereka begini, yakni mengalami “salah” asuhan orangtua, misalnya saja anak laki-laki yang diperlakukan sebagai perempuan atau sebaliknya, atau hilangnya salah satu figur orangtua, namun ada juga yang menyebutkan “Sudah dari sana-nya” menjadi gay.

Kembali ke soal testimonial, dari sini ada dua hal yang bisa disimpulkan. Yang pertama adalah antusisme masyarakat tentang isu homoseksualitas. Event testimonial umumnya menyedot antusiasme yang cukup tinggi, ditinjau dari sudut pandang kuantitas peserta yang hadir dan antusiasme mereka untuk bertanya. Mereka mengajukan berbagai macam pertanyaan, dari yang umum seperti ‘bagaimana mengenali sesama gay?’ hingga yang bersifat pribadi seperti asal usul hasrat sejenis, konflik yang dihadapi, sampai kriteria pacar. Bagi gay yang menjadi narasumber, hari itu ia seakan menjadi seorang selebriti dadakan (kalau memang sebelumnya ia bukanlah orang tenar) yang dikorek-korek seputar kehidupan pribadinya.

Kesimpulan kedua adalah minimnya pengetahuan masyarakat akan pengetahuan tentang homoseksualitas. Hal ini tentu saja tidak mengherankan, lha wong membicarakan seks secara terbuka saja masih dianggap tabu oleh mereka yang konservatif, apalagi membicarakan isu homoseksualitas yang “ditafsirkan sebagai abnormalitas dan/atau amoral” (Suryakusuma, 1991). Bila kita perhatikan, dalam keluarga (baca: budaya) homoseksualitas jarang sekali diajarkan oleh orangtua pada anak, kalaupun iya mungkin dibungkus oleh abnormalitas dan amoral itu tadi. Sebaliknya, sejak kecil anak sudah diajarkan untuk menjadi heteroseksual. Tentang ini saya teringat pada keponakan laki-laki saya yang ketika itu berusia 6 bulan. Ketika itu kami sedang bekumpul menimang sang keponakan yang kulitnya terlihat hitam. Mengomentari hal ini ibunya berkata, “Nggak papa, kan anak laki. Lagian cewek banyak kok ya”. Di sini terlihat bagaimana sejak dini anak telah diajarkan untuk menjadi heteroseks, tanpa ia diberi kesempatan (yang bisa dilakukan bila ia telah cukup dewasa tentunya) mengenali dan menerima orientasi seksualnya sendiri.

Antara dua hal di atas antusiasme dan minimnya pengetahuan masyarakat tentunya saling berkaitan: kuatnya ideologi heteroseksisme yang tertanam dalam struktur sosial mengakibatkan minimnya pengetahuan masyarakat, yang kemudian menimbulkan suatu antusiasme tinggi terhadap isu-isu minoritas seksual termasuk mempertanyakan asal usul orientasi homoseksual, sehingga itu tadi, event testimonial, yang meskipun sudah berkali-kali digelar, tetap saja mendapat animo tinggi masyarakat, dan pertanyaan seperti “Kenapa jadi gay?,” “Sejak kapan jadi gay,” akan selalu hadir untuk disodorkan pada si narasumber. Saya kemudian berpikir betapa hal ini menjadi suatu keberuntungan jika boleh disebut demikian bagi kalangan heteroseks, yang mana mereka tentu saja tidak perlu mempertanyakan kenapa kok menjadi heteroseks, apakah peran lingkungan lebih dominan dibandingkan peran gen, sejak kapan mereka menjadi heteroseks, dan serangkaian pertanyaan asal usul lainnya. Saya lantas berpikir lagi, jika suatu saat menggelar event serupa, mungkin perlu dihadirkan dua narasumber, yakni seorang gay dan seorang heteroseks, di mana pertanyaan yang berkaitan dengan asal usul hasrat seksual akan ditujukan kepada keduanya, dengan harapan membuka suatu wacana yang insightful tentang asal usul tersebut.

Jadi, tidak peduli apapun orientasi seksual masing-masing kita, tidak ada salahnya jika dari sekarang kita mulai berpikir dari mana datangnya asal usul orientasi seksual itu. Nah, sudahkan anda menemukan jawabannya?
Adi Nugroho

“Kenapa Jadi Gay?” Sebuah Refleksi Asal Usul Orientasi Seks

10 thoughts on ““Kenapa Jadi Gay?” Sebuah Refleksi Asal Usul Orientasi Seks

  1. Mo jadi gay atau ga itu cuma soal pilihan. Kalaupun kita bisa memilih takdir.. belum tentu ingin jadi gay.. tapi ketika kun fayakun!! apa yang terjadi bukan seperti apa yang kita bayangkan rasanyasulit!!

    Menghakimi kaum gay, waria, dan kaum homoseksual secara frontal rasanya bukan tindakan yang tepat. Kita tidak merasakan apa yang mereka rasakan kan?? Andaikan kita di posisi mereka dan kita menerima diskriminasi dari orang2 yang tidak suka, bagaimana rasanya?? Soal dosa dan sanksi itu merupakan persoalan individu dan privasi antara makhluk dengan penciptanya. Alasan Gay merupakan aib.. Loh?? Pliz deh… zaman sekarang masih ada yang lebih aib dibandingkan jadi gay toh??? Bandingkan video porno dengan jadi gay?? aib an mana?? Toh selama ini kaum gay tidak mengganggu kan?? cuma masalah orientasi seksualnya aja yang menjadi kontroversi.. !! Simpel aja… Saling menghargai, saling menghormati, perbedaan terkadang menjadi satu harmonisasi yang unik kok!!

  2. Terimakasih ya!!
    Memang masyarakat kita yang selama ini lebih terkenal keragamannya, belum bisa meneriba keberbedaan itu. Akan tetapi keberbedaan itu harus senantiasa diperjuangkan…
    😀

  3. akum gay adalah kaum yang jijik yang dibenci maha pencipta. lebih baik perasaan gay itu ada tahan lah dan terus berdoa. banyak kok yang sembuh kalo kita mau deket sama maha pencipata. dari pada masuk neraka mendingan menahan nafsu.

  4. semua lelaki berpotensi jadi gay. tapi ada yang bisa nahan dan ada yang menuruti hawa nafsunya sehingga menjadi gay….bertobatlah para gay demi keselamatan di akhirat

  5. Gay memang senantiasa menjadi perdebatan dalam ranah pengetahuan, agama, dan negara kita ini.
    Akan tetapi kalau kita mau jujur untuk merefleksikan diri kita, mungkin kita akan berfikir ulang. Tuhan memang menciptakan kita laki-laki dan perempuan. Secara riil kita juga melihat ada waria, gay, bisexs, transeksual, lesbi, interseks yang kesemuanya itu kita temukan di alam nyata kita ini. Saya tidak tahu mengapa tuhan juga memelihara orang-orang semacam itu?
    Kenapa juga kalau memang tuhan membenci orang-orang seperti itu kehadirannya di dunia dibiarkan saja. Bukankan tuhan maha kaya dan tuhan maha kuasa. Kalau memang tuhan maha kuasa dan mau menghancurkan keberadaan mereka masalahnya akan selesai dan manusia tidak akan lagi berfikir.
    Nah dalam posisi seperti ini, tentunya ada hikmah tersendiri mengapa tuhan menciptakan identitas mereka…
    Tuhan maha tau, akan tetapi manusia kadang sok tau tentang kehendak tuhan.. Mungkin tuhan memang sengaja memberikan pelajaran bagi manusia yang sudah diberi otak ini untuk berfikir panjang tentang penciptaannya.
    Kalau tuhan saja membiarkan keberadaan identitas mereka, mengapa kita sebagai manusia tidak bisa menghargai dan mengakui eksistensi mereka?
    :))

    1. Pemikiran yang sesat dan menyesatkan.

      Pertanyaan retorika yang tidak sesuai dan tidak dtempatkan dimana tempatnya.

      Manusia telah diilhamkan dan diberi naluri untuk bisa memilih mana yang baik dan mana yang benar.
      Ketika Tuhan menciptakan setan bukan berarti dia membenarkan apa yang dilakukan setan.
      Akan tetapi jadi ujian untuk manusia agar kita menjadi manusia yang lebih baik.

      Dan tentang homoseksualitas, bukan dari mana posisi kita menyikapinya, tapi bagaimana posisi kita menghindarinya.
      Jangan cari pembenaran akan sesuatu yang sudah pasti salah.
      Mungkin anda berfikir pemikiran masyarakat seperti saya sebagai pemikiran yg tertinggal karna tidak bisa menerima homoseksualitas, tapi apakah anda tahu.
      Jika orang tua anda setuju dengan homoseksualitas dan menerapkan nya,saya rasa anda tidak akan pernah ada dan menulis sebuah pernyataan yang sesat dan menyesatkan ini.

  6. itu sih namanya melanggr kodrat alam donk…….
    mansia kan brpsgan lain jens ,ibrtnya magnet kalau utara n utara kn slg tolak ,masa jeruk mkn jeruk…….
    kaum gay itu orang nya g konsekuen,,,,,,
    mereka tu g syukur nikmat,,,,,
    mank susah juga sih tp mereka kan bisa usaha klo emg bnr2 mau berubah,,,,,
    kan dimana ada kemauan di situ ada jalan……….
    berarti mereka tu g punya mau dunkz……!!!!!!!!!!!!!

  7. sebenarnya bukan lingkungan yang membuat orang tumbuh menjadi gay. tapi bakat lahiriah. nah pada saat seseorang dengan bakat gentis gay maka dia akan 100% menjadi gay bila didukung oleh faktor lingkugan. pada saat faktor lingkungan dan norma yang membentengi keras terlebih lagi agama maka kemauan yang bersifat genetik ini akan tertekan dan mulai terbentuk pilihan unuk lawan jenis walaupun keinginan untuk mencinta dan dicinta sesama jenis ngk akan pernah hilang. ingatlah, sebaiknya kita bersyukur karena norma agama dan sosial di lingkungan timur tempat kita tinggal masih miris dengan semua ini jadi ngk semua bakat-bakat menyimpang itu berkembang, masih ada yang berjuang keras untuk bisa hidup NORMAL.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top