Fenomenologi dalam perkembangannya menuju sebuah ontologi atas manusia telah membuka pada pandangan kita sebuah jalan tengah antara monisme materialistik dan monisme spiritualistik (Dondeyne).
Semua sistem pemikiran materialistik sepakat dalam satu hal: manusia dilihat sebagai hasil dari proses dan kekuatan kosmik, merupakan suatu benda di tengah-tengah benda-benda yang lainnya, sebuah plato atau titik pemberhentian dari evolusi kosmos yang tiada akhir.
Haruslah dijelaskan dulu bahwa sebuah filsafat yang berakar sangat dalam secara historis dan kuat, seperti materialisme, tidak bisa secara sederhana diabaikan atau dinilai sebagai sebuah perbincangan atas sesuatu yang tidak nyata. Namun, filsuf materialistik sendiri sebenarnya selama-lamanya kebingungan untuk menjelaskan eksistensinya sendiri dengan bantuan konsep-konsep yang digunakan untuk menjelaskan eksistensi obyek-obyek.
Kesulitan ini sebagian disebabkan pada fakta bahwa “benda-benda” tidaklah berfilsafat, apalagi berfilsafat materialistik! Materialisme senantiasa melewati subyektivitas manusia. Sebagai sebuah filsafat, materialisme menjadi sesuatu yang berarti sebuah bentuk “detotalisasi atas realitas” (Le Senne).
Titik lemah dalam argumen materialis ini menyediakan lawannya sebuah titik pendasaran yang sama sekali baru. Setiap spiritualis melihat hal yang niscaya sesuai dengan kerangka keutamaan subyektivitas. Jika tak ada sesuatu yang sungguh-sungguh eksis di luar obyek-obyek, fakta ini bahkan tak dapat dinyatakan. Kita hanya dapat membuat pernyataan karena manusia adalah seorang subyek dan bukan sebuah benda. Cogito sungguh-sungguh tak terbantahkan (Descartes).
Walaupun begitu, monisme spiritualistik melebih-lebihkan makna subyek; monisme itu cenderung memperbesar pentingnya subyek sampai-sampai mengasumsikan otonomi absolut dan mencapai status ego seperti Tuhan. Berhadapan dengan latar belakang ego raksasa ini, obyek-obyek dunia kehilangan kepadatannya; mereka menguap hanya menjadi tak lebih dari isi kesadaran. Filsafat eksistensial secara gamblang memahami kekuatan dan kelemahan gambaran monisme materialistik dan spiritualisme.
Karena itu, manusia tak bisa didefinisikan sebagai benda, juga bukan sebagai ego absolut, tetapi sebagai sebuah eksistensi, sebagai ada-yang-sadar-dalam-dunia, sebagai kesatuan implikasi timbal-balik antara subyektivitas dan dunia (Kwant).
Bersambung …
One thought on “Antara Monisme Materialistik dan Spiritualistik (12)”