Bobroknya Sistem Standardisasi UN

gambar

Ada 33 sekolah yang semua siswanya dinyatakan tidak lulus ujian nasional (UN). Fenomena ini sempat menggemparkan berbagai kalangan. Banyak pihak saling melempar prasangka. Ada yang menyebut itu terjadi lantaran ketidakjujuran siswa dalam mengikuti UN. Ada juga mengenai beredarnya pesan singkat (SMS) yang memberikan kunci jawaban salah.

Pihak kepolisian pun tengah mengusut penyebab terjadinya kasus ini. Banyak tafsir bermunculan, seperti yang mengindikasikan bahwa ini karena bocornya soal. Namun, hipotesis ini ditepis Diknas dengan argumen bahwa jika soal UN bocor, mengapa bisa salah semua menjawab soal? Inilah yang kemudian jadi bola liar, mengarah ke sana kemari.

Selain itu, perguruan tinggi negeri (PTN) di Malang mengambil langkah riil mengenai masalah ini, dengan sepakat menolak siswa dari SMAN 2 Ngawi dan SMAN Wungu, Madiun, yang mengerjakan UN secara tidak jujur. Siswa dari dua sekolah itu-yang telah diterima melalui jalur penjaringan siswa berprestasi seperti PMDK-akan langsung dicoret.

Sikap yang diambil PTN di Malang ini membuat kesan jika yang melakukan kesalahan adalah siswa. Yang selalu disoal ialah kejujuran siswa dalam mengikuti UN. Benarkah ini?

UN ini telah berlangsung selama tujuh kali sejak 2003. Selama rentang waktu itu, beragam kebijakan UN telah berganti-semula hanya memakai standar nilai minimal 3,25, sekarang jadi 5,50. Sebenarnya permasalahan UN bukan sekali ini saja. Sejak dulu problem mengenai UN telah menyeruak.

Saking sering terjadinya permasalahan UN, sehingga sudah menjadi semacam ritual tahunan yang selalu ada. Selalu saja pada masa UN dan pengumuman kelulusan, masalah mengenai kecurangan dalam UN muncul. Namun, masalah itu tidak seheboh yang terjadi seperti sekarang, yang sampai ada 33 sekolah siswanya tidak lulus semua. Barangkali ini jadi klimaks dari celah sistem UN yang telah berlangsung tujuh tahun.

Hal semacam ini bukan terjadi kali ini saja. Pada UN tahun 2007 juga ada siswa satu sekolahan yang tidak lulus semua. Seperti di SMKN Boking, Timor Tengah Selatan, NTT, yang siswa satu sekolah tidak lulus UN. Setelah pengumuman kelulusan ini, siswa mengamuk dengan melemparkan batu ke sekolahan. Kejadian dua tahun lalu ini mestinya bisa jadi bahan perenungan bagi penyelenggara UN sehingga tidak terjadi hal serupa tahun ini.

Membicarakan UN, satu hal yang tidak bisa dielakkan adalah mengenai kejujuran siswa dalam mengikutinya. Siswa selalu dituntut untuk jujur dalam mengerjakan soal-soal, dengan konsekuensi tidak lulus jika nilainya di bawah standar. Selain itu, hal yang terasa amat lucu adalah banyaknya tekanan dari sana-sini. Seperti tekanan untuk pengajar dalam mempertahankan gengsi jejak rekam sekolahnya. Sebab, jika banyak siswa yang tidak lulus, secara langsung sekolahan itu citranya bakal turun.

Ada sebuah fenomena yang lebih menarik untuk diulas, seperti yang diberitakan media massa pada 21 April lalu. Diberitakan bahwa jika ada siswa yang tidak lulus, Wali Kota Bekasi akan mencopot kepala sekolahnya. Bukankah ini sangat menggelikan di dunia pendidikan? Di tempat belajar kok malah ada sebuah intimidasi. Apakah hal yang tidak mendidik ini juga dipertontonkan kepada siswa di sekolah?

Kasus semacam ini sungguh sangat kontradiktif dengan keinginan menjadikan siswa jujur, juga pengajarnya. Sebab, untuk menjadi orang jujur, banyak aral yang mesti diterabas, dengan sederet konsekuensi yang menantinya. Jika melihat kasus itu, muncul kesan kuat jika kejujuran tidak menuntut sebuah konsekunsi darinya. Yang ada hanya anjuran normatif tentang kejujuran. Namun, dalam implementasinya, hal ini yang sering dinegasikan. Seperti yang diinstruksikan Wali Kota Bekasi itu, menuntut pihak sekolah untuk memudahkan kelulusan bagi siswa dengan cara sangat memaksa.

Jadi, dalam UN dituntut adanya kejujuran hanyalah kesia-siaan belaka. Makanya, kasus mengenai siswa yang tidak lulus di 33 sekolahan adalah wajar terjadi.

Tampaknya esensi dari pendidikan telah terlepas jauh dari konsep awalnya. Pendidikan (education) diturunkan dari bahasa Latin, educare, yang berarti memimpin maju. Lantas, apakah yang diterapkan dalam dunia pendidikan sudah mengarah ke sana, yaitu pendidikan yang memimpin maju, pendidikan yang mengarahkabn siswa untuk maju?

Dalam UN saja, yang ditargetkan hanya nilai akhir yang sesuai standar yang diharapkan. Pendidikan belum bisa mengarahkan siswa untuk memimpin maju, seperti definisi awalnya. Sekarang pendidikan hanya disibukkan oleh penerapan standar kelulusan, dinaikkan-diturunkan. Konsep yang diacu pun sekadar memodifikasi pemakaian standar ini. Pernah pada awal penerapan UN mamakai patokan nilai minimum yang mesti dilampui. Hingga sekarang memakai nilai minimum, namun nilai itu dirata-rata. Begitulah konsep pendidikan yang sekarang lagi digandrungi.

Sayang, dalam pemakaian standar, pemerintah terjebak pada prestasi dari kenaikan standar tiap tahunnya. Hal ini menisbikan proses siswa untuk berpikir kreatif. Juga mengenai kapasitas siswa, sehingga yang terjadi adalah pikiran-pikiran pragmatis, yang sekadar berpikir untuk melampaui target.

Konsep pendidikan semacam ini menjadikan siswa sulit untuk bisa memimpin maju. Guru pun tidak bisa mengarahkan pemikiran-pemikiran yang diciptakan oleh muridnya. Sebab, guru pun terjebak dalam pikiran pragmatis, sekadar berpikir bagaimana caranya agar murid-muridnya bisa lulus.

Semoga dari kejadian ketidaklulusan siswa di 33 sekolah itu mampu memberi ilham bagi semua-pemerintah, Diknas, dan siswa-untuk menata kembali konsep pendidikan.***

Fitria Ardiansyah
Aktivis Institute of Society and Democracy (IrCiSod) Jember


Suara Karya, Kamis, 25 Juni 2009

Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=229928

Sumber Gambar: http://www.kompas.com/data/photo/2008/04/30/2767429p.jpg

Bobroknya Sistem Standardisasi UN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top