Kemampuan bersaing dalam dunia kerja global siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) Indonesia bisa dibilang lumayan.
Sebagai contoh, dalam keikutsertaan lomba keahlian atau keterampilan siswa kejuruan tingkat dunia, Worldskills International 2009, di Calgary, Kanada, beberapa waktu lalu, Indonesia merebut posisi ke-22 dari 50 negara peserta.
Pelajar Indonesia yang ikut dalam 20 cabang lomba keahlian meraih sembilan medali perunggu, meski posisinya masih di bawah negara-negara ASEAN, seperti Thailand dan Singapura. Dalam kompetisi di Jepang tahun lalu, Indonesia di posisi ke-21 dari 52 negara. Sementara itu, dalam ASEAN Skill Competition yang sudah enam kali diikuti, prestasi Indonesia terus meningkat, bahkan mampu menjadi juara satu.
Berbagai bidang keahlian di SMK saat ini berkembang pesat dan bisa menjadi keunggulan Indonesia. Permintaan lulusan SMK di bidang tertentu juga cukup tinggi. Sayangnya, SMK masih menjadi pilihan kedua bagi masyarakat kita. Tidak banyak orang tua kita tertarik menyekolahkan anak-anak mereka di SMK. Kalaupun ada, sebagian besar adalah anak-anak petani, nelayan, dan kalangan ekonomi menengah ke bawah. Tentu ini menjadi tantangan bagaimana mengubah paradigma masyarakat kita agar SMK, politeknik, community college, dan sejenisnya bisa menjadi primadona tempat menuntut ilmu bagi anak-anak kita di kemudian hari.
Pendidikan kejuruan sebenarnya memiliki beberapa kelebihan. Pertama, lulusannya dapat mengisi peluang kerja pada dunia usaha/industri, karena terkait dengan satu sertifikasi yang dimiliki melalui uji kemampuan kompetensi. Dengan sertifikasi tersebut mereka mempunyai peluang untuk bekerja. Kedua, lulusan Pendidikan Menengah Kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sepanjang lulusan tersebut memenuhi persyaratan, baik nilai maupun program studi atau jurusan sesuai dengan kriteria yang dipersyaratkan.
Bisa Bersaing Global
Salah satu faktor yang menyebabkan SMK masih dipandang ”sebelah mata” adalah karena ketidakmampuan alumninya menempati posisi-posisi strategis. Karier yang tak jauh-jauh dari profesi mekanik, tukang batu, tukang kayu, pelayan, dan berbagai profesi tingkat dasar sebagai pekerja, sedikit banyak telah membentuk citra bahwa sekolah di SMK itu tidak menjanjikan.
Tentu ini adalah sebuah tantangan yang harus dijawab. Jika di dalam proses pembelajaran di SMK memang tidak atau belum ada upaya untuk “memformat” peserta didiknya untuk dipersiapkan menjadi pejabat, manajer, direktur, dan lain-lainnya, “pekerjaan rumah” ini harus dituntaskan.
Harus dibuktikan bahwa dengan latar belakang pendidikan SMK pun tak menghalangi menjadi manajer, general mnajer, bahkan direktur di sebuah perusahaan, atau bisa menjadi camat, wali kota, atau gubernur, karena pembekalan untuk itu sudah diberikan saat menjalani proses belajar di SMK.
Di samping itu, berbagai program yang bisa “mendongkrak” kemampuan dan semangat mereka untuk melanjutkan studi selepas SMK, misalnya melaui penelusuran minat dan bakat, kemampuan intelektual/IQ, atau bimbingan-bimbingan intensif masuk ke perguruan tinggi, perlu mulai dipikirkan.
Alumni SMK adalah produk. Ia akan mengikuti sifat sebuah produk dalam suatu kancah perdagangan. Jika suatu produk hanya laku untuk konsumen kelas bawah, apresiasi yang muncul juga terbatas dari kalangan bawah, demikian pula sebaliknya. Pertanyaannya, bagaimana produk-produk SMK dengan segala kekurangan dan kelebihannya “dipoles” sehingga bisa memiliki nilai “jual” yang tinggi, yang pada akhirnya menjadi terpandang di masyarakat? Karena suka atau tidak, sadar atau tidak, saat ini kita sudah masuk pada sebuah era, di mana citra, tren, pride, dan sejenisnya menjadi sangat menentukan pilihan masyarakat kita.
Langkah Penting
Menentukan prioritas keterserapan lulusan, graduates absorbability priority (GAP)- adalah penting. Dengan langkah ini masyarakat pengguna akan memperoleh informasi secara terperinci perihal “mau diarahkan ke mana atau ke jenis pekerjaan apa” siswa-siswa kita selepas SMK.
Penjelasan ini dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat skala prioritas keterserapan tamatan. Walaupun hal ini sebenarnya telah ada dan menjadi strategi Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, namun sejalan dengan otonomi pendidikan, hal ini bisa saja dilakukan karena masing-masing daerah memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda satu dengan yang lainnya, serta dinamisasi permintaan “pasar” terhadap lulusan SMK relatif cukup tinggi.
Dengan menentukan prioritas keterserapan tamatan lebih dini, pihak pengelola sekolah dapat dengan mudah mendesain sistem-sistem yang dibutuhkan untuk menjalankan program pendidikan dan pelatihannya sejak fase rekrutmen siswa baru hingga mereka tamat dari SMK tersebut. Perubahan pun perlu dilakukan pada sistem rekrutmen siswa baru SMK, mulai dari tahap promosi, pendaftaran, hingga pada tahap seleksi. Tujuannya adalah agar pihak sekolah bisa memperoleh input yang memiliki kualitas kemampuan, baik dari segi intelektual maupun finansial yang bisa diandalkan. Perlu diingat bahwa sistem rekrutmen tersebut tentu harus tetap mengacu kepada GAP yang telah didesain sebelumnya.
Dalam proses seleksi siswa baru diharapkan pengelola SMK tidak hanya menyeleksi kemampuan intelektual dan finansial calon siswa, tetapi juga minat (keinginan dia setelah tamat SMK, mau bekerja atau melanjutkan studi ke perguruan tinggi) serta bakat yang dimiliki anak tersebut. Ini merupakan awal dari program pemetaan, pengembangan, dan penelusuran karier bagi setiap siswa pada saat masuk/rekrutmen di SMK.
Dengan cara ini bisa diketahui dengan pasti apa yang dibutuhkan dan selayaknya diberikan bagi mereka sejak mulai duduk di bangku SMK. Bagi yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk melanjutkan studi selepas SMK, pihak sekolah dapat memberikan penanganan khusus berupa kurikulum tambahan yang bisa mendukung keinginan mereka, selain pelajaran-pelajaran keahlian sesuai dengan jurusan mereka masing-masing.
Dengan menerapkan pendekatan di atas, pihak SMK akan mampu mendapatkan, tidak hanya calon-calon siswa yang memiliki kemampuan intelektual yang bisa diandalkan, tetapi juga calon-calon siswa yang telah memperoleh kepastian akan karier mereka setelah menyelesaikan pendidikannya di SMK. Upaya mengomunikasikan keberadaan SMK harus dilakukan secara terus-menerus melalui berbagai ajang, lokal maupun nasional, seperti Promosi Kompetensi Siswa dan acara-acara lainnya.
Dengan komunikasi secara terus-menerus diharapkan masyarakat akan menyadari bahwa sesungguhnya banyak sekali kelebihan yang dimiliki SMK dan yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
DARWIS SYAHRUDDIN
Penulis adalah praktisi pendidikan, alumnus University of Adelaide Australia.
Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 09 Oktober 2009 14:08
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/daya-saing-siswa-sekolah-kejuruan-kita/