BANGSA Indonesia yang menghadapi berbagai krisis besar dewasa ini akan sangat tertolong untuk keluar dari krisis itu manakala berani mengubah strategi dari cara-cara konvensional menjadi progresif dan luar biasa, termasuk dalam menjalankan hukum.
Cara berhukum yang progresif dan luar biasa itu sebenarnya menjadi bagian inheren dalam hukum. Ia tak dapat disebut sebagai cara-cara yang menyimpang (anomalous), tetapi tetap merupakan cara berhukum yang sah. Hanya mereka yang terjebak dalam pikiran positivistik-legalistik yang berpendapat berhukum secara luar biasa itu salah.
Cara berpikir seperti itu amat dangkal dan menjadi penghambat saat hukum dihadapkan pada berbagai persoalan besar, seperti Indonesia dewasa ini. Penerapan hukum secara legalistik semata adalah mempertahankan keadaan dan kekuasaan yang mapan (the establishment), tetapi tidak menjawab kebutuhan bangsa yang sedang bergolak.
Oliver Wendell Homes, hakim agung legendaris dari Amerika Serikat, berkali- kali mengatakan, hukum itu bukan kitab matematik, bukan berpikir silogisme, tetapi sarat dan kuyup dengan pengalaman.
Penerapan hukum, menurut kata-katanya, menjadikan hukum berhenti dan itu berarti ”malapetaka” bagi bangsa Indonesia yang harus bergulat keluar dari krisis. Pengalaman memberi peluang untuk menjelajahi lorong-lorong dan cara baru serta membuat berbagai eksperimen untuk menghadapi tantangan dan persoalan. Pengalaman adalah dinamis dan itulah yang dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini.
Hukum di tingkat lokal
Penelitian Bank Dunia (Menciptakan Peluang Keadilan-Terobosan dalam Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum di Tingkat Lokal, 2005) melaporkan tentang jalannya hukum di tingkat lokal dan pelosok Indonesia yang penuh kreativitas.
Jaksa, polisi, dan hakim kecil di pelosok, atas prakarsa sendiri, melakukan hal-hal di luar job description mereka yang formal dan konvensional. Mereka berusaha menjadikan tugas mereka lebih efektif daripada hanya berhenti mengikuti petunjuk formal. Penyelesaian perkara menjadi lebih cepat dan pendek meski tetap didasarkan pada hukum yang ada.
Seorang jaksa di Cilacap berhasil menyelesaikan kasus korupsi yang ditangani sejak penyusunan BAP hingga mengajukan banding ke PT sampai mengeksekusi pelakunya hanya dalam waktu empat setengah bulan, di mana rata-rata waktu yang diperlukan untuk kasus yang sama adalah dua tahun. Mereka telah bekerja beyond the call of duty atau beyond the call of rule.
Faktor manusia
Saat ini DPR juga menghadapi pilihan apakah ia akan menjadi lembaga yang bekerja secara ”biasa-biasa” atau progresif untuk menjawab kebutuhan bangsanya. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) harus selesai akhir tahun 2009. Dari kalangan DPR terdengar alasan, mereka menghadapi masa reses. Jadwal-jadwal panitia khusus juga sudah ditentukan dan harus dipatuhi.
Memang itu merupakan alasan formal yang sah dan jika dipatuhi juga tidak salah, tetapi tidak bagi DPR yang ingin menjadi progresif. Sekalian prosedur formal itu dapat dan boleh dipinggirkan demi tujuan lebih besar.
Prosedur, tata cara formal, dan sebagainya menjadi nomor dua, sedangkan kebutuhan bangsa untuk memiliki UU Tipikor adalah yang utama. Itulah yang dilakukan hakim dan jaksa kecil di pelosok. Atas inisiatif sendiri, mereka ingin menyelamatkan pamor hukum yang karut-marut sehingga kejaksaan dan pengadilan menjadi lembaga yang kembali dipercaya rakyat.
Pada dasarnya, hukum hanya teks atau skema dan baru menjadi suatu living institution jika digerakkan manusia. Faktor manusia menjadi amat penting dan tak dapat diremehkan. Hukum memiliki pilihan, apakah akan bekerja sesuai dengan teks saja atau menjadikan teks sebagai awal untuk melakukan hal-hal yang kreatif dan luar biasa. Jaksa, hakim, dan polisi kecil di pelosok telah memilih menjalankan tugasnya beyond the call of duty. Dengan cara itu, mereka telah bertindak nyata untuk menyelamatkan hukum di Indonesia dari kemerosotan dan karut- marut lebih buruk lagi.
Kini terserah DPR apakah akan bekerja biasa-biasa saja atau menjadikan DPR sebagai lembaga progresif yang secara berani dan kreatif menjawab tantangan bangsanya.
Satjipto Rahardjo, Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/20/00322828/dpr.yang.progresif
Kompas, Jumat, 20 Februari 2009