Kita memang harus menyadari kenyataan adanya gerak cepat. Sebab, ia bukan lagi akan terjadi pada masa depan, tetapi sudah berlaku sekarang. Dengan kata lain, dewasa ini dunia sudah dikuasai oleh “dromokrasi”.
Pada 15 Juli 1985, jadi 14 tahun yang lalu, sudah saya ingatkan kedatangannya dalam satu artikel yang dimuat oleh harian Sinar Harapan. Maksud saya supaya kita bersiap-siap, terutama di bidang pendidikan, agar kita menguasai kekuatan gerak cepat. Sebab bila tidak, kita pasti akan dilindasnya. Karena ternyata tidak ada yang menanggapinya secara serius ketika itu, sedangkan sekarang sudah ada kegelisahan mengenai kekuasaan gerak cepat tadi, saya pikir ada baiknya saya sajikan kembali pokok-pokok buah pikiran futuris saya itu.
Sama halnya dengan istilah “demokrasi”, istilah “dromokrasi” saya bentuk dari dua kata Yunani, yaitu “dromos” yang berarti “kecepatan” (speed) dan “kratos” yang berarti “pemerintahan” (rule). Maka analog dengan istilah “demokrasi”, istilah “dromokrasi” berarti “pemerintahan dari kecepatan, oleh kecepatan, untuk kecepatan” – the government of the speed, by the speed, for the speed”.
Sejak dahulu kala, makhluk manusia ternyata telah mendambakan kecepatan dan berusaha mewujudkannya. Bukan kebetulan kalau dua ribu tahun sebelum Kristus, Firaun (Pharao) Mesir menggunakan “pengait” dan “cambuk” sebagai lambang kekuasaan dan pemerintahannya. Dengan pengait orang menahan, dengan cambuk orang menggerakkan. Jadi, sejak semula pemerintahan sudah dikaitkan dengan pengaturan, sedangkan mengatur ber- arti menggerakkan, menata, dan mengurus gerakan.
Karena sama-sama mengenai pemerintahan, terjalinlah suatu kaitan yang erat dan timbal-balik antara dromokrasi dan demokrasi. Kecepatan meningkat dan memasyarakat melalui demokratisasi. Pada gilir-annya, dromokrasi mempercepat, mempermudah, dan memperlancar pelaksanaan dan penghayatan demokrasi berkat, antara lain kecepatan penyampaian berita mengenai apa saja kepada publik. Kalau dahulu jarak dan ruang menghabiskan waktu, berkat kecepatan kini waktu menelan jarak dan ruang. Dromokrasi telah meramu jarak-ruang dan jarak-waktu demi kepentingan dan kebaikan hidup manusia. Maka itu, Jeffrie Geovanie mendambakan seorang presiden yang bermental sigap dan terbiasa bekerja cepat.
Telepon
Sebenarnya, kota-kota kita, selaku permukiman penduduk, secara berangsur-angsur sudah diorganisasikan, ditata, dan hidup bersendikan sarana dromokrasi, yaitu telepon, radio, televisi, faksimile, komputer, internet, pelabuhan, stasiun, bandar udara, dan alat-alat transpor bermotor dan serbamasinal, serta kendaraan pribadi yang terus meningkat.
Namun, ternyata yang kita siapkan dan bangun itu hanya sarana dan lambang-lambang kecepatan, bukan kecepatan itu sendiri. Kalaupun kita “berhasil” memproduksi kecepatan melalui sarana-sarana tersebut, ia tidak dapat kita manfaatkan sepenuhnya atau dinikmati dengan biaya yang relatif jauh lebih besar daripada seharusnya.
Biaya itu berupa kecelakaan, tumpukan kejengkelan, kehilangan waktu, dan penghamburan dana. Hal ini terjadi, karena semua sarana itu kita bangun tanpa menyadari hakikat dromokrasi hingga secara fungsional tidak sinkron satu sama lain. Kita sudah puas dengan pengadaannya saja tanpa memikirkan kaitan timbal-balik antara kegunaan setiap jenis sarana, lebih-lebih berhubung setiap sarana sejak awal sudah berada dalam yurisdiksi departemental yang berbeda.
Kesadaran yang dikehendaki itu terutama mengenai hakikat dari faktor-faktor yang menentukan keberhasilan jalannya dromokrasi. Adapun faktor-faktor itu, pada pokoknya, adalah semangat ilmiah, kreativitas, kesadaran waktu dan ruang, disiplin, serta berpikir integratif.
Semangat ilmiah menentukan sekali keberhasilan dromokrasi. Perkembangan kecepatan adalah fungsi dari teknologi dan ilmu pengetahuan, sedangkan kedua unsur tersebut lahir dari semangat ilmiah. Bila iptek dapat dibeli, semangat ilmiah yang melahirkan kedua unsur kemajuan itu jelas tidak mungkin dibeli. Ia harus dipupuk dan dikembangkan sendiri oleh bangsa yang ingin memilikinya melalui ketekunan mengembangkan nalar, belajar keras, dan bekerja keras.
Kreativitas terkait erat dengan semangat ilmiah mengingat ilmu pengetahuan yang lahir dari semangat ini pada hakikatnya tidak concern dengan objek-objek fisik (realitas), tetapi dengan bentuk-bentuk ide yang adalah bersifat abstrak. Maka, orang yang cara berpikirnya dibina oleh semangat ilmiah selalu terdorong untuk berpikir kreatif, membuat invensi, karena penalarannya yang kritis cenderung berusaha menyempurnakan ide menjadi semirip mungkin dengan realitas yang digambarkannya.
Invensi benda yang disebut “roda” meriwayatkan sekaligus usaha penyempurnaan dan kreativitas tadi yang hasilnya telah merevolusikan dromokrasi. Terjadilah satu lompatan besar dalam tingkat kecepatan di daratan. Abad XIX membangun dan mengorganisasikan industri kecepatan. Mesin uap menghasilkan suatu perkembangan kecepatan yang fantastik, menurut ukuran zamannya, tidak hanya untuk gerakan di darat, tetapi juga di lautan.
Dalam perspektif sejarah, penerbangan angkasa luar sebenarnya merupakan lanjutan belaka dari penemuan roda itu. Jadi, bila prasejarah adalah “berjalan” dan masa sejarah adalah “menggelinding”, maka sekarang ini merupakan protosejarah dari “terbang”. Dengan terbang ini, orang mampu bergerak lebih cepat dari kecepatan suara dan masih terus berusaha melaju secepat gerakan cahaya.
Kecepatan jelas berurusan dengan “waktu”, karena bersama-sama dengan “jarak”. Faktor inilah yang dipakai sebagai pengukur perkembangannya. Dan betapa lemahnya kesadaran bangsa kita mengenai kehadiran, penggunaan, dan pernilaian “waktu” ini. Jam tangan keren yang membelit tangan lebih banyak berfungsi sebagai perhiasan atau simbol status ketimbang sebagai alat petunjuk waktu. Hal ini tercermin dalam praktik “jam karet” di kalangan kita, dan kemelesetan timing yang sering terjadi di antara aneka ragam connecting services.
Mengingat alam tropik tidak membantu peningkatan kesadaran itu maka pendidikan yang mencerahkan terpanggil untuk melakukannya. Sejak dini anak-anak kita perlu dibiasakan untuk mengingat bahwa “waktu” adalah satu-satunya aset anugerah Tuhan kepada setiap mahluk manusia yang tidak bakal ditemukan kembali bila telah diabaikan (lewat) begitu saja.
Disiplin
Kemudian ada faktor “ruang” dalam rumus kecepatan. Artinya, usaha memproduksi dan menciptakan kecepatan pada akhirnya selalu terbentur pada “ruang” yang dapat didiami oleh manusia, karena kecepatan itu sendiri selalu berusaha mendekati permukiman manusia. Setiap sarana kecepatan memerlukan ruang dan sarana pendukung tambahan, yang pada gilirannya membutuhkan ruangan baru pula. Sedangkan, ruang tidak elastik. Pengadaan ruang baru hanya mungkin dengan mengubah penggunaan yang sudah berlaku terhadap ruang yang sama. Bila demikian, produksi kecepatan cenderung untuk mempercepat dan memperkuat dua akibat sampingan, yaitu “perubahan” dan “kepenuhsesakan” (crowdedness).
Lalu masih ada faktor “disi- plin”. Orang cenderung menyalahkan kecepatan sebagai sumber kecelakaan. Menurut penelitian mengenai hal ini di negeri-negeri maju, ketiadaan disiplin yang sebenarnya menjadi sumber utama kecelakaan yang ada hubungannya dengan pemanfaatan kecepatan, betapa pun tingginya kecepatan itu.
Disiplin tidak hanya mengenai konsumen kecepatan, juga produsennya, pengatur, dan pengawas kecepatan itu sendiri. Sebab di alam demokrasi, yang perlu didisiplinkan adalah kebebasan dan kemandirian dalam memanfaatkan kecepatan dalam berdromokrasi. “Kontrak sosial” tidak hanya berlaku bagi kesehatan demokrasi, ia juga dituntut demi kesehatan dan keselamatan dromokrasi. Bukankah hakikat dari setiap “kratos” adalah disiplin. Bila tidak, ia akan berubah menjadi anarki. Dan betapa lemahnya faktor disiplin itu di negeri kita. Maka ia perlu ditegakkan melalui law enforcement.
Akhirnya, kebiasaan berpikir integratif merupakan satu keniscayaan, terutama di kalangan elite penguasa yang berwenang membuat perencanaan. Jelas, diperlukan adanya suatu perencanaan yang terpadu bagi pelaksanaan yang correct dari dromokrasi. Perencanaan bukanlah ciri khas dari pemerintahan totaliter. Negara demokrasi juga memerlukannya sebab ia tidak berlawanan dengan kebebasan pribadi. Ia bahkan dibuat agar tidak menjadi negatif dan destruktif bagi kebebasan pribadi lainnya.
Renungan yang saksama mengenai faktor-faktor pokok yang menentukan keberhasilan dromokrasi dengan sendirinya menjelaskan betapa besarnya peran pendidikan yang diperlukan untuk itu. Kita sekarang sudah berada pada era dromokrasi tanpa persiapan yang relevan untuk itu. Ia semakin menantang kita!
Daoed Joesoef
Penulis adalah alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
Sumber: Suara Pembaruan, 28 April 2009
http://202.46.159.139/index.php?detail=News&id=7635
pesta demokrasi suda berlangsung. namun proses rekaitulasi suaru hngga hari ini masi banyak menuai sorotan. ada yang bilang bahwa masih terjadi kesalahan prosedural, dan ada juga yang menyatakan bahwa proses demokrasi belm matang di Indonesia. dengan berbagai komentar dimedia elktronik saya berpandangan bahwa ini merupakan sebagai sebuah bentuk normalisasi demokrasi. tetapi ketika persoalan demkrasi menjrus pada persoaln yang tidak bisa diselesaikan maka bukan lagi pada proses pendewasaan tetapi ada sesuatu yang perlu dibenahi dinegara ini. karena justru kmungkinan pemicu munculnya persoalan yang tidak ditemuka titik penyelesaiannya ada pada pokok-pokok yang ma tidak mau harus diselesaikan kalau kita mau agar seluruh masalah ini tidak tersu berlarut.
banyak yang menilai bahwa masalah proses, masalah penyimpangangan dari kebijakan, dan masih banyak masalah-masalah lain yang merupakan pemicu masalah yang ada saat ini. tetapi suatu hal yang ingin saya utarakan bahwa persoalan ini karena beberapa faktor:
1. obsesisi mendapatkan kekuasaan
2. sistem politik yang belum terstruktur dengan baik
3. pengakuan terhadap nilai keadilan dan kejujuran belum mampu diterima sebagian besar masyarakat.
4. jiwa skeptis yang terlalu tinggi.
masalah ini merupakan maalah yang sanga kompleks. dimana penyelesaian merupakan langkah yang masih sangat membutuhkan jalan yang sangat panjang….