Seberapa banyak yang bisa diterangkan melalui filsafat baru ini? Para filsuf sepanjang zaman telah berusaha mengungkapkan makna hakiki dari realitas. Jangkauan luasnya realitas yang bisa diterangkan oleh sebuah filsafat telah ada pada tahap pertama kemunculannya. Semua kemasukakalan dan ketidakmasukakalan dari sebuah sistem pemikiran dapat dilacak ke permulaan sistem tersebut. Sebagai misal, ketidakmampuan materialisme dapat dengan mudah dilacak kembali pada titik tolaknya yang implisit ataupun eksplisit. Kita bisa katakan bahwa ketinggian dan kedalaman pemahaman yang bisa disajikan filsafat pada kita secara hakiki ditentukan oleh “fakta primitif” dari filsafat tersebut. Apa yang kita maksud dengan hal ini?
“Fakta Primitif” Sebagai Prinsip Penyatu
Makna “fakta primitif” dijelaskan oleh Dondeyne, yang memperlihatkan bahwa setiap filsuf besar memiliki titik tilikan pusat, sebuah intuisi asli yang dengannya filsafat menciptakan kejelasan atas kompleksitas realitas. Dondeyne memperlihatkan kebenaran berlakunya hal ini pada skolatisisme, sebagaimana juga pada filsafat Descartes, Kant, Hegel, dan Bergson. Tak ada filsafat yang bahkan merasa puas untuk tetap diam tak bergerak di hadapan kompleksitas realitas asli yang melimpah dan yang saat itu ada. Filsafat semacam itu, jika ada, tak akan bisa melampaui lebih dari sebuah deskripsi yang serampangan; filsafat itu tak lebih dari “sebuah kisah yang diceritakan oleh seorang idiot.” Filsuf mencoba untuk mencapai suatu kesatuan tertentu yang melandasi keragaman; dia berusaha untuk menyingkap struktur, tujuannya ialah untuk memahami (Brunschvicq). Filsuf tidaklah bergerak mula-mula dengan sebuah skema partikular yang di dalamnya dia meletakkan bagaimana pemahaman ini akan dijalankan. Intuisi pemandu bagi pemikirannya tidaklah pertama-tama dipikirkan secara sadar dahulu dan lalu selanjutnya diterapkan. Tak terlalu berlebih jika kita katakan bahwa filsuf secara hakiki memiliki sebuah prasangka bahwa sebuah pendekatan tertentu akan terbukti membuahkan hasil. Namun, semua itu berlangsung tanpa pertimbangan intelektual yang mendalam secara sadar, tanpa sebuah pemahaman yang terang atas apa yang sedang dia lakukan, ke mana itu akan mengarahkannya, dari mana intuisi dasar ini dilahirkan, dsb. Acapkali sterilitas yang nyata pada bentuk pemikiran yang lebih awal yang membentuk impuls tersembunyi menuju cara-cara baru berpikir. Namun, cara baru berpikir ini seringkali tetap gelap pada dirinya sendiri, sementara dia memancarkan cahaya yang remang-remangnya pada persoalan-persoalan klasik umat manusia.
Jadi bisa saja terjadi bahwa seorang psikolog menjadi dengan segera sadar akan sterilitas penjelasan fisiologis mengenai pubertas, sementara pada saat yang sama, dia menjadi secara ragu-ragu sadar akan beberapa jalan lain untuk melihat pada persoalan itu yang menjanjikan pandangan mendalam dan makna-makna yang baru. Akan tetapi, selama transformasi ini dia tak pernah kehilangan pandangan atas persoalan pubertas. Dia tidak melupakan tema persoalannya dengan tujuan untuk menguji hakekat atau proses dari intuisi. Dia perlahan-lahan melihat persoalan pubertas dalam sebuah cahaya baru, walaupun begitu, dia tidak lalu beralih persoalan kepada pengujian atas cahaya yang di dalamnya sekarang persoalan itu terlihat! Cahaya ini hanya menjadi tema penelitian yang-kemudian. Penelitian ini biasanya tidak dilangsungkan oleh orang yang “menemukan” cahaya ini, atau yang telah menggunakannya. Jadi kita bisa memahami bagaimana bisa bahwa filsafat yang dikembangkan oleh Husserl dan Heidegger dapat dipahami secara lebih baik oleh orang-orang lain ketimbang oleh penciptanya sendiri.
Eksistensi sebagai Semi-Kegelapan
Tak satupun dari penjelasan sejauh ini yang akan mengejutkan kita. Kebanyakan dari apa yang terjadi dalam kehidupan manusia berlangsung dalam semacam senja. Sejauh dia merupakan eksistensi yang sadar, manusia mengerti apa yang dia lakukan; namun, dalam makna yang lain dia tidak memahaminya. Dia tidak lepas dari dirinya sendiri, tetapi dia juga tidak sepenuhnya transparan bagi dirinya sendiri. Berfilsafat juga merupakan sebuah bagian dari hidup, dan keremang-remangan dan keburaman tidaklah aneh. Sebuah cara baru berfilsafat menandakan sebuah cara baru hidup. Dan tak ada kehidupan, tak ada jalan hidup, yang tidak disertai dengan keremang-remangan dan transparansi, oleh cahaya dan kegelapan. Kita juga harus ingat bahwa tugas pemikiran kita yang pertama ialah untuk mengungkapkan realitas; baru kemudian pemikiran kita berbalik kepada dirinya sendiri untuk mengklarifikasi dirinya sendiri. Cara dimana realitas diungkapkan baru muncul “pasca fakta” pengungkapan obyek secara cermat.
Sebuah filsafat yang partikular memulai jalannya sebagai sebuah gerakan tertentu, sebuah gaya berpikir, dan hanya melalui pada saat yang kemudianlah, kita mencapai sebuah pemahaman mendalam yang jelas mengenai apakah yang sebenarnya dimaksudkan oleh gerakan filosofis ini. Pada awalnya kita hanya mendapati sebuah gaya tertentu dan masih tanpa sebuah konsep “fakta primitif” yang melukiskan secara terang yang melalui itu gaya itu menjadi apa adanya dia. Sejauh yang berkaitan dengan filsafat fenomenologis eksistensial, persoalan “fakta primitif” ini termasuk masa silam. Titik rujukan yang sentral dari gerakan ini, dari gaya berpikir ini menjadi jelas secara perlahan-lahan setelah eksistensialisme Kierkegaard dan fenomenologinya Husserl disatukan dalam pemikiran Heidegger. Intuisi fundamental dari gerakan ini tertuang dalam ide tentang eksistensi, atau hampir sinonim dalam ide tentang intensionalitas.
Bersambung
bapak/ibu
saya dengan mirza
mohon untuk melanjutkan article ini, karena saya sangat tertarik dengan fenomenologi eksistensi dan juga karena saya berencana untuk mengambil skripsi dengan teori tersebut.
sekali lagi saya mohon untuk melanjutkannya.
atau mungkin saya bisa minta softcopy dr article ini?
ini email saya : mirza.ramadhana@gmail.com
terima kasih