Paus Benediktus XVI mengunjungi Timur Tengah (8-15 Mei 2009). Pertama, Paus mengunjungi Jordania, lalu Israel dan Palestina. Kunjungan ini menarik. Khususnya di tengah kritik atas sikap Paus yang membatalkan ekskomunikasi (pengucilan) terhadap seorang uskup yang menolak kebenaran pembantaian Yahudi oleh Nazi Jerman.
Uskup itu adalah Mgr Richard Williamson, rektor Seminari La Reja di Argentina (Jawa Pos, 12 Mei 2009). Uskup ini memang doyan mengkritik Zionisme dan pada 2002 berkomentar bahwa jumlah Yahudi yang terbunuh dalam Holocaust hanya 300 ribu dan bukan 6 juta. Juga tidak ada kamar gas seperti yang selama ini dikisahkan.
Kendati meminta maaf, kecaman itu telanjur mengalir ke Paus Benediktus XVI karena tidak segera mengekskomunikasi (mengucilkan) Richard. Sikap Paus itu dinilai menyinggung mayoritas Yahudi di dunia dan pemerintaah Israel. Tapi, sikap Paus yang tak mengekskomunikasi Richard mendapat dukungan kalangan pro-Palestina. Sebab, saat ini bangsa Palestina justru ditindas kaum zionis atau Yahudi yang pernah menjadi korban Nazi.
Kritik untuk Zionisme
Pernyataan Richard sama persis dengan apa yang sering dilontarkan Presiden Iran Ahmadinejad. Baru-baru ini Ahmadinejad juga membuat pidato kontroversial di tengah The World Conference Against Racism (WCAR) atau KTT Antirasisme (tepatnya 20/4/2009) di Geneva, Swiss.
Dalam pidatonya, Ahmadinejad mengkritik Zionisme dan proses terbentuknya Israel. Dia menyebut Pemerintah Israel dari 1948 hingga 2009 sebagai pemerintahan rasis yang menjajah bangsa Palestina. Lahirnya Israel juga sarat paksaan, karena Barat mengirimkan imigran Yahudi asal Eropa dan AS dengan tujuan mendirikan pemerintahan rasis di Palestina.
Kritik Ahmadinejad sudah tentu merupakan sebuah kebenaran. Kebenaran, seperti bunyi sebuah “adagium”, kadang memang pahit. Seharusnya kalau “Holocaust” memang benar, Israel jangan malah membuat 6 juta warga Palestina menderita dan tersisih dari tanah kelahirannya. Tapi, apa yang terjadi, tanah warga Palestina telah dirampas oleh Israel. Berdirinya Israel pada 1948 tak lepas dari peran imperialis Inggris.
Kalau toh ada “Holocaust”, amat disayangkan peristiwa yang telah menodai sejarah peradaban Barat itu kini tidak bisa menjadi pelajaran bagi para pemimpin mereka. Tata dunia baru yang telah digembar-gemborkan, ternyata hanya retorika belaka. Karena tata dunia kita saat ini masih merupakan tata dunia lama, mengingat sistem pemerintahan yang menindas martabat manusia dan bersifat rasis seperti pemerintah Israel, masih terus ditoleransi dan justru didukung.
Kita prihatin, mengapa Israel mempraktikkan represi terhadap bangsa Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Malah dengan naiknya kembali PM Benjamin Netanyahu dan Menlu Avigdor Lieberman yang berhaluan kanan, prospek perdamaian di Timteng kian suram. Solusi berdirinya sebuah negara berdaulat bagi bangsa Palestina juga tinggal menjadi ilusi.
Pemerintahan Rasis Israel
Seperti diketahui, pemerintahan baru Israel saat ini dipegang sosok-sosok yang dikenal rasis, seperti Lieberman atau Benjamin Netanyahu. Jangan lupa Bibi punya ayah bernama Ben-Zion Netanyahu, seorang profesor sejarah Yahudi dan bekas pembantu senior dari Zeev Jabotinsky. Nama terakhir adalah sosok penggagas Zionisme Revisionis yang menghalalkan segala cara, termasuk cara kekerasan dan tindakan rasis untuk mengusir warga Palestina.
Zeev Jabotinsky juga mendirikan banyak sayap militer seperti Irgun, organisasi teroris dan militan di bawah tanah. Bibi jelas sangat terpengaruh Jabotensky.
Lagi pula, Bibi nyaris tidak punya pengalaman dalam perundingan perdamaian. Sebaliknya, Bibi punya pengalaman lebih banyak di bidang militer bersama dua saudaranya, Yonathan dan Iddo. Ketiga Netanyahu bersaudara pernah berdinas di satuan pengintai Sayeret Matkal. Bahkan, dari kajian psikologi, tampak seperti ada dendam kesumat dalam hati Bibi, mengingat kakaknya yang bernama Yonatan Netanyahu terbunuh pada Operasi Entebbe pada 1976. Pengalaman-pengalaman seperti itu jelas memengaruhi pandangan Bibi atas bangsa Palestina.
Sementara itu, Avigdor Lieberman lahir 5 Juni 1958 di Kota Kishinev, Moldova. Dia pernah terlibat dalam gerakan radikal kanan rasialis “Kach” pimpinan Rabbi Meir Kahane yang punya tujuan mengusir warga Arab atau Palestina keluar dari wilayah Israel.
Tampilnya dua sosok itu jelas akan menambah penderitaan bagi bangsa Palestina, yang menderita sejak 1917, ketika nenek moyang mereka harus menyingkir dari kampung halaman demi memberi tempat kepada para imigran Yahudi. Memang, ada nuansa rasis atas bangsa Palestina di balik pemerintahan Israel dari 1948 hingga 2009.
Semoga kunjungan Paus Benediktus kali ini bisa merintis kembali proses perdamaian yang macet akibat naiknya Bibi dan Lieberman, serta ada harapan bagi berdirinya negara Palestina. Vatikan termasuk setuju dengan solusi negara merdeka bagi Palestina (Jawa Pos, 12 Mei 2009).
Vatikan juga berkepentingan agar Yerusalem tidak terus dicengkeram Israel sendiri, tetapi menjadi ibu kota yang terbuka bagi ketiga pemeluk agama Samawi. Raja Abdullah dari Saudi saat berkunjung ke Vatikan beberapa waktu lalu sudah “sambat” agar proses Yaudisasi Al Quds (Yerusalem) dihentikan. Dan, sikap Vatikan itu, sepertinya menjadi jawaban dari keluhan Raja Abdullah tersebut. (*)
*). Tom Saptaatmaja, alumnus STFT Widya Sasana dan Seminari St Vincent de Paul, Pegiat Lintas Agama
Sumber: Jawa Pos, Jum’at, 15 Mei 2009
peace and peace, make people better life. Now war anymore. Israel, listen world say …
Israel is the big problem