Memainkan Jendela Kang Johari

(Catatan Proses Belajar dalam sesi Teknik Fasilitasi, Peningkatan Kapasitas Fasilitator Lapang, 8-10 Desember 2016)

Dalam proses belajar bersama komunitas, posisi fasilitator menjadi sangat penting. Keberhasilan sebuah target belajar sangat bergantung dari ketangguhan fasilitator dalam memandu, menemani dan mengantarkan proses belajar. Untuk itulah seorang fasilitator harus menguasai ilmu alat yang bernama teknik fasilitasi. Tidak hanya berisi teknik memandu forum dan mengelola dinamika pembelajaran, teknik fasilitasi juga mengajarkan banyak hal terntang prinsip-prinsip komunikasi efektif dan pendekatan pendidikan orang dewasa (POD). Sebagaimana ilmu alat lainnya (seperti jurnalistik, publik speaking, menjahit dsb), teknik fasilitasi tidak cukup hanya dipahami. Kematangan seorang fasilitator tidak diukur dengan berapa materi atau modul yang sudah dia kuasai. Akan tetapi, seberapa sering dia menerapkan teknik fasilitasi melalui praktik secara langsung.

Dalam mendalami konsep fasiltasi, biasanya akan muncul beberapa pertanyaan. Apa beda fasilitator dengan moderator? Apakah fasilitator boleh menjadi narasumber? Apakah fasilitator harus menguasai setiap materi yang dia pandu? Bagaimana jika pengetahuan fasilitator tentang sebuah materi lebih minim dibandingkan dengan audensnya?

Memang, adakalanya dalam sebuah sesi, fasilitator tidak menguasai secara mendalam sebuah topik pembahasan. Bisa jadi, peserta (audiens) adalah yang lebih menguasai dan mengalami secara langsung (berpengalaman). Jika dalam kondisi ini, tentu saja fasilitator tidak perlu canggung. Karena sejatinya fungsi fasilitator bukanlah sebagai narasumber atau guru.

Hal ini seperti yang ditekankan oleh M. Aris Fahmi. Bahwa tugas fasilitator bukan satu-satunya sumber pembelajaran. Dan, tujuan fasilitasi adalah memastikan seluruh audiens mengalami sebuah proses pembelajaran bersama.

Fasilitator adalah seseorang yang berperan untuk membantu sekelompok orang untuk bergerak menuju tujuan bersama. Memandu proses dan tidak menggurui adalah prinsip dasar yang harus dimiliki‚

M. Aris Fahmi, Fasilitator Lapang PADI

Johari Window dan Teknik Fasilitasi

Di sesi Teknik Dasar Fasilitasi, Aris juga memperkenalkan konsep Johari Window. Konsep “jadul” ini menurut Aris cukup berguna dalam memetakan kebutuhan metode yang akan digunakan oleh seorang fasilitator. Dengan alat bantu Johari Window, fasilitator akan bisa menempatkan diri secara tepat saat menfasilitasi sebuah forum atau proses pelatihan.

Sebelum mengulas lebih jauh, mungkin perlu membaca kembali apa itu Johari Window. Johari merupakan gabungan nama dua psikolog Amerika, Joseph Luft (1916‚2014) dan Harrington Ingham (1914-1995). Konsep ini populer dalam dunia psikologi dan banyak dikembangkan dalam ilmu komunikasi. Johari Window awalnya dipergunakan oleh psikolog membantu seseorang dalam melihat proses keterbukaan seseorang di hadapan lingkungan sosialnya. Model ini dijelaskan dalam bentuk gambar kotak yang terdiri atas empat pintu jendela.

Bagaimana menggunakan konsep ini dalam interaksi sosial? West dan Turner (2010: 275) memberikan penjelasan praktis terntang penggunaan model ini dalam komunikasi interpersonal. Dengan menerapkan empat langkah berikut, proses keterbukaan diri untuk dikenali orang lain bisa dilakukan. Keempat langkah itu adalah sebagai berikut:

  1. Menguak identitas diri (sikap, sifat, potensi, hobi, prinsip dsb) dan mentabulasinya dalam kertas sebanyak yang kita tahu tentang diri kita.
  2. Selanjutnya dipilah, mana yang sudah diketahui orang lain atau yang ingin kita share ke orang lain, mana yang ingin kita tutupi dari orang lain. Di tahap ini akan kita tentukan sendiri, apakah lebih banyak yang open self atau yang hidden self.
  3. Setelah itu, pasti akan muncul pertanyaan. Bagaimana orang yang tau tentang Anda. Apakah Anda ingin tahu bagaimana orang lain menilai sifat Anda. Anda di mata orang lain dipandang sebagai teman yang menyenangkan atau sebaliknya dan seterusnya. Ini berada di daerah Blind Self. Jika kita ingin menggali tentang diri kita dari orang lain sehingga menjadi Open Self, maka blind self akan mengecil. Proses ini tentu bisa dilakukan dengan komunikasi interpersonal. Proses komunikasi interpersonal ini mau tidak mau juga akan mempersempit Hidden Self.
  4. Setelah kita menerapkan tiga langkah tersebut, maka otomatis akan menjadikan kita semakin mengenali diri kita sendiri. Orang lainpun juga semakin mengenali diri kita. Dan proses membuka diri semakin terkuak. Di tahap ini, unknown self semakin mengecil.

***

Nah, dalam dunia Non Goverment Organizations (NGO’s), model Johari Window sering dipakai dalam teknik fasilitasi. Seorang fasilitator bisa melakukan pendekatan yang berbeda, tergantung bagaimana posisi antara fasililitator dan peserta pembelajaran terhadap sebuah materi (topik). Secara sederhana bisa digambarkan sebagai berikut.

Bagan di atas bisa menjadi guide bagi fasilitator untuk memilih metode apa yang dipakai dalam kondisi forum yang berbeda-beda. Memang dengan metode ini, fasilitator dituntut untuk membuat asumsi awal tentang posisi forum. Namun setidaknya, di tahap ini Johari Window bisa dipakai untuk mendiagnosa kebutuhan forum akan pilihan metode fasilitasi yang tepat. Metode yang tepat sangat menentukan proses transformasi pengetahuan dalam sebuah forum belajar.

Modifikasi Johari Windows Sebagai Media (Alat) Fasilitasi

Kesenjangan pengetahuan dalam proses belajar dalam komunitas, tidak saja terjadi antara fasilitator dengan komunitas. Diantara anggota komunitas pastinya juga memiliki perbedaan, termasuk perbedaan pengalaman dan pengetahuan. Bagi Edi Purwanto, kondisi ini tidak harus dimaknai sebagai tantangan. Sebaliknya, Program Manajer PADI ini malah menilai kondisi ini sebagai modal kekuatan untuk berdaya bersama.

“Sumber pengetahuan itu bisa dari mana saja. Bisa dari fasilitator, bisa dari pengetahuan dan pengalaman peserta, bisa dari lingkunan, dan bisa ditemukan bersama-sama. Yang penting, sebelum proses belajar bersama, liat dulu apa kebutuhannya (training need assessment). Dan model Johari Window yang tadi dijelaskan Aris, sepertinya kita bisa menggunakkannya untuk assessmen”

Edi Purwanto, Program Manager Padi Averroes

Sederhananya, training need assessment (TNA) adalah sebuah pemetaan kebutuhan pembelajaran yang dilakukan sebelum sebuah proses pembelajaran dimulai. Secara spontan, Edi memodifikasi Johari Window menjadi alat untuk melakukan TNA. Bagaimana caranya, berikut gambaran dan langkah-langkahnya.

  1. Sebelum penyusunan silabus pembelajaran, fasilitator mengumpulkan calon peserta. Secara bersama-sama merencanakan sebuah kegiatan pembelajaran dalam beberapa pertemuan. Misalnya untuk sekolah lapang budidaya apel misalnya.
  2. Fasilitator membagikan dua metaplan (kertas) dengan warna yang berbeda. Metaplan yang pertama ditulis pengetahuan seputar kegiatan bertani apel (mulai pembibitan, budidaya, atau pasca panen) yang paling dikuasai. Kertas satunya ditulis tentang seputar kegiatan bertani apel yang paling tidak dikuasai
  3. Setelah ditulis, kemudian dikumpulkan. Fasilitator menempelkan pada bagan seperti gambar di atas. Untuk metaplan tentang pengetahuan yang diketahui, ditempelkan ke daerah II. Adapun untuk metaplan tentang pengetahuan yang belum dikuasai, ditempelkan ke daerah III.
  4. Setelah itu, fasilitator membaca satu persatu dan mengklarifikasi kepada farum tentang poin-poin yang sudah ditempel di zona II dan III
  5. Fasilitator menguji satu demi satu metaplan yang ada di daerah II. Jika satu metaplan ternyata sudah menjadi pengetahuan bersama (semua peserta juga sudah mengetahui), maka metaplan tersebut diletakkan di Zona I. Adapun metaplan yang ternyata hanya diketahui oleh sebagian orang, maka akan tetap diletakkan di zona II
  6. Fasilitator menguji satu demi satu metaplan yang ada di daerah III. Jika satu metaplan ternyata ada minimal satu orang yang mengetahui, maka metaplan tersebut tetap diletakkan di zona III. Adapun metaplan yang isinya adalah sebuah topik yang tak satupun peserta tahu (menguasai) maka digeser ke zona IV
  7. Dari semua list metaplan yang ada maka akan bisa dikelompokkan menjadi tiga bagian. A. Zona pengetahuan bersama (Zona I), B. Zona pengetahuan sebagian orang (Zona II dan zona III), C. Belum menjadi pengetahun (Zona IV)

Dengan menerapkan tujuh langkah ini maka fasilitator mendapatkan peta kebutuhan pembelajaran yang valid sesuai dengan kondisi dan atensi peserta pelatihan. Untuk daerah A metode pembelajarannya cukup dengan pendalaman. Untuk daerah B metode pembelajarannya adalah dengan berbagi pengetahuan antar peserta. Pembelajaran untuk daerah A dan B bisa menggunakan sumber daya yang sudah ada. Yang menjadi fokus fasilitator adalah untuk daerah C. Semua topik yang ada di daerah ini kemudian menjadi bahan materi utama. Fasilitator bersama dengan peserta kemudian menyusun metode, bahan ajar, narasumber untuk mempersiapkan sebuah pelatihan.

Penggunaan Johari Window sebagai instrumen TNA ini pertama kali diuji coba pada sesi pendalaman materi di hari kedua (9 Desember 2016). Tentunya akan sangat menarik untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran bersama komunitas. Dan, penulis juga berharap metode ini bisa diuji coba oleh khalayak pembaca. [Rian]

Pustaka

West, R & Turner, L .2010. Understanding Interpersonal Communication. Wadsworth Cengange Learning : Canada

Memainkan Jendela Kang Johari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top