Oleh: Happy Susanto
“Keangkuhan”, “merasa paling benar”, dan “klaim universalitas”, adalah kata-kata yang pas untuk kita alamatkan kepada wacana, pendapat, dan analisis dalam sosiologi Barat selama ini. Apa yang kita terima dalam berbagai literatur dari wacana mereka adalah sebuah bentuk “kolonialisme” wacana, hegemonisasi kultural, dan “pemaksaan” pendapat yang menganggap “yang lain” (otherness, Timur, Islam) sebagai “barang rendahan”. Maaf, jika kata-kata ini penulis kemukakan dalam tulisan ini karena memang demikianlah apa yang menjadi realitas saat ini.
Bryan S. Turner, sosiolog kondang kenamaan abad ini, membongkar universalitas sosiologi Barat ini dalam bukunya yang versi aslinya berjudul, Orientalism, Postmodernism, and Globalism. Soal keangkuhan Barat dalam menilai Timur dan Islam, bisa diamati dari berbagai analisis akademik kaum orientalis yang mencibir kebudayaan non-Barat, dan menganggap Timur adalah irrasional, tidak demokratis, dan sangat mistik. Turner mencoba menunjukkan bahwa “sikap manis” Barat itu sesungguhnya memendam kelemahan, bahwa mereka belum tentu diklaim sebagai satu-satunya kebenaran, universal, dan independen. Keangkuhan Barat mesti kita “lawan” (lewat wacana) karena jika tidak maka mustahil kita mampu memberikan alternatif bagi kemunculan keilmuan yang lebih memihak pada obyektivitas dan kemanusiaan. Apalagi, untuk konteks “Islamisasi” ilmu-ilmu sosial dalam “garapan besar” The International Institute of Islamic Thought (IIIT), langkah strategisnya adalah—seperti apa yang dilakukan Turner ini—yaitu membongkar superiority Barat dalam kajian akademis dan keilmuan.
Gejala modernitas dan kapitalisme global telah mengeruskan kekuatan religiusitas yang dilakukan agama-agama selama ini. Agama Kristen telah melakukan perombakan total dengan jalan sekularisasi general yang memadukan apa yang telah menjadi komitmen dan keyakinan religiusitas sebagai bagian kebudayaan Barat, sehingga memunculkan laju pertumbuhan masyarakat industri dan urban. Hal demikian pernah dianalisis Max Weber dalam bukunya, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1958). Di sisi lain, ternyata Islam, seperti diklaim Turner, mulai tumbuh menjadi kekuatan dominan dalam bidang politik dan kebudayaan, tidak hanya di Timur tapi juga pada kebudayaan Barat.
Kajian orientalisme juga mulai dipertanyakan. Banyak kritikan tajam diarahkan pada kalangan akademik Barat yang memahami non-Barat dengan pandangan sebelah mata bahwa mereka (Timur, Islam) menafikan rasionalitas modernisasi, dan lebih mengurusi hal-hal yang berbau spiritual. Anggapan demikian ternyata masuk pada mayoritas kajian sosiologis mereka, dan hasil analisisnya menjadi universal. Bersamaan dengan hegemonisasi pandangan ini, kemunculan Postmodernisme menjadi menarik untuk diapresiasi, terlepas beberapa ketidaksetujuan kita kepadanya. Perlu diingat bahwa rasionalisme instrumental Barat telah menancap kuat pada ingatan akademisi manapun disebabkan karena kuatnya arus globalisme (juga dalam hal pemikiran) yang membantu angapan-anggapan orientalisme. Postmodernisme ingin mendekonstruksi “narasi besar” (grand narrative) ini dengan mengajukan pluralitas pemikiran dan kebudayaan, di samping ada nilai emansipasinya juga.
Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme
Pada tahun 1970-an, para akademisi tertarik untuk menyoroti tentang bagaimana masyarakat-masyarakat Barat memahami dan menafsirkan masyarakat-masyarakat Timur selama masa kolonialisme dan ekspansi kekuasaan kolonial Barat. Kemunculan karya Edward Said, Orientalism : Western Conceptions of the Orient (1979), telah menggoncangkan dunia. Istilah “orientalisme”, seperti dirasakan Said, kurang begitu disukai oleh para spesialis di masa sekarang ini, baik karena terlalu samar-samar, maupun disebabkan oleh konotasi sikap eksekutif yang congkak dari kolonialisme.[2]. Dalam buku ini, Said mengemukakan sebuah kritik pedas terhadap konsep-konsep Barat tentang masyarakat Timur dan terhadap bagaimana wacana orientalisme mengukuhkan proses kolonialisme dan supremasi politik dunia Barat. Orientalisme lebih mengacu pada wacana-wacana khusus dalam mengkonseptualisasikan Timur sehingga menyebabkan Timur mudah untuk dikendalikan. Dalam wacana orientalisme termuat nilai-nilai kekuasaan.
Menurut Edward Said, arti orientalisme terkait dengan tiga fenomena yang melatarbelakanginya. Pertama, seorang orientalis adalah orang yang mengajarkan, menulis tentang, atau meneliti Timur, baik orang yang bersangkutan adalah seorang ahli antropologi, sosiologi, sejarah, maupun filologi, baik dari segi umum maupun khususnya, dengan mengklaim bahwa dirinya memiliki pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan Timur. Kedua, suatu gaya berfikir yang berdasarkan pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara ‘Timur” (the Orient) dan (hampir selalu) “Barat” (the Occident). Ketiga, dan yang paling signifikan bagi Said :
Orientalisme dapat didiskusikan dan dianalisis sebagai institusi yang berbadan hukum untuk menghadapi Timur, yang berkepentingan membuat pernyataan tentang Timur, membenarkan pandangan-pandangan tentang Timur, mendeskripsikannya, dengan mengajarkannya, memposisikannya, menguasainya. Pendeknya orientalisme adalah cara Barat untuk mendominasi, merestrukturasi dan menguasai Timur.[3]
Pada tahun 1970-an ini, pemikiran Said sangat memukau ; dengan gaya pemikiran Anglo-Saxon dia memperkenalkan kita pemikiran yang mengagumkan dari Michel Foucault[4], yang karya-karyanya menjadi sumber penting bagi penelitian humaniora dan ilmu-ilmu sosial, bahkan di Indonesia sudah banyak bukunya yang telah diterjemahkan. Dengan mengadopsi pemikiran Foucault, Said berupaya mengetengahkan kritik-kritik yang sangat tajam terhadap liberalisme, dan memaparkan secara gamblang kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan yang menyatu padu, melalui sejumlah wacana, termasuk orientalime. Penyatuan ini kemudian memproduksi serangkaian obyek analisis yang terus menerus mempengaruhi kesarjanaan sekarang ini tanpa bisa diamati dan diantisipasi.
Karya Said ini amat menarik sekali karena dia mampu menghadirkan cara pandang baru dalam menganalisis sejarah dan fenomena sosial. Menurut Turner, “metodologi teks” adalah tantangan yang menarik dan penting dari karya Said, dengan alasan bahwa Said menggunakan metode “dekonstruksionime” (deconstructionism), dan dia pun mampu menunjukkan bagaimana wacana-wacana, nilai-nilai, dan pola-pola pengetahuan telah membentuk “fakta-fakta” yang akan dipelajari oleh para sarjanawan sebagai sesuatu yang independen. Pendekatan Said dikatakan menarik karena dia mampu menghadirkan dirinya sebagai sosok intellectual hero (seorang pahlawan intelektual –istilah yang diberikan Turner sendiri), artinya dia tidak hanya berada pada studi sastra dan penelitian analitis, namun secara praksis dia dikenal sebagai tokoh garis depan dalam perjuangan politik Palestina dan Timur Tengah.
Menurut Turner, yang disayangkan dari Said adalah kritik-kritiknya terasa lemah bagi orientalisme Jerman dan Inggris. Hal ini pernah dikritik V.G. Kiernan, dalam bukunya Lords of Human Kind (1972). Kritik lain Turner terhadap Said adalah berkaitan dengan masalah hubungan Michel Foucault dan politik. Tulisan Foucault tentang psikiatri di Soviet dan analisisnya tentang tradisi hukuman di Perancis memungkinkan orang untuk beralih dari pemikiran analitis kepada sebuah posisi politis. Dalam hal ini terasa sulit untuk menghubungkan antara sikap politik Said terhadap Palestina dengan posisi epistemologi bukunya, Orientalism (hal. 34). Said, seperti dalam bukunya, Covering Islam, mengadopsi pemikiran “epistemologi realis”, yang menghubungkan antara pengetahuan dan sikap politik yang merupakan buah dari pemikirannya.
Said memang berbeda dengan Foucault, dan terjadi ambivalensi antara kritik yang radikal dan Faucaudian terhadap representasi dan pendirian humanistik, yang sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan karya Faucault sendiri. Said berpendirian bahwa dirinya, karena dorongan rasa kemanusiaan, ingin membela sebuah kasus demi orang-orang yang dicabut hak miliknya oleh wacana-wacana kolonialis. Padahal penilaian Foucault terhadap cita-cita abad pencerahan adalah untuk menciptakan pengetahuan pokok tentang kebenaran yang obyektif dan menghalangi kemungkinan wacana universal yang mampu menggulingkan kekuatan opresif.[5] Penggunaan metode Foucault menyebabkan Said tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan kolonialis, karena Foucault tidak berangkat dari epistemologi, tapi menganalisis arkeologi sebuah pengetahuan secara kritis dan obyektif.
Yang ingin ditantang oleh Foucault adalah klaim pengetahuan yang absolut dan bisa diterapkan secara universal sebagai landasan aksi politik seutuhnya, dan ini terjadi pada Said. Ambivalensi dalam karya Said telah dianggap oleh sejumlah peresensi buku Orientalism dalam kalangan post-strukturalis sebagai sebuah gerakan catechrestic yang telah menggoncangkan bangunan-bangunan rezim pengetahuan kolonial dan neo-kolonial.[6] Yang melatarbelakangi aksi praksis Said adalah karena pembentukan persepsi Barat terhadap bangsa Arab dan Islam menjadi masalah yang sangat politis dan keras. Pertama, sejarah prasangka anti-Arab atau anti-Islam yang populer di kalangan akademik dan pengambil kebijakan Barat, yang sangat tercermin dalam sejarah orientalisme. Kedua, pergulatan antara orang-orang Arab dan Zionisme Israel, dan pengaruh terhadap penduduk-penduduk Yahudi Amerika maupun terhadap budaya liberal dan penduduk pada umumnya. Orang Arab menjadi dirugikan karena stereotip negatif yang melekat padanya. Ketiga, tidak adanya posisi budaya yang memungkinkan Arab untuk mengidentifikasikan dirinya dengan baik karena Timur Tengah kini telah begitu diidentikkan dengan politik negara-negara adikuasa, ekonomi minyak, dan perbedaan antara Israel yang dianggap demokratis dan cinta damai dan orang-orang Arab yang biadab, totaliter dan teroris.[7] Dan berdasarkan pengalaman yang dialami Said, ditambah dengan analisanya yang tajam terhadap kerancuan-kerancuan orientalisme, kemudian hal ini mendorong dia untuk berjuang melawan kolonialisme Barat –bahkan menjadi tokoh garis depan.
Kritik lain yang dikemukakan Turner terhadap pendekatan sejarah Said adalah konsentrasinya terhadap “tekstualitas” dan “tektualisme”. Tekstualisme menyebabkan solipsisme—yaitu teori yang mengatakan bahwa satu-satunya pengetahuan yang mungkin adalah pengetahuan diri sendiri– buta yang tidak dapat membedakan mana tulisan yang bersifat rekaan dan mana yang memang sebuah rekaman atas kenyataan sosial nyata (hal. 35). Turner juga mengkaitkan pemikiran Said antara fasisisme dan dekonstruksionisme. Di samping melandaskan konsepnya pada Foucault, Said juga mengadopsi pemikiran Heidegger, khususnya kritik filsafat metafisiknya, yang memiliki kaitan erat dengan fasisme (hal.36).
Kemunculan orientalisme menyebabkan kemunculan wacana baru sebagai tandingannya, yaitu oksidentalisme. Menurut Turner, oksidentalisme berisikan penolakan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Barat dan penolakan tak langsung terhadap warisan modernisasi. Sikap penolakan anti Barat ini sejalan dengan kemunculan gagasan “indigenisasi” (indigenization) pengetahuan yang tumbuh dan berkembang pada “masyarakat dunia-ketiga” (the third-world society) akhir-akhir ini. Oksedentalisme menjadi menarik dikaji bersamaan dengan maraknya perbncangan tentang “islamisasi ilmu pengetahuan” (islamization of knowledge). Jika boleh berpendapat, secara real kekuatan yang sangat bernilai strategis apabila gerakan islamisasi ilmu pengetahun diproyeksikan untuk melawan hegemonisasi pengetahuan Barat yang mengklaim sebagai universalis dan instrumentalis. Bukan justru berkehendak untuk menampilkan sisi normativitas Islam, yang sesungguhnya masih kabur, untuk dianggap sebagai sebuah ilmu yang mandiri dan independen.
Dalam buku yang kita bedah ini, sebenarnya Turner juga melancarkan kritiknya terhadap gerakan islamisasi ilmu pengetahuan, dengan mengajukan sebuah pertanyaan penting : apakah klaim fundamentalis terhadap islamisasi pengetahuan bersifat modernis atau anti-modernis? (hal 37). Jika, jawabannya adalah anti-modernis, maka apakah mungkin melakukan islamisasi pengetahuan tanpa menggunakan perangkat teknologi yang telah lama diproduksi oleh Barat, dan di dalamnya tentu memuat nilai-nilai Barat yang mesti diadopsi pula. Sebaliknya, apabila bersifat modernis maka sesungguhnya gerakan islamisasi pengetahuan berbeda dengan gerakan oksidentalisme. Hassan Hanafi, penulis buku Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab (Oksidentalisme), menyatakan bahwa dalam oksidentalisme yang menjadi persoalan adalah problem identitas. Perlu ada penegasan identitas, penegasan eksistensi ego (Islam, Timur) dalam menghadapi the other (Barat), dan penegasan orisionalitas dalam menghadap modernisasi dan alienasi yag terkait dengan westernisasi, yang menjadi media bagi perlawanan dan perubahan.[8] Apakah islamisasi pengetahuan berupaya untuk meneguhkan identitas? Jika iya, bagaimana mungkin melepaskan secara penuh dari pengaruh-pengaruh Barat?
Kelemahan yang terasa dalam wacana orientalisme menyebabkan para pengkaji dari barat untuk menggiring wacana itu kepada globalisasi atau disebut dengan sosiologi global. Banyak orang menyederhankan pengertian globalisasi (globalization) dengan westernisasi (westernization). Menurut Turner, munculnya globalisasi akan menyulitkan pemahaman kita tentang istilah ini apabila masih membicarakan kebudayaan-kebudayaan Timur dan Barat yang terpisah, otonom, atau independen (hal 40). Kenapa? Karena, perbincangan terakhir itu telah ditinggalkan oleh wacana orientalisme yang sudah ketinggalan zaman dan melangkah pada sosiologi global. Akan menarik apabila wacana orientalisme yang menuju globalisasi ini dihubungkan dengan perbincangan mengenai postmodernisme. Perdebatan-perdebatan postmodern menekankan pentingnya perbedaan dan “ke-yanglain-an” (otherness).
Apa itu “postmodernisme”? J. F. Lyotard dalam bukunya La Condition Postmoderne (1979), mengartikan postmodernisme secara sederhana sebagai “incredulity towards metanarratives” (ketidakpercayaan terhadap matanarasi). Metanarasi yang dimaksud, misalnya : kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar, dan sebagainya. Lyotard adalah filosof yang memperkenalkan istilah postmodernisme ke dalam bidang filsafat. Bagi dia, postmodernisme itu sepertinya adalah sebuah “intensifikasi dinamisme”, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi, dan revolusi kehidupan terus. Dengan kata lain, dalam bidang filsafat postmodernisme diartikan sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”.[9] Terkadang orang menyamakan postmodernisme dengan postmodernitas. Apa yang membedakan keduanya? Menurut I. Bambang Sugiharto, postmodernisme menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Sedangkan yang kedua merupakan situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.[10] Pengertian ini juga yang dimaksud Turner, dan menjadi dasar kritikannya terhadap Ernest Gellner yang meyamakan kedua arti tersebut. Singkatnya, postmodernisme bermakna pemikiran filosofis yang menyerang modernisme, dan postmodernitas adalah realitas yang merupakan hasil dari pemikiran yang diproduksi.
Upaya yang dilakukan postmodernisme adalah membongkar dan menghancurkan meta- narasi yang dihasilkan dari sebuah ideologi dan pemikiran mainstream yang hegemonik dan menguasai kultur pengetahuan masyarakat. Secara bersamaan, filsafat postmodern menyalahkan kapitalisme yang eksploitatif dan sosialisme yang birokratik, dan sama-sama dianggap sebagai “narasi-narasi besar” (grand narrative) yang menyebabkan kegersangan bagi dunia sosial modern. Menurut Turner, perkembangan-perkembangan politik dan intelektual dalam postmodernisme menjadi tantangan besar bagi orientalisme (hal 46). Orientalisme yang merupakan bagian dari meta-narasi menjadi memungkinkan untuk dilawan bagi kalangan postmodern. Cita-cita yang ingin diusung oleh postmodernisme adalah terjalinnya kehidupan yang plural, demokratis, egaliter, dan menjamin bagi emansipasi sebuah ideologi tanpa memasung rasa kemanusiaan.
Pasca runtuhnya Komunisme Soviet (yang menurunkan citra sosialisme dan tumbuhnya pengaruh postmodernisme), membuat posisi global Islam menjadi kembali diperhitungkan. Menurut Turner, adalah memungkinkan bagi Islam untuk “bergandengan tangan” dengan postmodernisme, dengan catatan bahwa perlu ada reformasi di dalam tubuh Islam dengan menghilangkan kecenderungan mengarah pada “narasi besar” yang disebabkan dari citra keseragaman dan ortodoksi keagamaan yang secara fundamental memegang teguh gagasan rasionalisme universal, disiplin, dan asketis.
Menyoal Hubungan antara Islam dan Barat
Kajian mengenai orientalisme tidak terlepas dari wacana hubungan Islam dan Barat. Umumnya, dipahami bahwa kalangan orientalis (yang dianggap pihak Barat) memahami Timur (mayoritas adalah Islam) sebagai suatu pemahaman dan analisa yang tidak berimbang, cenderung menyudutkan pihak yang kedua. Dalam buku ini, Turner mencoba menjelaskan di mana letak ambiguisitas antara keduanya (Islam dan Barat), mana yang menjadi persamaan dan perbedaannya. Kita pernah diguncangkan oleh bukunya Samul Huntington, yang berjudul The Clash of Civilization and the Remaking of world Order. Buku ini menjelaskan bagaimana Barat dan non-Barat (Timur) adalah dua wilayah yang saling berbenturan. Menurut Huntington, pasca runtuhnya Komunisme maka Islam memiliki peluang untuk berbenturan dengan Barat. Konflik yang terjadi lebih pada kebudayaan yang berbeda antar keduanya. Lebih lanjut Huntington menyatakan :
“Dalam dunia baru tersebut, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial, antara golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda”.[11]
Sebenarnya, apa yang membedakan antara Barat (West) dan Timur (East)? Keduanya merupakan konsep yang tidak jelas dan sering terjadi pertukaran makna. Orientalisme berhak kita “gugat” karena meta-wacana ini telah menyebabkan pembedaan yang sangat timpang antara Timur dan Barat. Sejak dibukanya sejumlah jabatan untuk mengembangkan pemahaman tentang bahasa-bahasa dan kebudayaan Timur oleh Dewan Gereja Wina (Church Council of Vienna), istilah orientalisme muncul. Orang sering menganggap Islam itu identik dengan Timur. Dalam sosiologi Weberian, fakta Islam yang direkam adalah monotheistik, profetik, dan asketik. Berbeda dengan Islam, asketisme Protestan secara khusus memainkan peran yang sangat penting bagi pertumbuhan rasionalitas Barat. Bagi Weber, masyarakat Timur digambarkan secara sederhana sebagai masyarakat yang tidak memiliki unsur-unsur positif rasionalitas Barat. Masyarakat Timur didefinisikan sebagai sebuah sistem ketiadaan –tidak ada kota, tidak ada kelas menengah, tidak ada lembaga-lembaga perkotaan yang otonom, dan tidak ada hak milik (hal 101).
Pandangan sosiologi Barat menggambarkan sebuah bentuk idealisme subyektif yang tanpa disadarinya telah mereproduksi unsur-unsur pemikiran borjuis. Weber membandingkan dunia Timur dan Barat dengan sistem penjelasan yang menggunakan “hukum rasional” (rational law), “kota-kota bebas” (free cities), “borjuis perkotaan” (urban bourgeoisie), dan “negara modern” (modern state), sebagai ciri-ciri pada masyarakat Barat. Sebaliknya, sistem yang berbentuk “hukum dan ad hoc” (ad hoc law), “kamp-kamp militer” (military camps), “pedagang yang dikontrol negara” (state-controled merchants), dan “negara patrimonial” (patrimonial state), sebagai ciri-ciri dalam masyarakat Timur. Sebuah perbandingan sosiologis yang dilakukan melalui fakta yang tidak berimbang. Weber dikenal sebagai pencetus “rasionalisme instrumental” sehingga metode pemikiran sosiologinya menjadi begitu dominan bagi masyarakat Barat sampai saat ini.
Lalu, timbul pertanyaan selanjutnya : apakah kemudian pemikiran Karl Marx menyiratkan sebuah pemihakan terhadap budaya dan masyarakat Timur? Pertanyaan ini dijawab oleh Turner bahwa keduanya (Weber dan Marx) sama-sama menganut pola-pola penjelasan yang agak mirip dalam menjelaskan keberadaan sejarah dalam masyarakat-masyarakat Barat dan ketiadaannya (sejarah) dalam masyarakat Timur (hal 104). Penjelasan Weber dan Marx adalah bentuk lain dari “despotisme Timur” karena keduanya sama-sama menganut pandangan bahwa politik negara di Timur bersewenang-sewenang dan tidak menentu. Akhirnya, penjelasan sosiologi weberian dan Marxisme strukturalis tidak mengembangkan tanggapan-tanggapan yang memuaskan terhadap prosedur-prosedur penjelasan mengenai orientalisme.
Pembedaan antara Islam dan Barat sangat ditentukan oleh keberhasilan orientalisme dalam menancapkan wacana hegemoniknya pada masyarakat Barat. Politik penjajahan yang dilakukan Barat sangat berpengaruh kuat dalam membentuk citra Barat tentang Islam dan analitis mereka tentang masyarakat-masyarakat ketimuran atau oriental society. Dengan meminjam kerangka analisis Foucault, seperti diadopsi Said, kekuasaan dan pengetahuan ternyata saling mempengaruhi satu sama lain. Kekuasaan sebenarnya melekat dalam bahasa dan institusi yang kita gunakan untuk mendeskripsikan, memahami, dan mengotrol dunia. Dan Said berhasil menunjukkan bahwa sebagai sebuah wacana, dikotomi Timur/Barat yang secara sekilas tampak netral sebenarnya merupakan ekspresi dari suatu relasi kekuasaan tertentu (hal 64). Dan dengan jelas sekali orientalisme mengungkapkan ciri-ciri progresif Barat dan menunjukkan kemandekan sosial masyarakat Timur.
Ada sebuah paradoks membuat perbedaan antara Islam dan Barat. Turner mengklaim bahwa Islam memiliki ikatan keagamaan yang kuat dengan Yahudi dan Kristen, tidak seperti Hinduisme dan Konfusianisme. “Mengkategorikan Islam dengan Timur (oriental religion) akan meinmbulkan kesulitan-kesulitan besar dalam wacana orientalis”, kata Turner. Islam meberikan sumbangan kultural yang berharga bagi Barat dan menjadi kebudayaan dominan di beberapa masyarakat Mediteranian. Menurut Turner, Islam tidak selamanya Timur, Kristen pun sebenarnya tidak bisa dikategorikan begitu saja sebagai agama Barat. Apa alasan Turner? Ia melihatnya secara geografis dan kultural bahwa Kristen, sebagai kepercayaan Smitik yang berakar pada agama Abrahamik, bisa dipandang sebagai agama Timur. Sementara Islam yang menjadi bagian penting dari kebudayaan Spanyol, Sisilia, dan Eropa Timur, sebaliknya dapat dipandang sebagai agama Barat (hal 66). Jadi, pengertian Barat-Islam terasa ambigu sekali. Hal ini disebabkan karena wacana orientalisme yang membuat jurang pembedaan yang besat antara keduanya. Dan juga disebabkan karena analisa Weber yang menyebut Timur serba keterblakangan dan Barat serba rasional, bisa mengarah pada universalitas pandangan orientalis, dengan pijakan rasionalisme instrumentalnya.
Turner juga mencatat tentang problematika orientalisme yang menganggap ketiadaan masyarakat sipil (civil society) pada Islam, dan lemahnya kebudayaan borjuis dalam kaitannya dengan keterbelakangan ekonomi, namun juga dengan despotisme politik (hal 82). Dalam ungkapan yang sederhana, konsep “masyarakat sipil” selama ini telah digunakan sebagai dasar pemikiran bahwa Timur sesungguhnya adalah negara, bukan masyarakat. Konsep dalam masyarakat sipil mengandung pengertian bahwa individualitas dan hak-hak individu menjadi penyeimbang bagi kekuasaan despotisme mayoritas, yaitu asosiasi-asosiasi sukarela (masyarakat sipil itu sendiri) yang kuat yang menjaga individu dari kontrol mayoritas dan memelihara keanekaragaman kepentingan dan kebudayaan. Menurut Turner, pandangan orientalis yang menganggap tidak adanya masyarakat sipil dalam Islam sesungguhnya merupakan refleksi dari kegelisahan-kegelisahan politik yang mendasar tentang kondisi kebabasan politik di Barat (hal 90). Turner kembali menegaskan bahwa persoalan orientalisme sesungguhnya bukan persoalan Timur, melainkan persoalan masyarakat Barat sendiri. Kata Turner, “despotisme Timur sesungguhnya hanyalah penulisan ulang besar-besaran tentang monarkhi Barat”, yang pendangannya “dilempar” ke dalam Islam. Entah, apa sebenarnya penjelasan kritis Turner mengenai hal ini.
Beberapa Pandangan Orientalis Mengenai Islam
Dalam tulisannya, Turner membedah beberapa orientalis yang mengkaji tentang masalah Islam. Kita mengenal Marshal Hodgson melalui karya monumentalnya tiga jilid berjudul The Venture of Islam (1974). Dalam buku itu, Hodgson berusaha melampaui pendekatan-pendekatan filosofis tradisional terhadap Islam dengan memberikan perhatian penuh terhadap sejumlah daerah yang di dalamnya Islam ditentukan oleh faktor-faktor sosiologis, ekonomis, dan geografis yang melingkupinya. Sebuah kajian sejarah tentang Islam yang sangat lengkap. Menurut Turner, pendekatan Turner ternyata masih gagal untuk melepaskan dirinya secara total dari asumsi-asumsi asosiologis orientalisme tradisional. Dalam pandangan Hodgson, Islam, sebagai agama maupun sistem sosial, diperlakukan sebagai perjalanan kesadaran nurani personal yang bersifat batin dalam menciptakan peradaban yang impersonal dan lahiriah. Hati nurani dianggap sebagai sebuah aktivitas kreatif paling kecil bagi seorang muslim ketika menghadapi realitas di luarnya.
Hodgson membedakan antara kajian-kajian tentang Islam an sich dan kajian-kajian tentang dunia Islam (Islamdom). Ia membedakan Islam sebagai ajaran (iman) dengan Islam sebagai sebuah konteks sejarah. Bagi Hodgson, kebutuhan untuk membedakan antara keduanya cukup mendesak karena, menurutnya, siapa saja sering terjebak untuk menyamakan antara Islam sebagai agama dan sebagai budaya. Istilah “Islamdom” dapat saja diperbandingkan dengan “Christendom”. Menurut Hodgson, “Islamdom” adalah masyarakat di mana kaum muslimin dan kepercayaan yang diakuinya sebagai yang berlaku umum dan dominan secara sosial, dan menjadi sangat penting pada beberapa arti untuk membentuk kebudayaan bersama.[12] Dalam pandangan Hodgson, kesalehan spiritual (ketaatan spiritual seseorang) adalah “cara seseorang merespon ilahi”, sedangkan agama mencangkup “percabangan yang bermacam-macam dari tradisi-tradisi yang dimaksudkan untuk mewadahi respon-respon semacam itu”. Jadi, agama adalah kulit luar yang dapat dijelaskan secara sosiologis, sedangkan kesalehan adalah bagian dalam, inti yang tak dapat dijelaskan secara sosiologis.
Turner menyimpulkan pendekatan Hodgson terhadap kesalehan/agama memunculkan apa yang disebut “kekebalan” (imunitas) sosiologis bagi keimanan. Pendapat Hodgson memisahkan mana yang merupakan ruang privat (keimanan) dan mana ruang publik (agama yang membudaya dalam konteks sosial). Seperti kata Hodgson : “Pada akhirnya seluruh kepercayaan adalah hal privat…Kita terutama adalah anak manusia, dan secara sekunder saja kita kita berpartisipasi dalam tradisi ini atau tradisi itu”. Tapi, menurut Turner, penjelasan Hodgson terhadap bagaimana memahami sistem kepercayaan asing tampak tidak memuaskan, karena jawabannya tidak meyakinkan (hal 135). Alasannya, karena Hodgson sendiri adalah pemeluk Kristen yang kuat sehingga dia menolak setiap usaha untuk memilih elemen tertentu dari Kristen dan Islam yang dapat dianggap sama dan dapat diperbandingkan. Menurut Turner, setiap usaha ke arah sinkretis, atau setiap pandangan yang menganggap bahwa semua agama adalah sama karena semuanya berpijak pada suatu respon kemanusiaan terhadap yang ilahi ditolak oleh Hodgson. Kritik minor terhadap Hodgson adalah bahwa dia tidak mengemukakan komitmennya sendiri secara tepat dan sistematik. Dia adalah penganut Kristen yang yakin dan mengikuti ajakan Quaker, tapi dalam analisis sejarah kegamaan banyak berhutang budi pada Rudolf Otto dan Mircea Eliade.
Setelah membedah Hodgson, Turner kemudian mengkaji pemikiran Von Grunebaum, seorang sejarahwan tentang dekadensi dan kemunduran Islam. Menurut Von Grunebaum, kemunduran Islam dari perwujudan kebajikan agama yang ideal diperparah dengan masalah-masalah yang ada dalam tradisi hukum sucinya yang tidak dapat dikembangkan untuk memberikan kondisi baru bagi perkembangan sosial (hal 163). Baginya, kekakuan hukum dan gap atau ruang kosong antara ideal keagamaan (secara normatif) dan praktik politik kekuasaan (secara empirik) dalam Islam, menunjukkan kegagalan teologis Islam. Islam gagal disebabkan karena konservatisme dan tidak adanya integrasi kultural. Dia memandang bahwa umat Islam hanya melakukan pengulangan sejarah, atau bisa disebut dengan “romantisme historis”, sehingga hakikat realitas Islam adalah tidak berubah.
Bagi Grunebaum, sifat terus-menerus mengulang dari sejarah Islam menunjukkan sisi lebih lanjut dari daya memiliki kultural dan imitasi sosial Islam (cultural mimicry social imitation). Islam kemudian dipandang sebagai barang pinjaman yang tak ada habisnya dari masa lalu pagan Arab, dari teologi monotheistik Yahudi-Kristen, dari logika Hellenistik, dan dari teknologi Cina. Hampir secara keseluruhan masyarakat Islam dianggap tidak kreatif dan tidak memiliki pengaruh sama sekali, dan aturan-aturan komposisi puisi Arab dianggap hanya membuat pengulangan-pengulangan dan tidak adanya penemuan baru (hal 164). Ketika Grunebaum beralih kepada permasalahan-permasalahan tentang kepercayaan dan praktik peribadatan dalam Islam, dia sekali lagi menuduh bahwa Islam itu gersang, sederhana, dan secara emosional tidak memuaskan. Secara singkat, Grunebaum memberikan kepada kita sebuah tesis bahwa kegagalan Islam pada akhirnya adalah kegagalan pemikiran dan keinginan. Jika di Islam sikap kesalehan ritual diorientasikan untuk mencari kehidupan yang damai dan tenang sehingga meminimalisir kegiatan berfikir dan etos kerja, sedangkan di Barat, munculnya dunia modern ditandai dengan deklarasi tentang pikiran aktif mencari, yakni I think, therefore I am (aku berfikir maka aku ada). Filsafat Cartesian membuka jalan bagi modernisasi yang didasarkan pada nilai-nilai pencapaian dan tindakan. Fenomena modernitas juga pernah ditunjukkan oleh Weber tentang etos kapitalisme Barat yang berasal dari doktrin Protestanisme.
Turner kemudian mengkritik pendapat Grunebaum dengan dua catatan. Pertama, Turner menganggap Grunebaum mengkaji Islam dari luar dan benar-benar menganggapnya sebagai tugas akademik untuk ikut memberikan penilaian atas Islam. Pernyataannya tentang gap antara cita dan realitas dalam Islam tidak berimbang dengan yang terjadi Kristen, yang seharusnya mendapat sorotan pula. Dengan mengutip Edward Said, Turner menganggap bahwa pespektif Grunebaum penuh dengan “sikap tidak suka yang jahat terhadap Islam” (hal 169). Kedua, soal pernyatan Grunebaum tentang romantisme atau pengulangan sejarah dalam Islam. Wacana yang dikemukan dibumbui dengan keanehan literatur, di mana ia menggambungkan antara antropologi dan filologi. Ia juga melakukan pengulangan dengan mereproduksi seluruh tema mimetik orientalisme.
Sebagai catatan akhir untuk mengakhiri tulisan ini, dapat penulis kemukakan bahwa sudah saatnya sosiologi menjadi sebuah kajian yang terbuka bagi keseragaman pandangan dalam menilai masyarakat-masyarakat, baik di Timur maupun Barat. Di zaman postmodern ini maka kajian mengenai sebuah persoalan, misalnya tentang orientalisme, tidak bisa lagi dianggap sebagai sebuah pengamatan yang final, universal, dan menjadi satu-satunya kebenaran. Dalam buku ini Turner mengajukan sebuah pandaagan sosiologi yang multi-paradigmatik, hampir mirip dengan gagasannya George Ritzer yang menulis buku Sociology : A Multiple Paradigm Science (1980) –walaupun dalam buku ini Turner tidak menyebut satupun nama Ritzer. Wacana orientalisme yang telah mengakar kuat pada masyarakat Barat menjadi kajian sosiologi yang sangat hegemonik, dan kini layak untuk “dibongkar” kembali untuk mebuat keseimbangan pandangan tentang Islam dan Barat yang obyektif. Kemunculan oksidentalisme menjadi penting untuk dihadirkan.
Buku ini terasa sulit untuk dibaca secara lengkap dan tuntas karena kerumitan yang suguhkan oleh Turner sendiri, di samping kurang halusnya bahasa terjemahannya. Dengan keluasan wawasan dan literatur yang sangat dalam, Turner berupaya mengkaji secara kritis beberapa pemikir ilmu-ilmu sosial modern dengan amat komprehensif dan berimbang. Hanya saja, Turner kurang mampu membuat tulisannya itu secara sistematis untuk membidik mana saja persoalan yang layak dikritisi. Sikap kritisnya pun belum begitu mampu menjatuhkan analisa-analisa dari obyek kritikannya. Tapi, dalam persoalan orientalisme, Turner cukup berhasil dalam menghadirkan analisa Foucault dan Edward Said untuk “menghabisi” kerancuan-kerancuan kalangan orientalis yang memahami Timur dan Islam secara tidak adil. Apapun yang dilakukannya, buku ini adalah sebuah “karya agung” untuk memunculkan bagi kajian sosiologi alternatif yang bisa mengajukan analisa-analisa baru secara obyektif, plural, dan penuh keterbukaan.
Judul Buku : Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana atas Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme; Penulis : Bryan S. Turner; Penerbit : Ar-Ruzz Press Yogyakarta; Cetakan I Tahun : Agustus 2002; Penerjemah : Sirojuddin Arif, Inyiak Ridwan Muzir, dan Muhammad Syukri; Tebal : 453 halaman.
Catatan:
——————————————————————————–
[1] Disampaikan pada diskusi rutin internal IIIT Indonesia pada Hari Senin, 10 Maret 2003.
[2] Edward W. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat, (Bandung : Pustaka, 1996), cet. iii, hal. 2-3.
[3] Ibid, hal.2-4.
[4] Said mengakui bahwa penggunaan wacana (discourse) dari Foucault, sebagaimana dijelaskan dalam The Archeology of Knowlodge dan dalam Discipline and Punish, berguna sekali untuk mengindentifikasi orientalisme. Kata Said : “tanpa memeriksa orientalisme sebagai suatu discourse, kita tidak akan mungkin bisa memahami disiplin yang snagat sistematis ini, dengan mana budaya Barat mampu mengatur –bahkan menciptakan– dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, saintifik, dan imajinatif selama masa pasca-Pencerahan”. Ibid, hal. 4
[5] Richard King, Agama, Orientalisme, dan Postkolonialisme, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta : Qalam, 2001), hal. 164-5.
[6] Ibid, hal. 166.
[7] Edward Said, op.cit. hal. 34-5.
[8] Lihat Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita terhadap Barat, terj. M. Najib Buchori (Jakarta : Paramadina, 2000), hal. 20.
[9] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hal. 27-8.
[10] Ibid, hal. 24.
[11] Samuel P. Huntington, Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta : Qalam, 2000), hal. 9.
[12] Lihat Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta : Paramadina, 1999), hal. 81.
Happy Susanto, lahir di Jakarta, 3 April 1980, tercatat sebagai mahasiswa akhir Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Islam ’45 (UNISMA) Bekasi. Pernah belajar Bahasa Arab (I’dad Lughawy) di Lembaga Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta (1998-2000). Kini aktif sebagai peneliti Bidang Sosiologi pada International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, Jakarta, dan menjadi Ketua Bidang Komunikasi Umat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bekasi, dan pengurus di Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar Jakarta
© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003
(Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Senin, 16 Juni 2008)
Strategi (R)Evolusi Ilmu Sosial Milenium III
(Kadaluarsa Ilmu: Re-Imagining Sociology)
Oleh: Qinimain Zain
FEELING IS BELIEVING. MULANYA teori baru diserang dikatakan tidak masuk akal. Kemudian teori tersebut itu diakui benar, tetapi dianggap remeh. Akhirnya, ketika teori itu sangat penting, para penentang akan segera mengklaim merekalah yang menemukannya (William James).
KETIKA Dr Heidi Prozesky – sekretaris South African Sociological Association (SASA) meminta TOTAL QINIMAIN ZAIN (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000) sebagai materi sesi Higher Education and Science Studies pada Konferensi SASA medio 2008 ini, saya tidak terkejut. Paradigma baru The (R)Evolution of Social Science – The New Paradigm Scientific System of Science ini, memang sudah tersebar pada ribuan ilmuwan pada banyak universitas besar di benua Amerika, Afrika, Asia, Eropa dan Australia. Pembicaraan dan pengakuan pentingnya penemuan juga hangat dan mengalir dari mana-mana.
Contoh, dari sekian banyak masalah telah dipecahkan paradigma ini adalah menjawab debat sengit hingga kini keraguan ilmuwan sosial akan cabang sosiologi sebagai ilmu pengetahuan di berbagai belahan dunia. Tanggal 2-5 Desember 2008 nanti, akan digelar The Annual Conference of The Australian Sociological Association (TASA) 2008 di Australia, dengan tema Re-imagining Sociology. (Judul tema Re-Imagining Sociology, diambil dari judul yang sama buku Steve Fuller (2004), seorang profesor sosiologi dari Universitas Warwick, Inggris).
Lalu, apa bukti (dan pemecahan re-imagining sociology dalam paradigma TQZ) masalah sosiologi sampai ilmuwan sosial sendiri meragukannya?
PARADIGMA (ilmu) sosial masih dalam tahap pre-paradigmatik, sebab pengetahuan mengenai manusia tidaklah semudah dalam ilmu alam (Thomas S. Kuhn).
Ada cara sederhana untuk menjadi ilmuwan menemukan (masalah) penemuan (dan memecahkannya) di bidang apa pun, yaitu meneliti seluruh informasi yang ada di bidang itu sebelumnya dari lama hingga terbaru. (Sebuah cara yang mudah tetapi sangat susah bagi mereka yang tidak berminat atau malas). Mengenai informasi dari buku, menurut Isadore Gilbert Mudge, dari penggunaan buku dibagi dua, yaitu buku dimaksudkan untuk dibaca seluruhnya guna keterangan, dan buku yang dimaksudkan untuk ditengok atau dirujuk guna suatu butir keterangan pasti. Keduanya punya kelebihan masing-masing. Yang pertama luas menyeluruh, yang kedua dalam terbatas hal tertentu.
Berkaitan menonjolkan kelebihan pertama, Dadang Supardan (2008: 3-4), menyusun buku Pengantar Ilmu Sosial (Sebuah Kajian Pendekatan Struktural), cetakan pertama, Januari 2008, yang mendapat inspirasi pemikiran ilmuwan sosial Jerome S. Bruner, bahwa mata pelajaran apa pun lebih mudah diajarkan (dan dipahami) secara efektif bila struktur (fakta, konsep, generalisasi, dan teori) disiplin ilmu seluruhnya dipelajari lebih dahulu, yaitu lebih komprehensif, mudah mengingat, mengajarkan, dan mengembangkannya.
KLAIM sah paling umum dan efektif mengajukan paradigma baru adalah memecahkan masalah yang menyebabkan paradigma lama mengalami krisis (Thomas S. Kuhn).
Lalu, apa hubungannya buku pengangan universitas yang baik ini dengan debat keraguan sosiologi?
Dadang Supardan (2008:98), mengutip David Popenoe, menjelaskan jika ilmu sosiologi ingin tetap merupakan sebuah ilmu pengetahuan maka harus merupakan suatu ilmu pengetahuan yang jelas nyata (obvious). Dadang mengungkap, ahli sosiologi sering menyatakan bahwa mereka banyak menghabiskan uang untuk menemukan apa yang sebenarnya hampir semua orang telah mengetahuinya. Sosiologi dihadapkan dengan dunia masyarakat yang sebenarnya tidak begitu aneh, di mana orang-orang yang secara umum sudah akrab ataupun mengenal konsep-konsep yang diperkenalkan dalam bidang sosiologi. Sebaliknya, sebagai pembanding, dalam pokok kajian pada kelompok ilmu kealaman adalah sering berada di luar dunia dari pengalaman sehari-hari. Dalam menjawab permasalahan ilmu pengetahuan alam, temuan kajiannya memberikan ungkapan dalam bahasa dan simbol-simbol di mana kebanyakan orang hampir tidak memahaminya atau benar-benar dibawa dalam pengenalan konsep yang benar-benar baru.
Lalu, inikah bukti kekurangan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan? Ya (salah satunya).
Sebenarnya sangat jelas lagi, masalah sosiologi ini sudah diungkap Dadang Supardan (2008: 4) sendiri di awal dengan mengutip Bruner pula. Menurut Bruner, terdapat tiga tahapan berpikir seorang pembelajar, yaitu enactive, iconic dan symbolic. Enactive terfokus pada ingatan, lalu iconic pola pikir tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi seluruh informasi tertangkap karena adanya stimulan, kemudian tingkat symbolic, dapat dianalogikan masa operasi formal menurut Piaget. Dalam tahapan terakhir, siswa (dan siapapun – QZ) sudah mampu berpikir abstrak secara keilmuan pada tingkat yang dapat diandalkan, mengingat sudah mampu berpikir analisis, sintesis dan evaluatif.
MENOLAK satu paradigma tanpa sekaligus menggantikannya dengan yang lain adalah menolak ilmu pengetahuan itu sendiri (Thomas S. Kuhn).
Artinya, sosiologi yang dipelajari di sekolah dan universitas tanpa perangkat simbolik selama ini kadaluarsa dan hanya dapat disebut pengetahuan saja. Dan, untuk membuktikan kekurangan sosiologi tak perlu jauh-jauh (meski boleh agar nampak jelas) dengan ilmu kealaman, cukup dengan ilmu pengetahuan mantap masih golongan (ilmu) pengetahuan sosial juga yaitu ilmu ekonomi. Bukankah ilmu ekonomi dianggap ilmu (ratunya golongan ini) karena mencapai tingkat analogi simbolik bahasa ekonomi? (Karena itulah definisi ilmu pengetahuan dalam paradigma baru TQZ bukan kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur (sistematis), tetapi kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur (sistematis), membentuk kaitan terpadu dari kode (symbolic), satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu. Untuk ilmu pengetahuan sosial paradigma milenium ketiga telah saya tetapkan International Code of Nomenclature TQO Employee fungsinya Operation dengan kode O, TQC Supervisor (Control-C), TQS Manager (Service – S), TQI Senior Manager (Information – I) dan Director (Touch – T)).
Jadi, para ilmuwan sosial, sebenarnya sudah tahu sosiologi yang dipegang selama ini tidak layak disebut sebagai ilmu pengetahuan, meski belum tahu pemecahannya. Lantas, apa pentingnya solusi re-imagining sociology sekarang? Sangat pasti, salah satu cara memahami masyarakat untuk mengatasi krisis dunia (negara, bangsa, daerah, organisasi, usaha dan pribadi) yang semakin kompleks dan buntu selama ini. Dan, bagi lembaga penelitian dan pendidikan baik organisasi dan pribadi harus proaktif berbenah. Adalah fatal dan picik mengajarkan (ilmu) pengetahuan yang (kalau) sudah diketahui kadaluarsa dan salah, di berbagai universitas dan sekolah. Dunia (di berbagai belahan) sudah berubah.
KALAU teori saya terbukti benar, Jerman akan mengakui saya sebagai seorang Jerman dan Prancis menyatakan saya sebagai warga negara dunia. Tetapi kalau salah, Prancis akan menyebut saya seorang Jerman, dan Jerman menyatakan saya seorang Yahudi (Albert Einstein).
BAGAIMANA strategi Anda?
*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)
Wah saya setuju dengan tanggapan bapak.
selam ini memang apa yang kita pelajari dalam dunia kampus sudah usang banget.
sudah waktunya memang kita merombak segala paradigma sosiologi yang kontekstual dengan kondisi sekarang.
Sosiologi sekarang hanya menjadi kegenitan para elit dalam cas cis cdus berkata-kata akan tetapi belum mampu menjawab tantangan zaman,
Assalamu’alaikum. mas happy, saya seorang guru, saya termasuk yang awam karena baru mengajarkan sosiologi di level SMA. mau minta izin buat menshare tulisan antum untuk menjadi bahan diskusi dikelas sosiologi saya, boleh ya? mtur nuwun. sumber selalu akan saya sertakan.
Boleh, silahkan dishare…