Menunggu Hasil Para Penjual Baliho

VOX populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Suara itulah yang kini amat dinanti-nantikan kehadirannya oleh para calon legislatif. Dalam penantian yang serba tak pasti, kemungkinan besar para caleg berada dalam keadaan resah dan gelisah.

Sistem pemilihan kali ini memang membuat pusing para caleg. Dengan sistem suara terbanyak, kini semua caleg memiliki peluang yang sama untuk merebut kursi. Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi dengan pola suara terbanyak, caleg dengan nomor urut atas/kecil berpeluang besar dipilih. Tapi, kini mereka tidak bisa melenggang dengan mudah. Sementara itu, untuk yang bernomor urut besar alias nomor sepatu, keputusan tersebut membuat mereka mendapatkan angin surga karena punya peluang sama dengan nomor urut atas/kecil.

Bagi pemilih, pemilihan kali ini terasa rumit dan sulit. Rumit karena jumlah caleg yang dipilih sangat banyak. Sulit karena pemilih harus memiliki kemampuan literasi (baca tulis). Yang tak biasa membaca dan menulis berpotensi besar untuk keliru dalam mencontreng.

Akibat kondisi demikian, hasil pemilihan kali ini memang sulit diduga. Setidaknya, itu sudah terbukti. Antarlembaga survei juga punya persepsi yang beda-beda dalam menakar kekuatan suara.

Komunikasi Politik Instan

Kemampuan literasi pemilih berandil besar dalam menentukan hasil pemilihan. Pengalaman dalam sejumlah simulasi membuktikan, kebanyakan pemilih masih bingung dan keliru memilih. Itu yang membuat pusing caleg.

Framing pesan yang dibangun selama masa kampanye para caleg, ternyata, tak cukup kuat menancapkan pengetahuan cara mencontreng/memilih. Padahal, para caleg bukan hanya sudah mengampanyekan cara mencontreng, tetapi juga membangun relasi langsung dengan pemilih. Jika kemudian pada hari pemilihan para pemilih masih kebingungan dan tak yakin, memang hasil pemilihan itu seperti sebuah misteri yang susah diprediksi.

Ada dua hal yang mengakibatkan terjadi kondisi itu. Pertama, telah terjadi luberan komunikasi (over-communication). Sepanjang 10 bulan terakhir, masyarakat digempur dengan ratusan ribu pesan politik. Mulai bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, seluruh pancaindra disentuh oleh pesan polititik.

Media massa hingga media personal (seperti ponsel) dipenuhi dengan ajakan mendukung caleg. Saking melubernya pesan, pemilih bingung. Apalagi pesan yang berkembang relatif seragam/sama. Sementara itu, pemilih bersifat mudah lupa (cognitive misser). Mestinya, kreativitas pesan kampanye harus benar-benar memiliki pembeda daripada yang lainnya jika ingin dikenang pemilih. Jika tidak kreatif, akan terjadi peluang distorsi informasi. Apa yang sudah dipesankan caleg menjadi tidak sesuai dengan yang pemilih lakukan di bilik suara.

Kedua, para caleg dan parpol mengembangkan komunikasi politik relatif instan. Mereka melakukan pendekatan kepada konstituen hanya saat-saat menjelang pemilihan dilakukan. Jadi, yang dilakukannya bukan komunikasi politik (karena kalau komunikasi politik berlangsung dua arah), tetapi lebih banyak melakukan marketing polititk (yang sifatnya searah).

Komunikasi politik sebagai modal sosial untuk membangun relasi tidak bisa dilakukan sesaat (instan). Padahal, kekuatan relasi itulah yang bisa menentukan perolehan suara.

Pileg kali ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi para parpol dan politisi ataupun mereka yang hendak membangun kekuasaan politik. Sistem politik modern harus ditata dengan cara-cara yang rasional dan realistis. Kita tidak bisa hanya mengandalkan pemasangan baliho belaka, apalagi mengandalkan jasa paranormal.

Bukan Ndaru

Kekuasaan politik modern adalah sebuah prestasi usaha. Kekuasaan bukanlah seperti ”ndaru” (hadiah) yang jatuh dari langit. Kekuasaan politik modern juga bukanlah sebuah warisan. Ia harus disiapkan dan ditata dalam waktu yang tidak pendek.

Dalam zaman demokrasi yang belum utuh ini, ada sejumlah persoalan besar untuk meraih ”suara Tuhan”. Ketika para pemilih yang punya kuasa suara itu masih memandang suaranya sebagai komoditas uang atau sembako, makna politik menjadi terdegragasi. Politik menjadi kurang bermartabat. Demokrasi terkesan tidak berkualitas.

Pekerjaan besar yang tersisa dari berbagai proses pemilihan selama ini memerlukan penataan sungguh-sungguh. Bukan hanya urusan parpol, tetapi semua pihak. Sejumlah politik pragmatis yang selama ini dijalankan oleh beberapa pihak wajib dihapuskan. Sebab, itu tak akan pernah bermanfaat manakala pemilihan dilakukan dengan cara-cara tidak sehat.

Ke depan, advokasi politik bersih harus terus dikumandangkan agar Indonesia bisa menjalankan demokrasi yang bermartabat. Semoga Pileg 2009 berlangsung dengan damai. Sebab, memang hasil suara itu adalah suara yang telah ditentukan Tuhan. Janganlah resah dan gelisah. Selamat berpasrah.

Suko Widodo, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga
Sumber: Jawa Pos:   Rabu, 08 April 2009

Menunggu Hasil Para Penjual Baliho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top