Author: lutfi fadila
“Kejahatan adalah hal yang menarik, sebab orang-orang jahat mempunyai kekuatan dan kemuliaan dari sudut pandang mereka sendiri.” — J.K.Rowling.
Kembalinya Voldemort ke tampuk kekuasaannya kembali menyebarkan teror ke seluruh dunia sihir. Tidak ada lagi keamanan, karena satu-satunya orang yang dia takuti, Dumbledore, telah mati. Kementrian Sihir berada dalam kekuasaannya, begitu juga Sekolah Sihir Hogwarts dia kuasai. Kaum penyihir keturunan muggle mendapat ancaman dan harus mati karena satu kesalahan mereka, lahir sebagai keturunan muggle.
Di tengah-tengah upayanya mencari cara mengalahkan Harry Potter, Voldemort tidak menyadari bahwa Horcrux, benda-benda tempat menyimpan jiwa-jiwanya dan membuatnya tidak bisa mati, satu demi satu musnah. Muncul kesadarannya bahwa Harry Potter sedang memburu Horcrux-Horcrux miliknya ketika dia mengetahui bahwa Harry Potter mencuri Cawan Hufflepuf yang disimpan dalam ruang penyimpanan milik Bellatrix Lestrange di Bank Gringgots. Voldemort marah ketika mengetahui bahwa Horcrux-Horcruxnya yang lain hilang dari tempat penyimpanannya. Dia menyadari bahayanya dan selalu melindungi Nagini, ular peliharaannya sekaligus Horcrux ke enam, dengan mantra-mantra sihir. Namun pada akhirnya, Nagini tumbang di tangan Neville Longbottom dengan pedang Gryffindor.
Saat berhadapan-hadapan di medan tempur, Lord Voldemort dan Harry Potter sama-sama tidak lagi punya pelindung. Voldemort sudah tidak lagi memiliki Horcrux dan menjadikannya mortal lagi. Sedangkan Harry juga tidak berada dalam perlindungan ibunya atau Dumbledore lagi yang selalu meloloskannya dari serangan Voldemort. Dengan keyakinan kuat akan menang, Voldemort meluncurkan kutukan Avada Kedavra pada Harry dengan Tongkat Sihir Tetua yang terbuat dari kayu Elder—salah satu benda kematian (Deathly Hallow)—yang memiliki kekuatan sihir berlipat ganda jika dalam genggaman penguasa sejati tongkat tersebut.
PENJAHAT TITISAN
Gara-gara sosok psikopat yang terobsesi dengan kekuasaan dan keabadian, novel ciptaan J. K. Rowling secara mencengangkan telah menarik minat banyak orang—tidak hanya anak namun juga orang dewasa—kecanduan membaca. Tanpa kelahiran Lord Voldemort, pertentangan kepentingan tidak akan mencuat luas dalam dunia sihir Harry Potter. Begitu pula seorang pahlawan terpilih—Harry Potter—tidak akan muncul. Bukankah seorang pahlawan hebat lahir dari campur tangan penjahat kelas berat?
Lantas, bagaimanakah Rowling menciptakan sosok kejam tanpa rasa belas kasihan seperti Lord Voldemort? Tentu bagi seorang pengarang hebat jawabannya bukan karena novelnya membutuhkan tokoh antagonis, maka dia begitu saja menciptakan tokoh Lord Voldemort yang harus merefleksikan kejahatan intrinsik (jahat “dari sananya”).
Dalam menciptakan tokoh rekaan dalam novelnya, Rowling tidak begitu saja mengenyampingkan faktor psikologis manusia dari bayi hingga dewasa. Melalui tokoh Lord Voldemort, dapat pembaca rasakan pembentukan karakter antagonis yang tak hanya terpengaruh faktor bawaan (nature), namun juga faktor lingkungan (nurture) dan harapan masa depan (future).
Dalam novel Harry Potter dan Pangeran Berdarah Campuran, terlihat nyata perjalanan seorang bayi tersia-siakan namun memiliki galur keluarga yang penuh keangkuhan. Masa kecil Tom Marvolo Riddle dipenuhi dengan perasaan terbuang dan tak berharga. Ibunya meninggalkannya di panti asuhan karena enggan melanjutkan hidup. Sedangkan keluarganya tidak ada yang repot-repot mencari keberadaannya. Seiring bertambah usia, sifat bawaan yang dia dapat turun temurun dari moyangnya Salazar Slytherin, bahwa dirinya “anak istimewa”, membuatnya angkuh. Apalagi dia memiliki kelebihan menakut-nakuti orang-orang di panti asuhan.
Ketika bersekolah di Hogwarts, superioritas kompleksnya membubung menyadari bahwa dia adalah keturunan sang perkasa Salazar Slytherin. Dia pandai memanipulasi guru-guru dan orang lain untuk menguasai lingkungan dan mengejar keinginannya. Di usia 17 tahun, tanpa perasaan dia membalas dendam kepada ayah serta kakek neneknya sebagai kompensasi inferioritas masa kecilnya.
Psikopatologis yang menjangkiti Tom Riddle akhirnya membawa pada kebutuhan balas dendam kepada dunia untuk menunjukkan superioritas anak buangan yang sebenarnya keturunan darah biru. Haus akan harga diri, Tom yang telah berubah menjadi Lord Voldemort melakukan apa saja untuk memperoleh kekuasaan abadi. Bahkan dia tega melampiaskan murka kepada seorang bayi yang diramalkan akan menjatuhkan kekuasaannya, Harry Potter.
Merasa terabaikan dan terbuang semasa kanak-kanaknya, Lord Voldemort membenci masa lalu yang membentuknya. Kemudian dia melampiaskan amarahnya dengan membunuh ayah, kakek, serta neneknya. Apalagi mengetahui bahwa sebenarnya dia masih memiliki hubungan darah dengan sang perkasa Salazar Slytherin, kemarahan kepada kaum muggle semakin menjadi-jadi.
Begitulah Rowling, dengan cantik meramu psikologi tokoh antagonis utamanya. Lord Voldemort memiliki kekosongan hidup dan kekecewaan terhadap masa lalu, ditambah pengaruh lingkungan yang membakar kebenciannya, menyebabkan dia berambisi mencengkeram dunia di bawah kakinya. Sekaligus secara sadar menyeret dirinya sendiri ke dalam kehancuran yang fatal.
TAK ADA SEKUEL HARRY POTTER
Buku pamungkas Harry Potter ini tercatat sebagai buku terlaris sepanjang sejarah. Sebelum tanggal penerbitannya, jumlah pesanan pertama saja mencapai lebih dari 1,25 juta eksemplar. Rowling sendiri menyatakan bahwa buku terakhir inilah yang paling dia sukai karena menurutnya dia menyukai caranya mengakhiri sebuah kisah dengan cantik.
Memang benar, teknik bercerita Rowling memang sangat sempurna diukur dari kelihaiannya mengenalkan dunia baru, menggelitik syaraf petualangan dan mengungkapkan fakta sedikit demi sedikit dalam tujuh buku berseri dengan rapi dalam satu alur cerita yang kompleks. Dia telah memainkan peran tidak hanya sebagai seorang pengarang tetapi juga pendongeng yang dengan sepenuh hati memasukkan jiwa kecintaannya dalam bercerita sehingga mampu menghidupkan semua karakter yang telah dia bangun sesuai psikologi tokoh khayalannya berikut juga para pembaca.
Karena kecintaannya pada Harry Potter dia berniat mengakhirkan Harry Potter seperti apa yang diinginkannya sejak awal dan bersikeras tidak akan menambah-nambahi dengan menulis prekuel ataupun sekuel Harry Potter hanya demi tuntuntan para penggemar. Dia menyatakan bahwa pada saat cerita Hary Potter berakhir semua latar penting sudah terungkap. Dia membuktikannya dengan menamatkan kisah Potter tanpa ending terbuka, sehingga baik dirinya ataupun penulis lain tidak akan mencoba memperpanjang kisah Harry Potter. Jikalau ada buku selanjutnya yang dia tulis tentang Harry Potter, dia berniat membuat ensiklopedia dunia sihir yang berisi konsep dan potongan-potongan informasi yang tidak dimasukkannya dalam tujuh buku Harry Potter. Novel-novel selanjutnya yang ingin dia tulis adalah novel tentang misteri dewasa.
Sulit rasanya mencari-cari kelemahan dari buku yang telah sukses tujuh seri menggebrak dunia berbukuan, sesulit rasa akhir ketika pembaca sampai pada pertempuran pamungkas antara Harry Potter dan Lord Voldemort serta menyelesaikan sebuah kalimat akhir, “Selama sembilas belas tahun bekas lukanya sudah tidak terasa sakit lagi. Dan semuanya berjalan lancar.”. Tapi rasa sulit berpisah dari kisah Harry Potter yang telah menyihir seluruh dunia dengan petualangan-petualangannya, akan terobati ketika pembaca mencermati, mengulang dan mengulang kembali tujuh seri Harry Potter dan menemukan bahwa kisah ini memang layak dibaca hingga titik baca penghabisan.(*)
Judul Buku : Harry Potter and the Deathly Hallows
Pengarang : J. K. Rowling
Penerbit : Bloomsbury
Cetakan : 2007
Tebal : 607 hlm
sumber:penulislepas.com