Diskusi Reboan kembali hadir. Kegiatan rutin yang sempat vakum beberapa waktu akibat Ramadhan ini kembali dimulai dengan tema “Tokenisme dalam Pembangunan Desa”. Tidak tanggung-tanggung, empat narasumber digandeng untuk menyajikan materi. Ialah Hans Antlov. PhD. (Former Director of The Center for East and South Asian Studies, Goteborg University, Sweden), Dr. Moh. Muzakki (Wakil Rektor 1 Universitas Yudharta), Slamet Tohari, S.Fil,M.A. (Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Difabilitas) dan Hariono (Kades Kalipucang, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan).
Sebagaimana tercantum dalam Kerangka Acuan Kegiatan, tema tersebut diatas diambil karena beberapa alasan. Pertama, adanya ketidakadilan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Kedua, UU Desa belum banyak berkontribusi pada upaya penurunan kemisikinan di desa. Dan ketiga, keterlibatan perwakilan masyarakat masih sampai pada level tokenism.
Dalam penyampaian awal, Hariono menyampaikan bahwa pasca Undang-Undang Desa, desa semakin leluasa untuk mengembangkan dan membangun desanya. “Kebijakan tersebut sangat tepat. Kami bisa mengembangkan desa sesuai kebutuhan,” kata Hariono.
Hariono menambahkan bahwasanya ada perubahan cukup signifikan atas UU Desa. “Penyelenggaraan pemerintahan kian hari kian membaik dibarengi dengan partisipasi masyarakat yang tinggi. Pada akhirnya, tidak hanya infrastruktur yang bagus. Tapi masyarakat juga kian berdaya,” tambah Hariono.
Sementara itu, narasumber kedua, Slamet Thohari, S.Fil,M.A, Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Difabilitas Universitas Brawijaya menyampaikan bahwa keberadaan UU Desa belum menyentuh masyarakat difabel dan kelompok rentan.
“Aksesbilitas UU Desa bisa dikatakan belum sampai masyarakat difabel dan rentan. Sebagai contoh, keberadaan banner penggunaan APBDes nyatanya tidak bisa sampai pada beberapa kelompok,” terang Amex, panggilan akrab Slamet Thohari.
Amex menyayangkan keberadaan Dana Desa yang sampai hari ini belum berubah dari kebijakan sebelumnya. “Prinsip keadilan ternyata juga belum direngkuh oleh UU Desa, fokus masih pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Selain itu, nilai lokal yang tersemat di desa malahan mulai terkikis atas keberadaan UU Desa,” jelasnya.
Narasumber ketiga, Dr. Moh. Muzakki (Wakil Rektor 1 Universitas Yudharta) yang juga pengamat politik memberikan argumen perihal kondisi demokrasi desa. “Sejatinya, demokrasi ala modern atau demokrasi impor tidak perlu sampai masuk desa. Mengapa? Karena jauh sebelum demokrasi Pilbup keatas, desa sudah melaksanakan demokrasi,” ujarnya.
Muzakki menambahkan bahwasanya intervensi kebijakan ekonomi dari atas belum menyentuh sampai desa. Industrialisasi harusnya dilaksanakan di desa. Koperasi dijadikan korporasi, bukan malah sebaliknya.
“Nilai orisinil penting untuk dijadikan pagar dan batasan dalam membangun desa. Semua kebijakan harus berdasar pada orisinilitas. Dan juga, aktor utama pembangunan harus pula orang desa sendiri, bukan dari luar,” papar Muzakki.
Di akhir, narasumber keempat, Hans Antlov. PhD. (Former Director of The Center for East and South Asian Studies, Goteborg University, Sweden), menjelaskan dua poin penting perihal pembangunan desa.
“Pertama adalah Koordinasi. Ini perlu diperhatikan dalam implementasi dan pengawasan UU Desa antar kementerian. Bayangkan saja, dalam implementasi ada tiga kementerian yang terlibat. Sama dengan itu, pada pengawasan juga ada tiga kementerian yang ikut serta. Kedua adalah kearifan local, sebagaimana yang disampaikan Pak Muzakki tadi bahwa kearifan lokal juga menjadi penting sebagai dasar pembangunan desa. Proses mulai dari Musrembangdes hingga keatas semestinya dilaksanakan dengan baik dan khidmat,” urai Hans.
Kegiatan yang dihelat pada Rabu Malam (08/08/2018) di Hall Utama Averroes ini diikuti oleh 41 peserta yang tersebar dari berbagai latar belakang. Mulai dari kalangan mahasiswa, pekerja swasta, akademisi, pendamping desa hingga pemuda penggerak desa.