MERLEAU-Ponty suatu ketika pernah menulis bahwa fenomenologi berarti “penyangkalan atas sains” (the disavowal of science). Sungguh besar kesulitan yang harus dihadapi oleh fenomenologi gara-gara kalimat tersebut! Seberapa besar kesulitan yang sanggup dimunculkan oleh kaum fenomenolog, telah mereka perlihatkan secara gamblang dalam hal relasi mereka dengan sains. Jika fenomenologi sungguh-sungguh merupakan penyangkalan atas sains, lantas apakah fenomenologi itu selain dari mistifikasi atas realitas?
Bagaimana pembaca dari kalimat itu atau kalimat yang semacamnya mengetahui bahwa dia tidak sedang berhadapan dengan sebuah bentuk baru dan gigih dari mistisisme filosofis? Tampaknya kebanyakan keberatan atas fenomenologi mengambil bentuk sebagai tuduhan atas mistisisme. Walaupun begitu, ini tak berarti bahwa begitu tuduhan mistisime atas fenomenologi berhasil disingkirkan, semuanya akan kembali baik-baik saja. Sebuah pemahaman yang lebih mendalam atas pemikiran fenomenologi dengan sendirinya pasti membawa ke sebuah konfrontasi dengan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban mendasar yang telah melingkupi manusia semenjak fajarnya peradaban.
Namun, di sini kita ingin melibatkan diri kita dengan kesulitan-kesulitan yang muncul akibat dari kontak filosofis yang baru pertama kali, dan dengan sendirinya juga terbatas, dengan fenomenologi. Kebanyakan tuduhan atas kebingungan dalam pikiran pembaca haruslah diletakkan di kaki kaum fenomenolog.
Setiap saintis, apapun bidang kerja saintiknya, berusaha menggambarkan makna obyektif dari realitas. Namun, kaum fenomenologi menolak setiap klaim atas obyektivitas tersebut. Lantas bagaimana kita akan menyalahkan para ahli sains jika mereka menuduh fenomenologi sebagai subyektivisme? Setiap pandangan saintifik yang sejati seringkali terlihat sebagai absolut. Kaum fenomenolog jelas sekali merasakan ketidaksukaan dengan setiap klaim “pengetahuaan absolut.” Meskipun begitu, tidakkah ini secara niscaya mengharuskannya untuk mempertahankan diri melawan relativisme?
Para ahli sains memandang usaha-usaha mereka sebagai prestasi dan sebagai pemenuhan yang sejati dari akal budi manusia. Sementara, ada kaum fenomenolog yang tidak ingin mendengar kata ‘pengetahuan rasional’. Tetapi tidakkah ini menunjukkan bahwa fenomenologi itu sesungguhnya hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk irrasionalisme? Beberapa fenomenolog tidak tertarik dengan ide tentang esensi dan universalitas yang obyektif dan teratur, khususnya sejauh itu berhubungan dengan esensi manusia. Implikasi apalagi dari ketidakpedulian semacam itu selain dari pengabaian atas ideal filsafat sebagai scientia scientiarum? Dan tidakkah pemikiran ini secara niscaya mengarah pada sebuah etika situasi yang radikal?
Jika pada akhirnya kita mencatat bagaimana beberapa kaum fenomenolog tampak menolak universalitas yang subyektif dari kebenaran, kita bertanya-tanya apakah fenomenologi dapat menghasilkan sesuatu selain dari buku harian yang memikat ataupun novel yang menghibur dengan kandungan filosofis. Tetapi jika memang demikian, lalu bagaimana bisa seorang filsuf sejati mengikuti secara sepenuh hati sebuah jalur pikiran yang pada dasarnya didefinisikan sebagai “penyangkalan atas sains” itu?
Kita bisa memahami dan menghargai penegasan yang radikal ini hanya setelah kita menyelidiki apa yang telah para ahli sains lakukan terhadap konsep-konsep semisal “saintifik,” “obyektif,” “absolut,” dan “rasional.” Kita lantas akan menemukan asumsi dan presuposisi yang banyak tersembunyi dan pasti yang terselundup di dalam definisi yang sah dari konsep-konsep ini. Sebenarnya, disiplin-disiplin saintifik seringkali jatuh menjadi saintisme. Jadi “penyangkalan atas sains” oleh Merleau-Ponty tidaklah mengimplikasikan kritisisme atas hasil-hasil sains, tidak pula untuk berusaha menyangsikan validitas hukum-hukum fisika ataupun persamaan-persamaan matematika yang teliti, namun lebih berusaha untuk memecahkan kediktatoran dan absolutisme pemikiran saintifik atas segenap bentuk-bentuk pemikiran manusia.
Disarikan dari Buku karangan William A. Luijpen, “Fenomenologi dan Humanisme” (Duquesne University Press, Pittsburgh, PA 1966)