Persyaratan lulus sertifikasi sebagai tolok ukur profesionalisme guru mengundang segenap elemen masyarakat ramai membicarakannya. Beragam permasalahan timbul, baik masalah yang terkait dengan proses pelaksanaannya maupun permasalahan yang terkait dengan kualitas guru yang bersangkutan.
Diskursus mengenai keberlanjutan sertifikasi guru nampaknya akan terus bergulir entah sampai kapan. Karena sampai saat ini perdebatan antara perlu atau tidaknya sertifikasi akan berbenturan dengan kepentingan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK). Bahkan beberapa pimpinan LPTK pesimistik terhadap kemampuan sertifikasi dalam menjamin mutu dan peningkatan kualitas pendidik.
Gagasan awal sertifikasi adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Sesui amanat UU Nomor 14 tahun 2004 tentang Guru dan Dosen yang menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru. Maka program ini hendaknya janganlah dipandang sebagai proses legalisasi semata, akan tetapi harus dipandang sebagai ijtihad untuk meningkatkan kompetensi profesi guru. Karena itu proses ini harus betul-betul dilakukan secara teliti dan cermat agar tak menurunkan mutu guru.
Sertifikasi dan Profesi Guru
Tesis pertama tentang diperlukannya proses sertifikasi guru adalah untuk untuk menjawab problem spesifik keguruan. Persoalan kronis keguruan kita, seperti dituturkan Beeby (1975), adalah “praktik kelas” yang membosankan. Guru-guru menerangkan pelajaran dengan latar belakang pengetahuan dan keterampilan metodik yang minimal, terbatas pada buku teks yang dimilikinya. Andalan lain mungkin sisa-sisa ingatannya dari apa yang pernah dipelajarinya dulu di sekolah.
Penyeragaman standar kualitas pendidik melalui program sertifikasi guru bisa diasumsikan bahwa model penyiapan pendidikan profesi guru telah gagal menyiapkan calon-calon pendidik handal. Sehingga dirasa perlu untuk dicarikan solusi tambahan untuk benar-benar mendapatkan guru-guru yang mumpuni.
Tesis yang tersebut di atas memang tidak berlaku secara keseluruhan. Karena ada tesis lain lagi yang berkembang di masyarakat, yaitu tesis tentang motif politik yang melambarinya. Sehingga program ini terlihat sangat urgen untuk dilaksanakan. Hal ini sangat terkait dengan momentum politik yang sebentar lagi bergulir, yaitu pemilu 2009 baik pemilu legislatif maupun presiden. Mengingat potensi guru yang cukup besar untuk mendulang suara, sehingga semua yang berkepentingan tentu berebut untuk mendapat simpati mereka.
Dari kedua tesis yang muncul di masyarakat tersebut rupa-rupanya tesis kedua yang lebih bisa untuk di terima akal. Karena betapa mungkin suatu profesi bisa diukur secara tunggal dari setumpuk sertifikat. Bagaimana kemampuan mendidik dimaknai dengan selembar sertifikat. Sangat tidak masuk akal.
Permasalahan lain yang timbul di masyarakat sebagai imbas dari kebijakan ini adalah disharmoni atar guru menjadi sering terjadi. Ambil contoh, seorang guru tua yang telah lama mengabdi hanya karena hanya berbekal ijazah Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dia tidak lolos dalam sertifikasi. Sebaliknya ada seorang guru muda yang baru lulus dari pendidikan kesarjanaannya dengan mudah lulus sertifikasi dan memperoleh keuntungan ekonomi yang lebih daripada guru yang tua tentunya. Dari sini bisa dilihat bahwa aspek keadilan masih belum terasa.
Selain itu seharusnya pemerintah juga harus berpikir ulang untuk melanjutkan program ini. Dari sisi penganggaran, 20% anggaran pendidikan saja, pemerintah masih memasukkan item gaji guru di dalamnya. Bagaimana mungkin anggaran 20% murni untuk pendidikan bisa terealisasikan jika pemerintah juga harus menganggarkan gaji untuk guru yang lolos sertifikasi. Akhirnya, dari program ini banyak bermunculan lembaga-lembaga calo pembuat sertifikat. Betapa parahnya sakit yang diderita oleh sistem pendidikan kita. Wassalam.
oho hoo