Spiritualitas Pulang

mudik-lebaran-pulang-kampung

Lebaran identik dengan pulang ke kampung halaman.

Mereka yang pulang kampung akan memaknainya secara budaya dan agama. Kebetulan pulang kampung senapas dengan Lebaran yang melimpah silaturahmi, mengalir mata air maaf dan ampunan dan eksodus kembali ke fitrah. Pulang kampung bukan sekadar rekreasi dan relaksasi, tapi juga rejuvenasi batin dan sikap hidup. Tidak ada pulang, tanpa pergi yang mendahului. Tidak ada pulang yang disyukuri, tanpa pergi yang ditangisi. Spiritualitas pulang justru ketika ia bisa “menebus” berbagai duka ketika pergi atau selama di perantauan.

Pulang ke kampung adalah penebusan dari berbagai derita, duka, air mata, kesesakan, kehampaan, kemiskinan dan seterusnya menjadi bahagia, sukacita, tawa, kebebasan, merasa bermakna, dihargai, diterima apa adanya dan cukup, mangan ora mangan asal kumpul.
Kebiasaan pulang kampung atau mudik bukan hanya monopoli orang Indonesia, di berbagai belahan dunia lain pulang kampung juga jadi tradisi. Ihwal pulang kampung di saat Lebaran banyak diulas baik secara Islam pun psikososial. Tidak ada salahnya kita melengkapi dengan wacana pulang kampung secara alkitabiah, karena tidak sedikit umat kristiani dan umat agama lain juga pulang kampung.

Pulang mensyaratkan dua hal, yakni pergi yang mengarah pada sebuah tujuan dan keluar yang bermakna meninggalkan tempat semula di mana kita berada. Salah satu peristiwa pulang kolosal ialah eksodusnya bangsa Ibrani ke Tanah Perjanjian, sering juga disebut Tanah Kanaan. Dalam konteks eksodus ini tidak diawali dengan merantau ke Mesir, lebih sering dimaknai masa pembuangan atau perbudakan di Mesir.

Di perantauan kita juga merasa dibuang dan diperbudak sehingga memendam hasrat pulang agar diterima dan bebas dari kekangan. Ketika ada sebuah tanah yang lebih baik dari Mesir dijanjikan, kerinduan untuk pergi dari Mesir dan keluar dari kung­kungannya menguat dan terlaksana pada episode eksodus 40 tahun itu. Pergi ke Tanah Perjanjian dan keluar dari Mesir membawa makna yang sama sekali berbeda. Perbu­dak­an diganti dengan kebebasan, aniaya diganti dengan kehormatan, kemiskinan diganti dengan “tanah yang melimpah susu dan madunya”.

Tanah Perjanjian

Pulang ke Tanah Perjanjian dengan keluar dari Mesir juga menyiratkan pembelaan. Mela­lui kesepuluh tulah bangsa Mesir, Tuhan menaklukkan Firaun dan membebaskan Musa membawa bangsanya pergi. Pulang kampung dengan begitu adalah periode ketika kita merasa dibela. Bahwa kesusahan sepanjang tahun pupus oleh pulang seminggu di kampung. Bahwa kegagalan dan kekecewaan di perantauan yang traumatik tidak ada apa-apanya dibanding dengan ketika pulang kampung di mana semua kekalahan itu diterima apa adanya oleh mereka yang di kampung, baik kita sebagai korban yang gagal pun hati yang putus harapan. Kampung siap menerima apa adanya, asalkan kita pulang. Mengapa kita dibela, itu juga menandakan kita masih ada yang mengasihi. Jika bukan sanak keluarga di kampung, yang pasti adalah Tuhan sendiri.

Kota perantauan dan wilayah urban yang keras dan kejam, bergelimang salah dan dosa diprototipkan dengan kisah Sodom Gomora. Di sini Tuhan mengasihi Lot (keponakan Abraham), istri dan dua anak perempuannya yang di­be­la oleh malaikat Tuhan un­tuk keluar dan pergi dari So­dom Gomora yang akan di­tunggangbalikkan. Jika bukan mati fisik, pembelaan Tuhan atas Lot jelas upaya meng­hi­dup­kan rohaninya. Lot dan keluarganya diminta pulang ke pegunungan setelah menetap di Zoar lebih dahulu, sayang seperti kita tahu istri Lot me­noleh ke belakang saat penghancuran Sodom Gomora terjadi, ia mati jadi tiang garam.

Apa yang bisa dipetik ialah bahwa yang harus ditinggal­kan pergi dan keluar dari kota perantauan bukan hanya ke­nangan buruk, kepahitan, derita, kegagalan, dst, tetapi juga kesuksesan semu, kenikmatan artifisial, kekayaan yang ko­rup, dll yang merasa membuat kita betah dan tidak ingin pulang kampung namun sebenarnya menipu. Kita seperti istri Lot yang tak bisa melupakan kenangan manis, tapi berujung maut. Pulang kampung adalah wilayah pencucian batin, me-recharge pada kesejatian hidup yang asli dan bukan pura-pura, mengembalikan kekayaan pada kehalalannya, merengkuh kenikmatan pada yang kekal dan bukan sementara, mereguk kesuksesan yang maslahat bagi sesama dan bukan egoisme pribadi.

Makna Penebusan

Dari itu semua ada benang merah bahwa pulang kampung bagian dari upaya pene­busan. Sebelum pulang kampung kehidupan kita di perantauan tergadai dan terpenjara. Kehidupan kita menjadi mis­kin dan tidak bebas. Mungkin kita dijanjikan kehormatan, berkah, kesuksesan, kebahagiaan, tetapi semuanya itu ma­sih dijamin­kan pada kehidupan kota yang kejam. Kita belum bisa mendapatkannya, namun bisa ditebus dengan pulang. Harga diri kita yang terinjak-injak dipulihkan oleh mata dan sikap sanak keluarga di kampung yang menerima dengan tulus. Berkah dan kesuksesan yang tak seberapa, tetap dihargai. Kehadiran kita lebih besar harganya, meski kita tidak kaya. Kita seperti keluarga baru yang ditunggu-tunggu karena telah terhilang dan kini datang kembali.
Kisah tentang Anak Hilang menyiratkan bahwa warisan dan foya-foya di kota tidak menghasilkan apa-apa selain membuatnya miskin dan terpuruk. Ketika anak yang hilang ini insyaf dan pulang ke kampung halaman ayahnya, ia diterima dengan tulus. Tidak ada kutuk, sumpah serapah dari bapaknya, sebaliknya ia justru diberi pakaian baik, dipestakan, dst. Pulang membutuhkan keberanian bukan pulang dengan sukses dan bermobil saja misalnya, tetapi pulang dengan tidak membawa apa-apa, bahkan pulang dengan kondisi terpuruk sekalipun. Pulang itu sendiri jalan penebusan, tak peduli kondisi yang menyertainya. Kisah di atas juga menyiratkan sikap mereka yang di kampung halaman semestinya seperti bapak si anak ini, yang menerima apa adanya, memeluk dan memestakan kepulangannya, meski ia pulang dengan compang-camping dan hina. Bapaknya tetap mengasihi tanpa syarat, inilah kearifan kampung halaman yang mestinya terpelihara sampai hari ini.
Kejujuran dalam pulang kampung membawa pemulihan, tapi “bertopeng” saat pulang kampung hanya menjadi cibiran kelak. Pulang dengan begitu pertama-tama ialah pulang kepada Tuhan mengakui salah dan dosa (kembali ke fitrah), pulang kepada cara hidup dan nilai-nilai yang baik dan arif, barulah pulang kepada kampung halaman secara fisik bertemu sanak-saudara dengan tali silaturahmi dan terakhir yang tak boleh dilupakan ialah pulang kepada lingkungannya yang telah membesarkan: tanah, sawah, pepohonan, mata air, sungai, hutan, fauna, dll. Pendeknya alam raya yang adalah rahim dan ibu kehidupan manusia.

STEVANUS SUBAGIJO

Penulis adalah peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/spiritualitas-pulang/

Gambar: http://behance.vo.llnwd.net/profiles2/102715/projects/218867/1027151241081929.jpg

Spiritualitas Pulang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top