Oleh Abdullah Yazid
Bahan Bakar Minyak (BBM) memang merupakan sebuah komoditas yang sangat sensitif. Ia merupakan sebuah komoditas pembangkit energi yang menggerakkan sekian banyak sendi kehidupan di masyarakat (price leader).
Tentunya disadari bahwa ketika pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan untuk menaikkan harga BBM, pasti terjadi reaksi penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat . Sebab, beban yang akan diderita masyarakat tidak hanya beban yang berkait dengan hal-hal ekonomis, tapi juga beban sosial dan psikologis. Masyarakat yang sudah resah dengan himpitan ekonomi, bencana alam, banjir, tanah longsor, dan gempa bumi yang banyak terjadi di berbagai daerah, masih akan ditambah lagi dengan ancaman kenaikan biaya hidup dengan naiknya harga BBM ini. Secara psikologi sosial, hal ini jelas akan menjadi masalah baru yang mengancam perikehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Realitas suksesi kepemimpinan di Indonesia juga tidak pernah “berpihak” pada
aspirasi harga murah BBM ala rakyat. Kenaikan harga BBM selalu saja terjadi di setiap periode pemerintahan bangsa ini. Semenjak era pemerintahan Abdurrahman Wahid, kebijakan atas BBM dilanjutkan pemerintahan di bawah Presiden Megawati Soekaroputri yang menaikkan harga BBM sebesar 30%.
Kini, ternyata pemerintahan SBY juga tidak beda jauh dengan sebelumnya dalam hal kebijakan harga BBM. Nampaknya BBM tetap saja komoditas negara yang harus mengalami kelonjakan harga karena tuntutan harga minyak dunia. Harga minyak dunia memang terus meningkat, bahkan mengatrol kebutuhan subsidi BBM dalam anggaran.
Hal ini menyebabkan kebutuhan impor minyak dan BBM oleh Pertamina juga ikut meningkat. Dengan harga USD 67 per barel, kebutuhan subsidi BBM bisa mencapai angka Rp 163 triliun yang berarti dua kali lipat lebih nilai subsidi dalam APBNP sebesar Rp 76,5 triliun (Jawa Pos, 16/8/05).
Nampaknya perkara inilah yang membuat rencana pemerintahan sekarang menaikkkan harga BBM. Presiden SBY yang menjanjikan banyak perubahan dan kesejahteraan bagi masyarakat, jauh-jauh hari sejak isu kenaikan BBM bergulir bahkan telah siap untuk dikatakan tidak populer.
Bagi penulis, Presiden SBY kiranya penting menakar ulang bahwa persoalannya
bukan populer atau tidak populer di mata rakyat. Sejak akhir 2004, negeri ini harus mengembalikan utang 7,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 67,5 triliun) per
tahun berupa cicilan pokok dan bunga. Sementara itu, dari hitung-hitungan
abstrak akibat kenaikan harga minyak dunia yang tidak menentu ini, untuk
subsidi BBM yang dinilai banyak kalangan tidak tepat sasaran itu memerlukan
anggaran negara hampir Rp 100 triliun!
Kalau semuanya dibebankan pada APBN yang nilainya Rp 397,8 triliun pada tahun 2005 (belum termasuk kalkulasi kebijakan dana darurat akibat tsunami), tentunya akan semakin memperumit kesinambungan anggaran dan memunculkan krisis fiskal.
Artinya, urusan anggaran internal Indonesia yang sudah begitu ruwet, subsidi
BBM yang tidak pernah tepat sasaran, kenaikan BBM yang menuai protes rakyat kecil, penangguhan pembayaran utang (moratorium) negara-negara kreditor yang hanya sesaat, suatu saat akan “mencekik leher” bangsa Indonesia.
Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban. Padahal, spirit yang mestinya harus
dibangun adalah mencarikan jalan keluar kebutuhan mendasar rakyat, yang
otomatis harus seiring dengan kapasitas kemampuan masyarakat, apapun
kebijakannya!
Namun, bercermin dari pengalaman dan perjalanan pemerintahan kita, nampaknya kenaikan harga BBM tidak dapat ditahan lagi. Meskipun kenaikan harga BBM bukan satu-satunya cara yang efektif untuk memberantas penyelundupan BBM, tetapi itulah pilihan Presiden SBY yang didukung banyak pejabat birokrat.
Maka, dengan tidak mengurangi rasa kritisisme dan kontrol masyarakat atas
setiap kebijakan pemerintah, begitu kenaikan itu mulai berlaku, program-program kompensasi harus sungguh-sungguh langsung dilaksanakan.
Mekanisme kompensasi kenaikan harga BBM hendaknya bukanlah omong kosong belaka dan dapat dipertanggungjawabkan mengingat masih demikian banyak orang miskin yang terkena dampak langsung dari kenaikan harga BBM yang membutuhkan langsung dari pemerintah.
Masalah pemberian kompensasi memang tak harus dikaitkan dengan kenaikan harga minyak. Pemberian kompensasi-menyediakan fasilitas kesehatan dan pendidikan, misalnya-memang sudah menjadi kewajiban pemerintah.
Itulah mengapa adanya dana kompensasi buat sektor-sektor tertentu yang
digembar-gemborkan pemerintah dituntut untuk benar-benar dipertanggungjawabkan; transparansi penyaluran dana perlu dikontrol secara ketat; serta benar-benar tepat sasaran.
Sementara itu, adanya pengalihan subsidi BBM ke sektor-sektor lain semisal
pendidikan, kesehatan, beras murah bagi rakyat miskin, pemberdayaan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), serta mencarikan jalan keluar bagi meledaknya masalah pengangguran yang cenderung meningkat jangan hanya sekadar retorika.
Selama ini, dana yang dialokasikan untuk pendidikan maupun untuk meningkatkan kemampuan nasionalnya jauh lebih sedikit dibandingkan dana yang habis hanya untuk membayar hutang, KKN,, dan untuk subsidi harga BBM.
Dalam menyusun target terhadap obyek dan kebutuhan yang perlu diberi subsidi, Indonesia setidak-tidaknya bisa meniru Malaysia sebagai negara tetangga yang mempunyai kedekatan etnis dengan kita, yang mana menggunakan bagian cukup besar dari hasil minyak dan pertaniannya untuk pendidikan dan pengembangan kemampuan nasionalnya.
Secara logika dan nalar sehat, sesungguhnya subsidi BBM telah mengakibatkan
pengusaha kita manja dan tidak mandiri. Subsidi BBM menyebabkan ketergantungan yang berlebihan pada minyak, di samping menyebabkan peningkatan impor BBM serta mengurangi ekspor migas yang mengurangi devisa dan menyebabkan kurang berhasilnya program-program diversifikasi energi (pemakaian energi lain) dan program konservasi energi (penghematan energi).
Para elit-elit legislatif dan eksekutif mestinya mencamkan nasehat Confusius
yang menyatakan: “Give a man a fish and you feed him for a day. Teach him to fish and you feed him for lifetime”. Dengan menyubsidi harga BBM, Indonesia memberikan ikan kepada orang miskin yang tidak pernah membuatnya kaya.
Maka, nalar kearifan dan kebijaksanaan untuk lebih menekankan subsidi pada
sektor yang lebih mengena pada masyarakat golongan the haves not (bukan rakyat golongan atas) haruslah lebih dipertimbangkan.
Akhirnya, kenaikan harga BBM yang memang menjadi logika pemerintah (berbanding terbalik dengan logika rakyat?) nampaknya sangat sulit diprotes dalam bentuk dan format apapun. Harapan rakyat tinggal efektivitas, efisiensi, transparansi, akuntabilitas dana kompensasi, dan rasa “tahu diri” pemerintah terhadap sektor-sektor prioritas permasalahan bangsa.
Pemerintah mesti menyadari betul, rakyat selalu menjadi pihak yang dikorbankan dan tidak pernah mampu menuntut hak dan aspirasinya secara utuh. Apakah memang ini tujuan sebuah bangsa yang berdaulat dengan jargon “demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”?
Penulis adalah Pemerhati Sosial Pendidikan FKIP Univ Islam Malang (Unisma),
Pemimpin Umum UKPM “Kanjuruhan” dan Staf Peneliti Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) Averroes Malang. e-mail
sumber: http://www.freelists.org/archives/nasional_list/09-2005/msg00232.html