KITA hidup dalam masyarakat global-liberal-kapitalis, dan itu benar. Tapi apakah dengan itu subyek atau manusia juga mati, sebagaimana dikatakan kaum posmo? Posmodernis adalah konservatif sejati! “dalam ketegangan struktur, justru subyek hidup kembali, dan bukannya mati sebagaimana dikehendaki posmo,” kata Slavoj Zizek, seorang Marxis-Lacanian. Bagaimana itu mungkin?Zizek menerima ide sosiolog Ulrich Beck bahwa masyarakat kontemporer kita adalah risk society atau ‘masyarakat penuh risiko’. Risiko di sini mengacu pada suatu pemahaman mengenai kondisi low probability-high consequence. Kondisi ini biasa dilihat dari pelbagai dilema, seperti meningkatnya emisi karbon yang mengakibatkan pemanasan global dan polusi kecil pada makanan karena estrogen artifisial yang menmghasilkan dampak yang luar biasa pada sterilisasi populasi laki-laki.
Lebih dari itu, yang menjadi persoalan utama di sini kemudian kenyataan lanjutan bahwa risiko dalam the risk society itu lebih merupakan sebuah manufactured risks, yakni bahwa mereka adalah produk bikinan mausia sendiri. Dengan demikian, diakui bahwa risiko di sini berlanjut pada kenyataan bahwa kita sudah tidak memberi alam kesempatan untuk memperbaiki dirinya demi kemaslahatan manusia sendiri. Akibatnya, upaya mengatasi risiko ini selalu dilakukan melalui intervensi teknologi, yang pada gilirannya kemudian kembali menghasilkan risiko dan jeratan baru bagi kita.
Dengan begitu, sebagaimana ditegaskan Anthony Giddens, kita sebenarnya disandera dalam gejala reflekivitas diri, dengan penghancuran yang efektif atas sebuah risiko menghasilkan generasi baru dari risiko. Akibatnya, kita sekarang hidup dalam dunia yang sepenuhnya subyektif, ketika baik pertanyaan maupun jawaban atas semua pertanyaan kita ternyata kembali pada pengakuan kita lagi : kita hidup tanpa basis yang substansial.
The Big Other
Jerat reflektivitas ini yang pada akhirnya melumpuhkan seluruh kekuatan The Big Other (jaringan komunal dari institusi sosial, pemerintah, hukum formal dan sebagainya). Dengan kelumpuhan ini kita hidup dalam situasi yang minim idealisasi, tanpa rujukan, atau dalam istilah Zizek disebut sebagai pendangkalan dari Symbolic Efficiency, yakni disfungsi dari pranata-pranata publik dalam masyarakat. Kita hidup dengan ‘budaya seolah-olah’. Kita mendapatkan lebih dari segala apa yang kita bayar, tapi toh kita bingung untuk menggunakannya dalam keperluan apa.
Dengan kelumpuhan The Big Other, subyek tidak lagi tunduk di bawah hukum-hukum alamiah dan tradisi. Subyek menjadi subyek yang memilih (subject of choice). Kita sepenuhnya bebas melakukan apa yang kita mau. Namun, subyek dalam kebebasan memilih di sini sama sekali bukan berarti subyek yang otonom, yang melesat tanpa meninggalkan bahaya apa pun. Zizek mengatakan salah satu persoalan utama dari keadaan reflektivitas dan kelumpuhan The Big Other ini adalah menguatnya gejala subjection, atau katakanlah semacam narsitik pasif destruktif. Manakala subyek kehilangan pegangan dari hukum The Big Other, subyek menyusun mekanisme penyeimbang dengan membangun semacam hukum-hukum privat yang mengarah pada relasi dominasi subyeksi itu tadi.
Gejala meluasnya sado-masochism merupakan bukti dari seluruh fenomena ini. Di sini subyek menurunkan kepuasan libidisnya secara bebas, tapi dengan sekaligus menjadikan dirinya semacam budak dari tuan tertentu. Dengan kata lain, di sini subyek dalam masyarakat kapitalis kontemporer / posmodern adalah subyek dengan tanda enjoy! Kenikmatan paradoksal yang diperoleh dengan hancurnya The Big Other, tapi dinikmati sebagai beban yang termanifestasikan dalam kerinduan akan disiplin.
Perluasan gejala ini adalah terjadinya pembalikan dari superego Kantian, yang secara normal biasanya dirumuskan dengan hukum “Kamu harus!”, yakni “Kamu harus, maka kamu bisa!” menjadi superego posmodern yang berbunyi, “Kamu bisa, maka kamu harus!”. Contoh paling jelas dari gejala ini adalah viagra. Viagra, menurut Zizek, adalah bentuk kimiawi dari superego. Bukan superego dalam artian Kantian di atas, tapi superego baru yang dibentuk oleh kapitalisme posmodern. Viagra membuat manusia mampu melampaui batas dari apa yang seharusnya dan menghapuskan halangan apa pun untuk menikmati jouissance. Viagra mencerminkan transformasi batas-batas dalam moralitas yang lama. Dalam viagra, hukum yang semula berlaku “Kamu harus, maka kamu bisa!” diubah menjadi “Kamu bisa, maka kamu harus!” (The Fragile Absolute, hal 133).
Gejala lain yang diakibatkan lumpuhnya The Big Other adalah meluasnya paranoia. Ini bisa dilihat dari gejala banjirnya berbagai tayangan, terutama misalnya film-film yang dianggap kurang lengkap apabila tidak menyertakan figur-figur penuh rahasia, seperti military-industrial complex, agen rahasia asing, dan alien monster yang mengintai dari pesawat angkasa yang diparkir di langit. Muncul fantasi akan adanya sejenis kekuasaan yang secara rahasia melakukan pekerjaan kontrol dari pemerintah. Ini yang disebut Zizek bahwa kehilangan The Big Other membuat subyek mengkreasi The Big Other (mata-mata, organisasi rahasia, bahwa Elvis masih hidup, dsb) (The Ticklish Subject : 374)
Kembali ke Subyek
Pertanyaan yang kemudian menjadi penting di sini: sejauh mana subyek bisa mengatasi masalah ini? Apakah ada peluang bagi subyek untuk membebaskan dirinya? Bagaimana dilakukan? Untuk ini, ia kembali ke konsepsi subyek Lacan. Zizek melihat peluang ada dalam gap antara The Real (wilayah atau dunia yang belum terbahasakan oleh manusia) dan The Symbolic (dunia yang telah dijamah oleh bahasa manusia, struktur, hukum. Agama dsb), yakni dalam proses yang disebutnya dengan subyektivisasi.
Menurut Zizek, dengan melihat hubungan The Real dan The Symbolic, jelas bahwa subyek didirikan dengan dasar kehilangan yang permanen, yang dicampakkan dari kemenyeluruhannya. Subyek di sini selamanya adalah subyek yang nostalgik, yang selamanya mencoba memulihkan kembali rasa hilang itu secara sia-sia. Sialnya, keadaan ini harus tetap demikian, kehilangan itu harus tetap menjadi kehilangan agar subyek tetap menjadi subyek. Subyek, dengan kata lain, mesti menghadapi eksternalisasi untuk tetap bertahan sebagai subyek. Tempat dimana subyek berada selamanya dalam eksternalisasi itu adalah The Symbolic pada sang bahasa atau sang kata-kata. Inilah yang oleh Zizek disebut dengan subyektivisasi.
Menurut Zizek, peluang dimungkinkan karena pada subyek diandaikan berlangsung dua proses. Di satu sisi, The Symbolic memang hadir dan membatasi kita. Namun, di sisi lain, karena The Symbolic itu sendiri juga senantiasa tidak lengkap, cara bagaimana kita mengintegrasikan elemen-elemen The Symbolic itu serta menceritakannya – atau techne of the self (?) dalam bahasa Foucault – adalah bergantung pada kita sendiri. Misalnya, meskipun kita lahir dari lingkungan rasis, kita bisa memutuskan berubah untuk, misalnya, menjadi manusia yang toleran.
Artinya, solusi dalam berhadapan dengan penjara kehidupan dalam reflektivitas serta dalam rangka menghadapi himpitan ketegangan The Symbolic dengan The Real, juga dalam rangka mengatasi keterpukulan manakala berhadapan lagi dengan kekosongan di dalam The Symbolic, hanya bisa dilakukan dengan mensyaratkan penerimaan yang penuh akan kenyataan ‘keterpenjaraan’ ini. Baru dari situ dan di dalam situ subyek harus bertindak membebaskan dirinya.
Kemampuan tindakan pembebasan ini bisa dilihat, misalnya, dalam contoh yang ada di berbagai film komersial. Dalam gestur yang radikal, misalnya, tindakan itu bisa kita lihat dalam diri sang hero di film Speed, yang pada saat berhadap-hadapan dengan teroris yang menyandera partnernya dengan pucuk senjata, sang pahlawan bukan menembak si teroris, melainkan malah kaki partnernya. Tindakan tanpa perasaan ini yang pada akhirnya membebaskan sang partner dan mengalahkan sang teroris.
Di sini, dalam keadaan keterkungkungan dan tekanan, subyek mengambil keputusan yang ‘gila’, yang sebelumnya seperti tidak mungkin, tapi justru menjadi mungkin setelah tindakan itu dilakukan. Tindakan mendahului peluang. Tindakan ditujukan untuk mengubah koordinat situasi sehingga akhirnya subyek bisa menemukan dirinya. Dengan memutuskan dirinya dari dalam bahasa Buddhisme kemelekatan terhadap obyek (kaki sang teman), yang di dalamnya sang musuh bisa mengendalikannya, subyek menemukan ruang untuk bertindak bebas.
Di titik ini, menurut Zizek, subyek muncul justru dalam ketegangan permanen antara dirinya dan dunia. Positivitas di dalam subyek tumbuh justru karena negativitas di dalamnya. Dengan demikian, yang menjadi masalah utama bagi kebebasan manusia, menurut Zizek, bukannya pada sejauh mana struktur itu menindas atau sejauh mana perubahan dimungkinkan atau tidak. Yang menjadi penting di sini adalah sejauh mana manusia mau mendefinisikan terlebih dulu struktur serta berbagai ketidakmungkinan itu secara politis.
(Robertus Robet, Koran Tempo Minggu 6 Mei 2007)