Petugas pameran berjaga di gerai Gorontalo yang memamerkan berbagai potensi daerahnya berupa jagung pada Sulawesi Expo di Jakarta, Kamis (12/11).
Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO) sejak tahun 2008 mengategorikan Indonesia sebagai satu dari 37 negara di dunia yang berisiko krisis pangan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknologi pangan nonberas sebagai upaya diversifikasi pangan dengan mempertimbangkan potensi lokal.
Menurut ahli gizi dari Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Clara M Kusharto dalam Sosialisasi Obat Bahan Alam dan Makanan Tradisional yang diselenggarakan Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT), Rabu (4/11) di Jakarta, menegaskan bahwa pangan merupakan hak asasi manusia (HAM), mencakup akses yang teratur, tetap, dan tidak terhalang.
Namun, berdasarkan data FAO tahun 2006, sekalipun pangan merupakan HAM, fakta di lapangan, lebih dari 815 juta orang masih menderita kelaparan dan gizi buruk yang kronis. Sekitar 35 juta orang meninggal setiap tahun, sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari kelaparan, dan sekitar 75 % dari yang kelaparan adalah penduduk pedesaan.
Dikatakan, pemerintah tidak boleh menghilangkan akses masyarakat terhadap pangan yang cukup, dan harus melindungi masyarakat dari kehilangan akses pangan. Pada masyarakat yang tidak tercukupi kebutuhan pangannya, maka pemerintah harus proaktif menciptakan lingkungan yang dapat memungkinkan masyarakat untuk dapat mandiri. Jika masyarakat belum mampu melakukannya, maka pemerintah harus menjamin ketersediaan pangan.
Wakil Direktur Bidang Akademik Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Dr Edi Martono menuturkan, sumber pangan utama manusia adalah biji-bijian, termasuk di antaranya beras. Namun, produksi pangan saat ini tidak sebanding dengan kebutuhan manusia. Hal ini antara lain disebabkan perubahan iklim yang berdampak pada gagal panen di sejumlah tempat.
Perubahan iklim itu, antara lain banjir dan kekeringan. Selain itu, areal pertanian yang subur pun menyusut sebagai akibat dari pertambahan penduduk yang membutuhkan tempat tinggal, dan jumlah kebutuhan pangan pun meningkat. Di sisi lain, katanya, jumlah orang yang berminat sekolah di bidang pertanian menurun. Ia mencontohkan, peminat Fakultas Pertanian di UGM lebih rendah (1 : 8) daripada peminat Sastra Jepang (1 : 22).
Pangan Alternatif
Edi juga menjelaskan, keterbatasan pangan semakin meluas, karena persaingan kebutuhan manusia terhadap biji-bijian dengan kebutuhan ternak yang juga mengonsumsi biji-bijian, serta kebutuhan untuk bahan bakar nabati.
Menghadapi keterbatasan pangan itu, khususnya beras, menurut Kepala Sub Direktorat Bidang Konsumsi Departemen Pertanian Endang Sulistiyowati, perlu diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Upaya ini, katanya, akan mendorong dan menjadi insentif penyediaan produk pangan yang lebih beragam dan aman.
“Dari sisi produksi, penganekaragaman konsumsi pangan dapat meminimalkan risiko usaha pola monokultur, meredam gejolak harga, meningkatkan pendapatan petani, dan melestarikan sumber daya alam,” kata Endang. [N-4]
ANTARA/Rosa Panggabean
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=11787