Klaim bahwa ada-sebagai-manusia haruslah didefinisikan sebagai eksistensi, sebagai ada-yang-sadar-dalam-dunia, tidaklah dapat dibuktikan dengan pengertian logis secara ketat. Mendefiniskan manusia dengan jalan ini menjadi sah hanya di atas dasar sebuah pandangan yang tak bisa direduksikan menjadi sebuah pandangan yang lebih umum. Seorang filsuf hanya dapat “menunjuk” pada definisi. Ini tentu saja merupakan sesuatu yang amat disayangkan, karena memang tak ada jalan keluar dari itu. Kita semua harus memulai dengan menunjuk kepada sebuah realitas yang dimaksud; tanpa itu kita tak akan pernah tahu tentang apakah yang kita bicarakan. Membicarakan berarti telah “menghadirkan sebuah realitas ke pandangan dan ke cahaya”. Jika pembicaraan gagal melakukan hal ini, kita hanya akan memiliki bunyi yang hampa. Filsuf berbicara dan pembicaraan itu menghadapkan kepada pandangan apa yang telah terlihat. Husserl mengatakan “adalah tidak mungkin untuk mencapai kesepakatan dengan seorang individu yang entah tak bisa ataupun tak mau melihat.”
Ada beberapa jalan dimana kita bisa memperlihatkan bahwa ada-sebagai-manusia berarti eksistensi. Sebagai titik awal, kita bisa mengambil makna tubuh manusia. Siapapun yang ingin mengekspresikan dalam kata-kata makna dari tubuh manusia berarti melakukan sesuatu yang melintasi dan melampaui konsepsi Cartesian. Di sini, tubuh dilihat sebagai sebuah tubuh yang menjadi bagian dari “keluarga besar tubuh-tubuh.” Memahami tubuh manusia hanya sebagai sebuah tubuh berarti melewatkan begitu saja hakekat terdalam dari tujuan penelitian kita; hal itu berarti kita telah melampaui fakta bahwa kita berhadapan dengan suatu tubuh manusia, yaitu dengan tubuh-yang-subyek. Tubuh manusia senantiasa “tubuh-ku,” atau “tubuh-mu,” atau “tubuh-nya.” Biologi dan fisiologi tak bisa tak bisa memberitahukan pada kita apakah tubuh manusia itu dan anatomi juga tak bisa menjelaskannya buat kita. Tubuh manusia tidak terlihat dalam buku-buku biologi, anatomi, ataupun fisiologi. Tubuh yang dideskripsikan di sana bukanlah tubuh-ku, bukan tubuh-mu, ataupun tubuh-nya. Alih-alih yang ada adalah tubuh saja dan tubuh yang sedemikian itu menjadi bagian dari dunia obyek-obyek. Tetapi tubuh manusia bukanlah bagian dari obyek-obyek di dunia; tubuh manusia adalah bagian dari sisi subyek (Dondeyne).
Perumusan ini berlaku tepat bagi pengalaman ketubuhan saya. Tangan yang dengannya aku menggenggam benda-benda bukanlah benda-benda yang kugenggam; tangan-tangan itu adalah aku-sendiri-yang-tengah-menggenggam-benda-benda. Kakiku bukanlah bagian dari dunia-yang-aku-injak; siapapun yang menginjak kakiku akan menghadapi rasa tidak nyamanku. Kaki ini adalah aku-sendiri-yang-sedang-berjalan. Telingaku tidaklah terletak dalam dunia yang dapat didengar, juga mataku tidak terletak dalam dunia yang terlihat; keduanya adalah “aku-sendiri-yang-sedang-mendengar-dan-aku-sendiri-yang-sedang-melihat.” Manakala aku diminta untuk melukiskan perut gendut-ku, tak cukup bagiku untuk menyodorkan hasil-hasil terakhir dari penyelidikan saintifik yang berkenaan dengan pembentukan jaringan adipose; perut gendut-ku, selain di antara semua hal-hal lainnya, adalah ketidakmampuanku untuk mengikat tali sepatuku sendiri! Tubuh manusia terletak di sisi subyek.
Di sisi lain, benarlah juga bahwa aku sebagai seorang subyek memperoleh akses pada dunia melalui tubuhku. Fakta bahwa aku memiliki tangan merupakan salah satu alasan mengapa dunia tampak di hadapanku sebagai sesuatu yang bisa dijangkau/digenggam. Jika tubuhku terbentuk seperti bola, dunia akan tak lagi terlihat sebagai sesuatu yang dapat dijangkau/digenggam. Tiada artinya untuk ngotot bahwa dunia itu dalam dirinya sendiri dapat dijangkau/digenggam (an sich, en soi), yang akan mempertahankan ke-dapat-dijangkau-annya bahkan meskipun aku terbentuk seperti sebuah bola. Dengan menyatakan demikian berarti secara diam-diam melengkapi bola dengan sepasang tangan. Mengapa dunia ini bisa dihayati, dan mengapa bisa dihayati dengan jalan ini dan bukan dengan jalan lainnya? Kita haruslah memandang ke kaki kita sebagai, setidaknya bagian dari, jawaban-jawabannya. Jika aku memiliki kaki yang berselaput atau memiliki sayap-sayap, dunia akan menampakkan dirinya sebagai dihayati dengan jalan yang berbeda. Mengapa ada dunia yang bisa didengar dan dunia yang bisa dilihat? Sebagian dari jawabannya kembali memaksa kita untuk kembali ke tubuh kita; yaitu kepada telinga dan mata kita. Jika aku memiliki mata seekor tikus ataupun seekor burung hantu, perspektif dunia akan secara drastis berubah. Aku adalah subyek yang berinkarnasi dan dunia melekat dengan subyek yang berinkarnasi ini sebagai sebuah sistem makna. Sirius itu “jauh sekali” karena aku tak bisa menangkapnya; Pegunungan Rocky itu tinggi karena aku tak dapat berdiri melampauinya; trotoar itu rendah karena aku bisa melangkah ke atasnya dari jalan raya tanpa mengalami kesulitan. Mengapa dunia itu keras, lunak, dingin, panas, kaku, lengket, berat atau tak mudah bergerak? Dunia menunjukkan segenap makna ini dalam kaitannya (interrelasinya) dengan subyek yang berinkarnasi, yaitu Aku. Tampaknya kita telah mengeksplitasikan tubuh manusia sebagai inkarnasi seorang subyek; kita telah mengeksplitasikan subyek sebagai keterlibatan dalam dunia melalui tubuh; kita menunjukkan dunia sebagai keterikatan dengan subyek yang berinkarnasi. Kita lalu mengeksplitasikan apa yang filsuf, saat berusaha mendefinisikan manusia, maksudkan dengan istilah “eksistensi.”
bersambung …