Dari Massa Mengambang ke Partai Mengambang

DALAM kegiatan survei daerah pemilihan di beberapa tempat, saya beberapa kali bertemu pengurus Partai Golkar dan PDI-P yang heran dengan potensi kenaikan suara Partai Demokrat. Kenaikan itu mencapai dua, tiga, bahkan empat kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2004.

Pengurus partai itu heran. Dia berkata, bagaimana mungkin Demokrat suaranya meningkat drastis sementara ”orangnya” (baca: infrastrukturnya) lemah atau tidak kelihatan. Saya bilang, jangan heran, karena kekuatan Demokrat bukan di jaringan organisasi atau kader. Kekuatan Demokrat ada di media massa, khususnya di televisi, yang menumpang popularitas Susilo Bambang Yudhoyono dan aneka program populis yang dibuat oleh pemerintah.

Jika benar Partai Demokrat unggul dalam Pemilu 2009, seperti diindikasikan beberapa survei, dapat dikatakan, telah terjadi perubahan amat signifikan dalam metode dan instrumen perpolitikan di tingkat nasional. Perubahan tersebut mencakup pergeseran metode kampanye yang paling ampuh dalam menggiring pemilih dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Masa mengambang

Dulu, pada masa Orde Baru dan pada awal era reformasi, metode dan instrumen yang dianggap paling ampuh adalah dengan menggerakkan infrastruktur partai. Infrastruktur yang dimaksud mencakup jaringan organisasi dan kader parpol. Dengan wilayah luas dan penduduk yang banyak, parpol dengan jaringan paling luas dan kader paling banyak yang berpotensi unggul dalam setiap pemilu nasional.

Dasar pemikiran semacam inilah yang membuat Orde Baru, misalnya, membuat sistem massa mengambang. Sistem massa mengambang adalah konsep politik Orde Baru di mana parpol dipotong, bahkan dicerabut akarnya dari masyarakat akar rumput.

Dalam sistem ini, parpol saat itu, PPP dan PDI, tidak diperbolehkan memiliki susunan struktur lebih rendah dari level kecamatan. Sebaliknya, Golkar yang saat itu disebut OPP (organisasi peserta pemilu) memiliki jejaring sampai desa/kelurahan lewat aparat birokrasi dan militer yang saat itu dikonstruksi menjadi bagian rezim berkuasa.

Dengan sistem massa mengambang, Golkar (tepatnya rezimnya berkuasa) memiliki keunggulan komparatif dibandingkan PPP dan PDI. Pertama, keunggulan sosialisasi. Kedua, keunggulan mobilisasi.

Dengan keunggulan pertama, Golkar bisa menyosialisasikan keberhasilan pembangunan dan segala jenis wacana tentang keunggulan dibandingkan dua OPP lainnya. Dengan keunggulan kedua, dalam setiap kesempatan pemilu, Golkar bisa memobilisasi masyarakat untuk ramai-ramai ikut kampanye (pawai maupun rapat umum) dan datang ke tempat pemungutan suara pada hari pemungutan suara.

Kejatuhan rezim Orde Baru menandai berakhirnya sistem massa mengambang. Setiap partai politik dapat membangun struktur sampai ke level yang terendah. Tidak hanya desa, bahkan sampai ke dusun. Tiga parpol yang sudah berdiri pada masa Orde Baru, lepas dari politik massa mengambang, mendapat keuntungan awal dengan infrastruktur lebih merata. Jaringan lebih luas dan kader lebih banyak. Keunggulan infrastruktur inilah yang menjadi keunggulan komparatif Golkar, PDI-P, dan PPP (di luar keunggulan lain) sehingga dalam Pemilu 1999 dan 2004 ketiganya masih menduduki tiga besar kursi terbanyak di DPR.

Iklan

Namun, politik Indonesia terus berubah. Jika, sekali lagi, Demokrat menang dalam pemilu legislatif dengan infrastruktur yang terbatas dibandingkan Golkar, PDI-P, PPP, bahkan PKS, PKB, dan PAN, tetapi dengan pemasangan iklan paling masif di antara partai-partai itu, mungkin inilah bukti kemenangan metode dan instrumen baru dalam pemilu nasional: beriklan!

Tentu iklan tidak berdiri sendiri. Ia harus didasarkan figur yang populer, program kerja populis, dan cara beriklan yang tepat (isi, kemasan, konten, maupun visual). Apa pun itu, besarnya peran iklan dalam mendongkrak popularitas Demokrat merupakan hal nyata. Apalagi iklan tidak hanya bertumpu pada iklan Demokrat yang mengusung tagline ”Lanjutkan!”, tetapi juga iklan layanan masyarakat (ILM) versi pemerintah yang tak kalah masifnya. Iklan PNPM Mandiri dari Menko Kesejahteraan Rakyat mungkin yang paling banyak. Disusul ILM Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, serta Departemen Komunikasi dan Informatika. Termasuk oleh kejaksaan yang sebelumnya nyaris tidak pernah beriklan.

Infrastruktur

Kemampuan Demokrat untuk beriklan lebih masif daripada Golkar yang notabene jauh lebih senior mungkin merupakan kejutan tersendiri yang gagal diantisipasi Golkar sebagai partner dalam pemerintahan SBY-JK. Eksistensi ILM dari sejumlah departemen merupakan keunggulan komparatif yang terberi dan bisa dimanfaatkan siapa pun, parpol atau presiden yang sedang berkuasa. Yang jelas, jika hal ini mengantar kemenangan Demokrat, akan meninggalkan pekerjaan rumah bagi Partai Demokrat itu sendiri.

Pertama, bagaimanapun infrastruktur yang baik merupakan prasyarat sekaligus pertanda parpol yang sehat. Dengan jaringan organisasi luas dan banyak kader, partai menjadi partai yang kokoh dan memiliki akar di masyarakat. Iklan memang mampu mendongkrak suara, tetapi tidak bisa mengganti peran kader sebagai pintu bagi partai guna menyerap aspirasi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat perlu organisasi dan kader partai guna menyampaikan aspirasinya.

Kedua, momentum keberhasilan Demokrat meraih suara terbanyak amat dipengaruhi popularitas figur SBY dan aneka program di pemerintahan yang dikapitalisasi dan diamplifikasi lewat iklan di media massa, khususnya televisi. Momentum ini belum tentu ada lagi pada Pemilu 2014. Jika momentum semacam ini tidak tersedia lagi, Demokrat bisa terjerembap jatuh menjadi partai gurem yang tiba-tiba kehilangan semua suaranya. Ini namanya pindah dari problem massa mengambang ke partai mengambang.

M Qodari Direktur Eksekutif Indo Barometer, Jakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 11 April 2009 | 04:38 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/11/04381516/dari.massa.mengambang.ke.partai.mengambang

Dari Massa Mengambang ke Partai Mengambang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top