Ada fenomena menarik dalam SNM PTN 2009 kali ini. Yakni, soal perubahan minat, kualitas peserta, serta adanya kekosongan kursi di PTN.
Dari sisi peminatan, jurusan kedokteran dan teknik industri (untuk IPA) dan psikologi (untuk IPS) masih menduduki peringkat tertinggi. Jurusan kedokteran favorit misalnya, kualitas intake yang diterima, bila dibuat skala 0-100, adalah minimal di atas nilai 96. Jurusan teknik terpopuler, seperti Teknik Industri ITB, mempunyai kualitas intake minimal di atas 94.
Sementara itu, peminat untuk pendidikan guru sekolah dasar (SD) dan peminat ilmu sains murni meningkat tajam. Kualitas nilai dari camaba guru SD dan ilmu sains pun meningkat drastis. Fenomena tersebut bisa menggugah optimisme kita akan peningkatan daya saing kualitas pendidikan dan pengembangan ilmu sains dasar sebagai basis ilmu terapan (teknologi) di masa mendatang.
Adanya peningkatan peminatan dan kualitas di bidang ilmu sains dasar (MIPA) menunjukkan ”hipotesis awal” bahwa pendidikan ilmu sains di tingkat pendidikan dasar dan menengah (dasmen) telah berjalan baik. Bila kondisi itu mampu dipertahankan, kualitas dan daya saing pendidikan akan semakin baik.
Adapun peminatan yang masih rendah adalah jurusan-jurusan yang berhubungan dengan kelautan, perikanan, dan pertanian. Rendahnya peminatan bidang-bidang itu tentu berimplikasi serius di masa mendatang. Sebab, isu global warming (pemanasan global) akan berdampak cukup serius tanpa adanya kekuatan ilmu kelautan, perikanan, dan pertanian yang memadai.
Dari sisi keseimbangan gender, SNM PTN kali ini mencatat adanya keseimbangan antara laki-laki dan perempuan pada camaba yang diterima (meningkat 15 persen). Adanya keseimbangan itu meningkatkan indikator pencapaian target sesuai dengan Renstra Dikti 2010-2014.
***
Berikutnya soal kekosongan kursi PTN. Menurut saya, hal itu terjadi karena tiga hal. Pertama, tingginya persaingan pada jurusan favorit sehingga mereka yang sebenarnya nilai ujiannya tinggi (pandai) tidak diterima karena kapasitas kursi yang terbatas. Sebagai contoh, pada jurusan favorit tertentu yang dipilih hanya sebagai pilihan tunggal, ternyata nilai yang tidak diterima berkisar 86-94 (skala 100). Dengan hanya mencantumkan satu pilihan, mereka yang pandai terpaksa menganggur sementara atau masuk ke PTS yang sesuai dengan minatnya.
Kedua, jurusan tersebut memang ”dianggap” tidak favorit seperti kelautan, perikanan, dan pertanian. Ketiga, adanya fenomena sekitar 42 program studi kosong di IBT (Indonesia bagian timur) yang tidak terpenuhi karena peminat di tempat tersebut memilih PTN di Jawa. Kekosongan kursi PTN tersebut sangat disayangkan, mengingat bahwa biaya bangku PTN lebih murah daripada PTS.
***
Dengan munculnya fenomena-fenomena tersebut, apa yang harus dilakukan? Dengan rendahnya peminatan bidang-bidang strategis bagi kepentingan nasional seperti kelautan, perikanan, dan pertanian, harus dicari jalan keluarnya. Satu di antaranya, memberikan suatu insentif dan inisiatif strategis bagi bidang-bidang tersebut. Insentif dan inisiatif strategis tersebut dengan sendirinya akan meratakan keketatan persaingan dan menaikkan peminatan pada bidang-bidang yang dianggap tidak potensial.
Insentif strategis bisa berupa pemberian subsidi dalam bentuk SPP lebih murah bagi bidang-bidang tersebut. Selain itu, riset-riset yang berhubungan dengan ketiga bidang itu perlu dialokasikan lebih besar dalam konteks penanggulangan global warming.
Inisiatif strategis bisa berupa pengembangan content dan context bidang tersebut dengan mengemasnya secara lebih baik dari sisi state of the art (kemutakhiran) ilmu pengetahuan tersebut. Misalnya, kelautan bisa dihubungkan dalam konteks pengembangan energi kelautan terbaharukan (ocean engineering), pertanian bisa dikemas dalam bioteknologi (rekayasa genetika).
Dengan insentif dan inisiatif strategis, pada akhirnya terjadi keseimbangan pasar. Jurusan favorit akan bergeser seimbang dengan jurusan yang sebelumnya tidak favorit. Dibutuhkan kerja cerdas dan kreatif secara bersama-sama, baik PTN maupun PTS.
Untuk memberikan insentif strategis, dana pemerintah sebesar 20 persen untuk alokasi pendidikan tentu tidak menjadi masalah. Sedangkan untuk insentif strategis, solusi rendahnya peminatan tersebut berkaitan juga dengan rendahnya minat kuliah di PTN luar Jawa akibat disparitas penjaminan baku mutu pendidikan.
Beberapa insentif strategis yang bisa dilakukan adalah PTN di luar Jawa melakukan double degree dan twinning program dengan PTN favorit di Jawa. Misalnya, kuliah tiga tahun di PTN luar Jawa dan satu tahun di PTN favorit di Jawa yang ijazah kelulusannya diakui oleh kedua institusi pendidikan tersebut.
Selain rendahnya peminatan, masalah berikut yang perlu dicarikan solusi adalah camaba pandai (nilainya tinggi) tapi terpaksa tidak diterima karena salah strategi. Jumlah mereka cukup banyak. Beberapa solusi yang bisa ditawarkan adalah membuat seleksi penerimaan gabungan antara PTN dan PTS yang terakreditasi.
Dengan demikian, SNM PTN 2011 bisa berubah menjadi bursa SNM PT 2011. Hal itu akan mengefisienkan kualitas proses seleksi karena sistem transparansi seperti bursa komoditas diterapkan sejak SNM PTN 2010.
Rektor PT, baik PTN maupun PTS, bisa melakukan ”jual beli” camaba yang pandai (nilainya bagus) bila tidak diterima di PT pilihannya dengan memberikan tawaran perlakuan khusus, misalnya SPP lebih murah dan insentif lain. (*)
*) Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD rektor ITS, koordinator penilaian SNM PTN 2009
Sumber, Jawa Pos, Senin, 03 Agustus 2009